“Selagi masih ada laki-laki yang memimpin harus laki-laki! Tidak boleh perempuan!”
Mubadalah.id – Pernahkah teman-teman mendengar kalimat itu? Kalimat yang sering diungkapkan manakala perempuan memiliki peluang untuk menjadi seorang pemimpin, lalu dipatahkan oleh kalimat tersebut yang lahir dari masyarakat patriarki.
Jika kalimat tersebut masih dibenarkan, maka akan muncul pertanyaan “Kapan perempuan dapat kesempatan menjadi pemimpin? Apakah harus menunggu laki-laki punah terlebih dahulu?”
Tentu saja tidak! Dari awal pernyataan bahwa hanya laki-laki yang boleh memimpin adalah pemikiran yang keliru. Itu berarti menyalahi tujuan Allah menciptakan manusia (laki-laki dan perempuan) untuk menjadi khalifah (pemimpin) di muka bumi.
Inilah mengapa kita harus terus menerus membincang kepemimpinan perempuan agar pemahaman keliru tentang ketidaklayakan perempuan menjadi pemimpin bisa ditinggalkan. Berbagai stereotip terhadap perempuan pun memiliki peran dalam hal ini.
Seorang laki-laki diyakini dan dianggap memiliki sifat agresif, mandiri, berpendirian, aktif, tegas, dan logis. Sedangkan perempuan seorang yang tidak mandiri, penurut, mudah terpengaruh, pasif, tidak tegas, lemah, dan emosional. Alhasil, ketika perempuan mencoba mendobrak batasan yang dikukuhkan budaya patriarki, perempuan dianggap telah menyalahi kodratnya.
“Kodrat perempuan adalah dipimipin, bukan memimpin!”
Lagi-lagi budaya patriarki berusaha untuk menundukan perempuan di tangan laki-laki dan ingin selalu mendominasinya. Konsep maskulinitas yang diyakini oleh kebanyakan masyarakat tentang bagaimana laki-laki memiliki kekuatan fisik yang unggul, superioritas, mendominasi, dan berkuasa. Konsep itulah yang memberikan laki-laki privilese (hak istimewa sosial) untuk berpeluang menjadi seorang pemimpin.
Sedangkan perempuan sebaliknya, stereotip buruk yang ada membuat perempuan terlempar jauh dari ranah pemegang keputusan. Lalu apakah seseorang yang berkarakter feminim cocok menjadi seorang pemimpin? Sedangkan sifat-sifat pemimpin yang dipahami adalah sifat-sifat maskulin?
Dikutip dari jurnal Women Leadership; Telaah kapasitas perempuan sebagai pemimpin menyebutkan bahwa perempuan memiliki Maternal Thinking. Ia cenderung memiliki kemampuan melakukan tindakan dengan tidak memakai kekerasan.
Sifat keibuan yang ada di dalam diri seorang perempuan membuatnya melakukan segala tindakan dan keputusan dengan pendekatan yang lemah lembut serta penuh cinta kasih, namun juga tetap bisa bertindak tegas. Tidaklah mustahil kepemimpinan bisa berhasil dengan pendekatan yang mengutamakan rasa empati tinggi. Menjadi sosok yang penuh kelembutan dan kepedulian bukan berarti sosok yang lemah apalagi dianggap tidak tegas.
Seorang pemimpin perempuan pun cenderung lebih bisa memahami bawahannya atau orang-orang yang dipimpinnya. Sifat tersebut sangat penting, sebab dengan begitu akan bisa mempertimbangkan keputusan paling tepat untuk orang-orang yang dipimpinnya.
Maka sifat perempuan yang dianggap feminin tidak bisa dijadikan alasan untuk menolak perempuan di posisi pemimpin. Hal ini karena kepemimpinan perempuan memiliki citra dan ciri khusus yang berbeda dengan apa yang dilakukan pemimpin laki-laki.
Nyatanya kita tahu banyak sekali sosok perempuan yang berhasil dan sukses ketika menjadi seorang pemimpin. Nama-nama perempuan yang berhasil terukir sebagai pemimpin di antaranya Halimah Yacob, Slovakia Zuzana Caputova, Theresa May, dan banyak lainnya.
Bahkan dalam menangani kasus covid-19, pemimpin-pemimpin perempuan yang lebih berhasil menangani pandemi ini. Siapa yang tak tau Jacindra Ardern? Perdana Mentri termuda sepajang sejarah di negerinya. Ardern dipuji-puji karena keberhasilannya dalam mengatasi pandemi covid-19 di negaranya sehingga Selandia Baru bisa terbebas dari pandemi tersebut.
Selain itu nama pemimpin perempuan yang juga berhasil mengendalikan pandemi yaitu Silveria Jacobs, Angelia Markel, Mette Frederiksen, Tsai Ing-wen, dll. Begitu pun sebaliknya banyak pemimpin laki-laki yang gagal dalam mengatasi pandemi.
Sejatinya dalam Islam pun pemimpin perempuan telah diabadikan dalam al-Qur’an pada masa Nabi Sulaiman, yaitu Ratu Balqis penguasa negeri Saba. Suatu ketika diceritakan bagaimana Balqis bermusyawarah terlebih dahulu dengan para penasehatnya ketika hendak merespon tawaran Sulaiman kepadanya. Itu menandakan seorang pemimpin perempuan memiliki kehati-hatian dan penuh pertimbangan ketika mengambil keputusan agar tidak salah jalan.
Sudah saatnya perempuan ambil peran yang sama dengan laki-laki, menjadi manusia yang berdaya dengan aktif di berbagai bidang tak terkecuali menjadi seorang pemimpin. Dengan begitu perempuan juga dapat menyumbangkan tenaga dan pikirannya dalam keputusan-keputusan yang melibatkan kemaslahatan banyak orang.
Ada kalanya perspektif perempuan berbeda dengan laki-laki, perempuan lebih peka terhadap realitas karena sedari lahir perempuan diposisikan dan diperlakukan secara berbeda dengan laki-laki. Hal ini bisa membuat perempuan lebih kritis dalam membaca fenomena yang terjadi. Untuk itu sangat penting melibatkan perempuan dalam mengambil keputusan.
Cara agar perempuan memiliki andil dalam hal tersebut yakni dengan memberi peluang yang sama kepada perempuan untuk menjadi pemimpin. Jangan lagi ada alasan untuk tidak memberinya peluang hanya karena dia perempuan. Maskulin ataupun feminin keduanya bisa dimiliki oleh seorang pemimpin baik laki-laki maupun perempuan.
Untuk menutup tulisan ini saya hanya ingin bertanya kepada para akhi, ‘Bukankah perempuan selalu mendukung laki-laki? lalu mengapa laki-laki tidak bisa melakukan hal yang sama kepada perempuan?’ []