Mubadalah.id – Jumlah perempuan pakai jilbab di Indonesia semakin meningkat akhir-akhir ini, apakah itu lalu berarti tingkat keagamaan masyarakat pun mengalami peningkatan? Yang pasti ada banyak alasan mengapa perempuan pakai jilbab. Sebagian memutuskan berjilbab setelah melalui perjuangan panjang dan akhirnya meyakini bahwa itulah pakaian yang diwajibkan Islam.
Jadi, alasannya sangat teologis. Sebagian perempuan pakai jilbab karena dipaksakan oleh aturan, terutama karena banyaknya Peraturan Daerah tentang keharusan berjilbab. Sebagian lagi karena alasan psikologis, tidak merasa nyaman karena semua orang di lingkungannya memakai jilbab. Ada lagi karena alasan modis, agar tampak lebih cantik dan trendi, sebagai respons terhadap tantangan dunia model yang sangat akrab dengan perempuan.
Hal ini dibuktikan dengan semakin banyaknya toko busana muslim dan butik yang memamerkan jilbab dengan model mutakhir dan tentu saja dengan harga mahal. Bahkan, ada juga berjilbab karena alasan politis, yaitu memenuhi tuntutan kelompok Islam tertentu yang cenderung mengedepankan simbol-simbol agama sebagai dagangan politik.
Berbicara soal busana perempuan dalam Islam, data historis sepanjang sejarah Islam mengungkapkan pandangan para ulama tidak tunggal, tetapi sangat beragam. Setidaknya, pandangan ulama dapat dikelompokkan ke dalam tiga pola. Pertama, pandangan yang mewajibkan perempuan dewasa menutupi seluruh tubuhnya, termasuk wajah dan tangan, bahkan juga bagian mata.
Kedua, pandangan yang mewajibkan perempuan dewasa menutupi seluruh tubuhnya, kecuali bagian muka dan tangan. Ketiga, pandangan yang mewajibkan perempuan dewasa menutupi tubuhnya, selain muka dan tangan hanya ketika melaksanakan ibadah salat dan thawaf. Di luar itu, perempuan boleh memilih pakaian yang disukainya, sesuai adab kesopanan yang umum berlaku dalam masyarakat. Rambut kepala bagi kelompok ini bukanlah aurat sehingga tidak perlu ditutupi.
Menarik digarisbawahi bahwa ketiga pola pandangan yang berbeda itu sama-sama merujuk pada teks-teks suci agama dan sama sama mengklaim diri sebagai pandangan Islam yang benar. Perbedaan pandangan para ulama soal busana perempuan ini sangat dipengaruhi oleh perbedaan pandangan tentang batas-batas aurat bagi perempuan. Yang pasti bahwa semua pandangan tadi merupakan hasil ijtihad para ulama. Sebagai hasil ijtihad, pandangan itu bisa salah, tetapi juga bisa benar.
Lalu, apa yang dimaksud dengan jilbab? Kata “jilbab adalah bahasa Arab, berasal dari kata kerja jalaba yang bermakna “menutup sesuatu dengan sesuatu yang lain sehingga tidak dapat dilihat Ulama berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud dengan jilbab. Sebagian pendapat mengatakan jilbab itu mirip rida’ (sorban), sebagian lagi mendefinisikannya dengan kerudung yang lebih besar dari khimar. Sebagian lagi mengartikannya dengan gina’, yaitu penutup muka atau kerudung lebar.
Muhammad Said Al-Asymawi, mantan Hakim Agung Mesir, menyimpulkan bahwa jilbab adalah gaun longgar yang menutupi sekujur tubuh perempuan. Jilbab dalam Islam sangat erat kaitannya dengan masalah aurat dan soal hijab. Satu-satunya ayat al-Qur’an yang secara eksplisit menggunakan istilah jilbab adalah ayat 59 surat al-Ahzab: “Wahai Nabi, katakanlan kepada para istrimu dan anak-anak perempuanmu, serta para per empuan mukmin agar mereka mengulurkan jilbabnya. Sebab, yang demikian itu akan membuat mereka lebih mudah dikenali sehingga terhindar dari perlakuan tidak sopan. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Penyayang.”
Para ulama sepakat bahwa ayat tersebut merespon tradisi perempuan Arab ketika itu yang terbiasa bersenang ria. Mereka membiarkan muka mereka terbuka seperti layaknya budak mereka juga membuang hajat di padang pasir terbuka karena belum ada toilet. Para perempuan beriman juga ikut-ikutan seperti umumnya perempuan Arab tersebut.
Kemudian mereka diganggu oleh kelompok laki-laki jahat yang mengira mereka adalah perempuan dari kalangan bawah. Mereka lalu datang kepada Nabi, mengadukan hal tersebut. Lalu turunlah ayat ini, menyuruh para istri Nabi, anak perempuannya, dan perempuan beriman agar memanjangkan gaun mereka menutupi sekujur tubuh.
Jika teks-teks tentang jilbab tersebut dibaca dalam konteks sekarang terlihat bahwa perempuan tidak perlu lagi memakai jilbab hanya sekadar agar mereka dikenali; atau agar mereka dibedakan dari perempuan yang bersatus budak; atau agar mereka tidak diganggu laki-laki jahat. Di masa sekarang, tidak ada lagi perbudakan, juga busana bukan ukuran untuk menetapkan identitas seseorang.
Pesan Moral Perempuan Pakai Jilbab di Masa Sekarang
Dewasa ini banyak cara yang dapat dilakukan untuk membuat perempuan terhormat dan disegani, tidak hanya mewajibkan perempuan pakai jilbab. Misalnya dengan meningkatkan kualitas pendidikan, memberdayakan mereka dengan mengajarkan berbagai skill dan keterampilan, memenuhi hak-hak asasi mereka, khususnya hak-hak reproduksi mereka.
Jika ayat-ayat jilbab mengandung pesan moral untuk meninggikan martabat kaum perempuan, maka kaum perempuan modern ditantang oleh Islam untuk menunjukkan martabat tersebut yang perlindungannya ditetapkan oleh agama, tetapi dengan suatu cara atau berbagai cara yang selaras dengan lingkungan mereka yang modern. Artinya, ajaran Islam menghendaki para perempuan tetap terjaga moralitasnya, meskipun tidak menggunakan simbol-simbol seperti jilbab dan lainnya.
Perempuan dan laki-laki dalam Islam sama-sama harus berbusana yang sopan dan sederhana, tidak pamer, dan tidak mengundang birahi. Dengan mempelajari asbab nuzul ayat-ayat tentang perintah jilbab dapat disimpulkan bahwa jilbab lebih bernuansa ketentuan budaya ketimbang ajaran agama. Sebab, jika jilbab memang ditetap kan untuk perlindungan, atau lebih jauh lagi, untuk meningkatkan prestise kaum perempuan beriman, maka dengan demikian dapatlah dianggap bahwa jilbab merupakan sesuatu yang lebih bernuansa budaya daripada bersifat religi
Apapun pilihannya perempuan pakai jilbab atau tidak, harus dihargai dan dihormati sehingga terbangun kedamaian di masyarakat. Dalam realitas sosiologis di masyarakat, jilbab tidak menyimbolkan apa-apa; tidak menjadi lambang kesalehan dan ketaqwaan. Tidak ada jaminan bahwa perempuan pakai jilbab adalah perempuan salehah, sebaliknya perempuan yang tidak memakai jilbab bukan perempuan salehah. Jilbab tidak identik dengan kesalehan dan ketaqwaan seseorang. (zah)
*)referensi ringkasan dari kata pengantar “Memahami Jilbab dalam Islam” oleh Prof Dr. Siti Musdah Mulia dalam buku “Psychology of Fashion: Fenomena Perempuan (melepas) Jilbab.”