“Perempuan adalah jantung narasi, bukan sekadar catatan kaki di pinggir halaman. Berhenti menjadikannya lampiran, karena hanya di teks utama peradaban akan menemukan kekuatan”.
Mubadalah.id. Dalam banyak narasi sosial, perempuan sering hadir seperti catatan kaki, disebut sekilas, diakui keberadaannya, tetapi jarang ditempatkan sebagai bagian utama. Ia ada, namun tidak selalu dianggap menentukan. Padahal, kehidupan tidak pernah benar-benar utuh tanpa kehadiran perempuan sebagai subjek penuh, yang berpikir, memilih, berkontribusi, dan menentukan arah hidupnya sendiri.
Kita bisa melihatnya dari hal-hal sederhana. Ketika perempuan menyampaikan pendapat dalam forum keluarga, sering ada yang memotong pembicaraan. Saat perempuan ingin mengambil peran di lingkungan sosial, orang mempertanyakan kelayakannya. Bukan karena ia tidak mampu, tetapi karena ia perempuan. Identitas yang seharusnya dihormati justru berubah menjadi alasan untuk membatasi.
Namun, membatasi perempuan sebenarnya adalah cara kita membatasi kemajuan itu sendiri. Ketika satu suara dibungkam, kita kehilangan satu perspektif berharga yang mungkin saja menjadi kunci dari sebuah solusi. Perempuan bukan sekadar pelengkap atau “pemanis” dalam ruang sosial, melainkan mesin penggerak yang memiliki daya cipta dan logika yang setara.
Perempuan Hadir di Setiap Ruang Kehidupan
Sejak lama, perempuan hadir dan bekerja di hampir semua ruang kehidupan. Di rumah, perempuan mengelola emosi keluarga, merawat anggota yang sakit, mendampingi anak tumbuh, dan menjaga nilai-nilai hidup tetap hidup. Banyak keluarga berdiri kokoh karena ketekunan perempuan yang bekerja tanpa jeda, tanpa jam istirahat yang jelas.
Di luar rumah, perempuan juga bergerak. Mereka mengajar di sekolah, berdagang di pasar, mengurus posyandu, memimpin komunitas, hingga menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Di banyak desa dan kota, perempuan menghidupkan kegiatan sosial dan menjaga solidaritas warga. Fakta ini bukan cerita langka, melainkan realitas yang bisa kita temui setiap hari.
Namun, masyarakat sering menganggap peran itu sebagai kewajaran, bukan kontribusi. Ketika perempuan berhasil, orang menyebutnya pengecualian. Ketika laki-laki berhasil, orang menyebutnya prestasi. Pola pikir ini membuat kerja perempuan terlihat kecil, padahal dampaknya besar.
Kalimat Sederhana yang Membatasi
Masyarakat sering melontarkan kalimat yang terdengar biasa, tetapi membawa dampak besar. Salah satunya, “Kamu itu perempuan.” Banyak orang menggunakan kalimat ini bukan untuk mengakui identitas, melainkan untuk menghentikan langkah. Kalimat itu muncul saat perempuan ingin berpendapat, mengambil tanggung jawab, atau memimpin.
Kalimat-kalimat ini membentuk batas tak terlihat. Masyarakat tidak melarang secara langsung, tetapi menciptakan rasa ragu dan takut. Banyak perempuan akhirnya mundur sebelum melangkah, bukan karena tidak siap, tetapi karena lelah menghadapi penilaian.
Dengan menanamkan keyakinan bahwa perempuan harus selalu “di belakang,” masyarakat telah menciptakan ketimpangan struktural yang sulit ditembus. Akibatnya, banyak perempuan merasa tidak percaya diri, takut gagal, atau bahkan enggan mencoba.
Budaya yang Mengerdilkan Potensi
Budaya sering mengajarkan perempuan untuk menyesuaikan diri, bukan menantang ketidakadilan. Sejak kecil, banyak perempuan belajar untuk diam, bersabar, dan mengalah. Lingkungan memuji perempuan yang patuh, bukan yang kritis. Akibatnya, perempuan yang bersuara sering dianggap berlebihan.
Di sisi lain, masyarakat memberi ruang lebih luas bagi laki-laki untuk mencoba, gagal, lalu bangkit. Perempuan jarang mendapat kesempatan yang sama. Ketika mereka gagal sekali, orang langsung mengaitkannya dengan jenis kelamin. Cara pandang ini mempersempit ruang belajar dan tumbuh.
Budaya seperti ini tidak hanya merugikan perempuan, tetapi juga masyarakat. Ketika setengah populasi tidak bebas mengembangkan potensi, masyarakat kehilangan banyak ide, solusi, dan kepemimpinan.
Contoh lain, misalnya, perempuan yang memilih untuk tidak menikah atau tidak memiliki anak sering kali menerima tekanan dan stigma dari keluarga dan lingkungan. Masyarakat menganggap mereka gagal menjalankan peran sebagai “perempuan sejati.”
Beban Mental yang Nyata
Tekanan sosial berdampak langsung pada kondisi mental perempuan. Banyak perempuan merasa tidak cukup baik, meskipun mereka bekerja keras. Mereka terus berusaha memenuhi standar yang saling bertentangan: sukses, tetapi tetap sederhana; mandiri, tetapi tidak terlalu menonjol.
Situasi ini membuat banyak perempuan lelah secara emosional. Mereka merasa harus terus membuktikan diri di ruang yang tidak pernah benar-benar adil. Beban ini nyata dan berdampak pada kualitas hidup.
Menggeser Perempuan ke Peran Utama
Kita perlu mengubah cara pandang terhadap perempuan. Masyarakat harus berhenti menempatkan perempuan sebagai pelengkap. Perempuan layak hadir sebagai subjek penuh dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik.
Langkah perubahan bisa dimulai dari hal sederhana. Dengarkan perempuan saat mereka berbicara. Libatkan mereka dalam pengambilan keputusan. Hentikan candaan dan komentar yang merendahkan. Beri kesempatan yang sama untuk belajar dan memimpin.
Ketika perempuan bergerak maju, masyarakat ikut maju. Ketika perempuan merasa aman untuk menjadi diri sendiri, kehidupan bersama menjadi lebih sehat. Peradaban tidak tumbuh dari satu suara, tetapi dari keberagaman pengalaman.
Perempuan bukan hanya ‘Catatan Kaki‘ dalam kehidupan. Mereka adalah bagian utama dari cerita manusia. Selama kita membiarkan hak-hak mereka tertulis sebagai catatan kaki yang terabaikan di pinggir halaman, dunia akan terus kehilangan potensi terbesarnya. Sudah saatnya kita memindahkan perempuan ke teks utama, tempat mereka memang seharusnya berada. []









































