Jaman dulu, langkah perempuan cenderung disulitkan. Adalah RA Kartini yang oleh kita semua dikenal sebagai pejuang emansipasi kaum perempuan. Tapi hingga saat ini jejak jejak pemikiran masa lampau masih menyisakan remah-remah salah pemahaman yang keliru. Salah satunya adalah : Perempuan tidak harus berpendidikan tinggi. Tugas perempuan hanyalah seputar sumur, kasur dan dapur. Perempuan gak perlu kejar karier tinggi-tinggi. Tugas perempuan hanya melayani suami. Dan berbagaj stigmatisasi lainnya yang kerap dilayangkan kepada perempuan.
Padahal dalam islam Perempuan begitu ditinggikan. Di hormati dan mempunyai peran yang cukup sentral dalam perjuangan dakwah Rasulullah.saw. Sebutlah Sayyidah Khadijah RA, wanita pertama yang mengakui Kerasulan Nabi Muhammad saw. Beliau juga tak segan menggelontorkan harta bendanya untuk mendukung dakwah Rasul saat itu.
Saya mendengar satu kutipan Ibu Nyai Shinta Nuriyah yang cukup relevan dan kontroversial, bahwa “Saya tidak membesarkan anak-anak perempuan saya untuk menjadi hamba laki-laki manapun.” Yang kala itu diucapkan saat meniadakan upacara membasuh kaki mempelai laki-laki oleh mempelai perempuan pada saat upacara adat sebelum pernikahan anak perempuan beliau.
Menurut bu Shinta perempuan dibesarkan bukan hanya untuk mengabdi kepada suami. Melainkan untuk dirinya sendiri dan peran lainnya yang harus perempuan lakukan sebagai manusia, khalifah fil ardh. Menjadi perempuan yang memberikan manfaat sebanyak-banyaknya, untuk dirinya, agamanya, keluarganya dan manusia lainnya.
Sejak dulu, dalam mindset saya tertanam pemikiran bahwa saya harus mandiri sebagai perempuan, tidak bergantung sepenuhnya kepada laki-laki. Karena saat itu saya merasa kalah cantik dari perempuan lainnya. Maka dari itu saya harus punya peran dalam hidup ini, harus ada satu potensi yang saya gali. Karena itu, saya selalu kagum kepada perempuan yang mempunyai keberanian mendobrak peradaban, bersuara dengan lantang menyuarakan aspirasinya tanpa meninggalkan kewajiban dan tugasnya sebagai perempuan.
Suami bukan raja, yang hanya memberikan intruksi tanpa mau terlibat dan hanya berpangku tangan. Seorang istri bukanlah hamba, yang harus selalu patuh pada titah tuannya, tanpa ada kesalingan dan sikap saling menghargai.
Tentu, ada perintah yang mewajibkan perempuan supaya menta’ati suaminya. Ta’at bukan berarti selalu tunduk, patuh dan manut tanpa bersuara. Melainkan dengan kompromi, diskusi, menyelaraskan pemikiran, dan melakukan bersama-sama. Semua harus seimbang, take and give. Saling memberi dan menerima satu sama lain.
Dan salah satu hal yang tidak bisa dihindarkan dan terkadang menjadi beban mental bagi perempuan adalah meneruskan peradaban. Perempuan dianugerahkan rahim untuk merawat calon keturunan, asi untuk MengASIhi, dan beban tanggung jawab mendidik keturunannya. Karena sekali lagi, akibat budaya pemikiran patriarki tadi kembali menempatkan perempuan sebagai pengemban utama dalam hal mendidik anak. Kalau anaknya nggak bener ibunya disalahkan, kalau anaknya berprestasi yang disebut adalah bapaknya.
Karena itu, untuk menciptakan generasi unggul, laki-laki dan perempuan harus bekerja sama. Tidak cukup ibunya saja. Suami dan istri harus saling melengkapi, berkompromi membantu satu sama lain dan bersama-sama membangun peradaban yang madani dengan menghadirkan keluarga yang berkualitas.
“Al’ummu madrosatul uula” itu benar adanya, Seorang ibu adalah madrasah pertama bagi anaknya. Dari didikan seorang perempuan banyak anak hebat dilahirkan. Saya banyak mendengar, bahwa mendidik anak itu tidaklah mudah, yang berarti harus ada ilmu dan dukungan pasangan untuk menaklukannya.
Karena itu, seorang perempuan harus punya bekal pendidikan. Namun, akan sangat sempit pemikiran seseorang apabila hanya beranggapan bahwa hanya perempuan lulusan perguruan tinggi yang berhak menerima label “Berpendidikan”. Dan menurut saya perempuan berpendidikan itu ialah dia yang menyadari apa yang ia butuhkan, tidak berhenti mencari ilmu pengetahuan ditengah keterbatasan dan selalu berusaha menjadi versi terbaik yang mampu dia lakukan.
Belajar itu luas cakupannya. Tidak hanya dalam bangku pendidikan formal, tapi seluruh elemen yang kita jumpai bisa kita ambil hikmah yang terkandung didalamnya. Tidak banyak perempuan yang menyadari bahwa ia juga punya peran dalam kehidupannya bukan hanya sebatas hidup – nikah – dan mati. Saya yakin, setiap perempuan punya peran tersendiri.
Ada yang memutuskan untuk sepenuhnya berperan sebagai ibu rumah tangga, mendedikasikan seluruh waktunya untuk keluarga tercinta. Ada yang ingin menjadi ibu rumah tangga tapi tidak meninggalkan kegiatan aktualisasi diri, seperti berkarier dan berorganisasi. Tidak ada yang salah dengan semua itu, tapi yang harus ditanamkan sejak dini adalah mindset bahwa perempuan juga mempunyai peran. Ia harus punya waktu untuk membuat dirinya merasa bahagia dan berharga.
Aktualisasi diri bukan hanya langkah untuk memupuk kepuasan pada diri sendiri. Hal ini juga berkaitan dengan kesehatan mental, ketika perempuan harus terkurung dalam keterbatasan, tidak menutup kemungkinan bahwa ada rasa kecewa pada dirinya, tidak percaya diri dan merasa jenuh dengan rutinitas yang itu-itu saja.
Karena itu, bersiaplah wahai para kawula muda. Jadilah pelajar perempuan yang hebat, nggak harus selalu nomor satu di kelas, tapi kamu harus tahu apa yang kamu inginkan, apa yang kamu kuasai dan apa yang kamu sukai. Usahakan untuk belajar apapun, gali hal-hal baru yang bisa membentuk pribadi kamu, temukan passion mu sedini mungkin.
Dan tanamkan dalam fikiran bahwa kamu harus punya peran dalam kehidupan ini. Kamu adalah peran utama untuk dirimu, maka jangan biarkan keadaan membuat kita hanya jadi peran pembantu apalagi hanya penonton kehidupan. []