“Kenapa Sore sebegitunya bertahan dengan Jonathan? Padahal Jonathan sendiri tidak berubah dan seolah tak menghargai semua usaha Sore?”
Mubadalah.id – Pertanyaan tersebut muncul ketika saya menonton dan mungkin pertanyaan ini juga mewakili keresahan sebagian penonton film Sore: Istri dari Masa Depan karya Yandy Laurens. Belakangan film ini banyak menjadi pembicaraan di timeline media sosial. Dalam film tersebut menceritakan tentang tokoh utama yaitu Sore seorang perempuan yang datang dari masa depan untuk memperbaiki hidup Jonathan, suaminya.
Sore tergambarkan sebagai sosok perempuan yang mau memaklumi serta tampak sabar. Meski sesekali lelah ketika suaminya mengulang pola kebiasaan hidup tak sehat seperti merokok dan meminum alkohol. Ia rela mengulang waktu berkali-kali untuk mengubah Jonathan. Kalau Jonathan mengulangi kebiasaanya, Sore memahaminya bahkan senantiasa sabar untuk pelan-pelan membersamai Jonathan.
Sore mungkin terlihat baik. Bahkan ada yang beranggapan kalau Sore terlalu berkorban hanya untuk seorang laki-laki yang tidak menghargai semua usaha yang telah Sore lakukan. Selain itu juga Sore dinilai terlalu selfless. Mungkin mereka lupa kalau film Sore ini adalah kisah duka tentang perempuan yang belum siap kehilangan dan sedang ada dalam fase penyangkalan.
Sore dan Duka: Ketika Waktu Tak Mampu Menyembuhkan Luka
Sore hadir sebenarnya bukan untuk memperbaiki Jo, melainkan untuk menghidupkan kembali seseorang yang telah hilang dari kehidupannya. Cintanya tak hanya sebagai bentuk upaya mengubah Jo dari kebiasaan buruknya. Tapi cara Sore bertahan di tengah kenyataan kehilangan yang belum mampu ia terima sepenuhnya.
Film ini tidak mulai dengan adegan kematian atau perpisahan secara eksplisit. Namun dengan datangnya Sore dari masa depanlah yang menjadi simbol kuat bahwa ia datang dari ruang waktu pasca kehilangan, di mana dia dalam fase bergulat dengan luka yang belum selesai.
Dalam psikologi, proses menghadapi kehilangan menurut Elisabeth Kübler-Ross ada lima tingkatan. Yaitu denial (penyangkalan), anger (kemarahan), bargaining (tawar-menawar), depression (depresi), dan acceptance (penerimaan). Tahapan ini tak selalu linear bisa kita alami berulangkali dalam bentuk yang berbeda.
Apa yang Sore lakukan ini merupakan fase penyangkalan yang merupakan fase pertama dari proses berduka. Ia menolak menerima bahwa Jo suaminya telah pergi. Maka ia mengulang waktu untuk mencoba mengubah segalanya dengan harapan Jonathan tak akan meninggalkannya lebih dulu.
Ketika Perempuan Berduka, Dunianya Menyuruh Pulih
Saat menonton film Sore: Istri dari Masa Depan hadir banyak intrepretasi. Di antaranya ada yang beranggapan kalau film ini berfokus pada seseorang yang ingin mengubah pasangannya, Sore seorang yang selfless, bodoh hingga naif.
Lewat karakter Sore yang dituntut untuk move on oleh penonton saja sudah menggambarkan betapa dalam budaya kita. Terutama ketika berduka harus cepat-cepat move on, apalagi perempuan yang mendapat stigma ini itu termasuk soal berduka.
Perempuan yang terlalu bersedih dianggap lemah, tidak rasional dan bergantung pada laki-laki. Tangis mereka kita nilai berlebihan, perjuangannya kita sebut dramatis serta kesetian mereka sering diartikan sebagai kebodohan. Padahal, perempuan berhak meluangkan waktunya untuk memproses duka, merasakan penuh duka yang ia alami dengan segala kompleksitas emosi yang menyertai.
Duka bukan sekadar soal fisik melainkan kehilangan harapan, rencana dan masa depan yang telah ada dalam bayangan bersama seseorang. Ketika perempuan berduka, ia bukan hanya kehilangan sosok yang ia cintai tapi juga kehilangan sebagian diri. Maka dari itu duka nggak bisa kita sederhanakan juga tak bisa kita paksakan.
Dalam masyarakat patriarkal, nggak ada ketersediaan ruang aman untuk perempuan bersedih secara utuh. Duka seringkali kita anggap menganggu peran perempuan sebagai pendamping, penghibur serta pengasuh. Agaknya susah sekali bagi perempuan, saat dia berduka dia juga kita tuntut untuk segera pulih seolah mereka tak boleh runtuh terlalu lama.
Ketika menonton film Sore, banyak yang bertanya-tanya mengapa sore mencintai Jo yang memiliki kebiasaan buruk serta egois dan tak mau berubah. Padahal yang sebenarnya sore lakukan itu bentuk duka yang ia alami serta pengharapan.
Belajar membaca Sore dengan Empati
Empati berarti berusaha menempatkan diri kita di posisi orang lain. Dalam hal ini, kita menempatkan diri pada karakter Sore bagaimana jadinya kalau kita sedang berada di posisi Sore yang telah kehilangan suaminya, tanpa terlalu cepat menghakimi. Alih-alih kita bereaksi cepat terhadap apa yang kita lihat di layar, mengapa kita tak memberikan ruang untuk benar-benar memahami Sore dengan segala situasinya.
Membaca Sore dengan empati berarti kita mencoba masuk ke ruang emosional tokohnya. Sore tidak hidup dalam dunia yang baik-baik saja tanpa trauma. Dia justru membawa duka kehilangan, kerinduan, serta rasa bersalah yang tercampur jadi satu.
Apa yang Sore lakukan demi Jonathan bertahan dan perasaan Sore sebegitunya. Mungkin bagi kita “terlalu dan nggak mungkin”, tapi justru itu salah satu cara untuk membuatnya bertahan.
Belajar membaca dengan empati berarti kita melihat dulu latar belakang emosinya sebelum kita menilai tindakannya. Mengakui bahwa setiap orang punya cara untuk memproses duka dan tak menyuruhnya lekas pulih. Selain ituu menghargai keberanian film ini karena telah menampilkan duka yang jujur, bukan duka dengan versi ideal.
Sore manusia biasa yang berjuang di tengah kehilangan, mengulang waktu tanda ia masih memproses duka. Ia masih belum merelakan dan sedang dalam proses perandaian “andai saja Jonathan masih hidup”. Untuk itu, Mari kita menghormati proses duka seseorang dengan memberi ruang bagi mereka memproses kehilangan, karena kita tidak pernah tahu seberapa berat kehilangan yang ditanggung oleh orang lain. []