• Login
  • Register
Selasa, 3 Juni 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Keluarga

Perjanjian Perkawinan Upaya Menekan Angka Perceraian

Dalam perspektif mubadalah, perjanjian perkawinan adalah salah satu bentuk kesalingan yang menguntungkan kedua belah pihak, baik suami maupun istri.

Lutfiana Dwi Mayasari Lutfiana Dwi Mayasari
03/07/2021
in Keluarga, Rekomendasi
0
Perjanjian Perkawinan

Perjanjian Perkawinan

251
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Sebagai masyarakat yang memegang teguh budaya ketimuran, perjanjian perkawinan acapkali dianggap sebagai sesuatu yang tabu dan tak lazim. Perjanjian perkawinan dimaknai sebagai perencanaan perceraian. Karena dalam perjanjian perkawinan, seseorang yang akan menikah justru membuat beberapa kesepakatan-kesepakatan yang akan diambil selama menjalani rumah tangga dan bahkan merencanakan langkah-langkah pasca cerai.

Padahal jika dipahami secara seksama, adanya regulasi perjanjian perkawinan yang diterapkan di Indonesia, memiliki tujuan yang mulia. Yaitu sebagai salah satu bentuk upaya preventif untuk menekan angka perceraian, dan sebagai sarana melindungi harta bersama. Terlebih dengan dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015, semakin menguatkan upaya pemerintah dalam memberikan hak kepemilikan harta bersama, utamanya bagi WNI yang menikah dengan WNA.

Perjanjian perkawinan sebagai sarana melindungi harta bersama

Menjelang pernikahan, yang terbayang dibenak calon pengantin hanyalah kebahagiaan karena bisa bersatu dengan yang terkasih. Membayangkan hal-hal indah sebagaimana ke- UWU-an pasangan suami istri yang dibagikan di social media. Janji sehidup semati, kesediaan untuk berbagi suka dan duka, terikrar di lisan keduanya.

Namun potensi  perselingkuhan hingga fakta perselingkuhan, konflik minor dan mayor nyatanya selalu mengiringi perjalanan rumah tangga. Seperti yang terjadi di Ponorogo beberapa hari yang lalu. Seorang suami nekat menghancurkan rumah seharga 400 juta yang ia bangun dengan istrinya. Aksi ini ia lakukan karena tidak terima dengan gugatan cerai yang diajukan istrinya. Seorang TKI di Hongkong yang memilih untuk pulang ke rumah pria lain padahal putusan cerai belum keluar. Hal semacam ini tentunya tak pernah direncanakan di awal pernikahan.

Baca Juga:

Bagaimana Akhlak Karimah dalam Memilih dan Melamar Pasangan Pernikahan?

Dekonstruksi Pandangan Subordinatif terhadap Istri dalam Rumah Tangga

Fondasi Kehidupan Rumah Tangga

Kafa’ah yang Mubadalah: Menemukan Kesepadanan dalam Moral Pasutri yang Islami

Meskipun secara social suami tersebut adalah korban perselingkuhan dan seolah bisa dibenarkan oleh nalar, namun dalam perspektif kepemilikan harta bersama, tindakan yang dilakukan suami tersebut bertentangan dengan hukum. Pun jika terjadi sebaliknya, jika yang selingkuh adalah suami, dan istri yang berposisi sebagai TKW membiayai proses pembangunan rumah hingga selesai, tetap saja penghancuran rumah tersebut termasuk dalam tindakan melawan hukum, dan bisa dituntut di ranah pidana.

Dalam UUP No 1 Tahun 1974, harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan. Meskipun seorang istri adalah Ibu Rumah Tangga, dan hanya suami yang bekerja maka apa yang dihasilkan oleh suami masuk dalam harta bersama. Begitupula sebaliknya, meskipun hanya istri yang bekerja, dan suami tidak bekerja, maka harta yang dihasilkan istri juga masuk harta bersama. Pada intinya, yang dihasilkan oleh suami dan istri pasca perkawinan yang sah secara hukum negara masuk dalam kepemilikan harta bersama.

Termasuk pengatasnamaan aset, juga tidak berpengaruh dalam pembagian harta bersama. Ketika semua aset diatasnamakan istri misalnya, kemudian terjadi perceraian, maka aset tersebut akan dilebur menjadi kepemilikan berdua. Atau ketika aset diatasnamakan suami, maka tetap menjadi kepemilikan berdua. Kasus-kasus sebagaimana dicontohkan diatas, dan konflik harta gono gini yang mungkin terjadi pasca perceraian, bisa diselesaikan dengan pembuatan perjanjian pemisahan harta.

Dalam perspektif mubadalah, perjanjian perkawinan adalah salah satu bentuk kesalingan yang menguntungkan kedua belah pihak, baik suami maupun istri. Karena harta yang dihasilkan akan menjadi kepemilikan masing-masing pihak dan tidak melebur dalam harta bersama. Meskipun misalnya perceraian adalah satu-satunya solusi yang bisa diambil, perjanjian perkawinan mampu meminimalisir konflik pasca perceraian seperti konflik harta goni gini, dan konflik hak pengasuhan anak.

Perjanjian pemisahan harta ini tidak merugikan salah satu pihak baik suami maupun istri Tentunya jika kesepakatan-kesepakatan lainnya juga ditulis dalam perjanjian. Misal tidak boleh melarang salah satu pasangan bekerja, meletakkan beban domestik sebagai tanggung jawab bersama, dan meletakkan pendidikan anak sebagai tugas bersama. Maka sebelum menyepakati perjanjian pemisahan harta, baik suami dan istri harus memperoleh edukasi hukum yang baik dari notaris sebagai pihak yang melegalkan akta perjanjian perkawinan.

Jangan sampai terjadi sebaliknya, perjanjian pemisahan harta dibuat, namun melarang salah satu pihak untuk bekerja. Hal semacam ini akan menyebabkan ketergantungan ekonomi, memunculkan dominasi, berujung pada kekerasan, dan masih mendapatkan tekanan batin dan finansial lainnya ketika perceraian terjadi.

Perjanjian perkawinan sebagai upaya preventif untuk menekan angka perceraian

Perjanjian perkawinan tak hanya berisi tentang perjanjian pemisahan harta. Namun bisa juga disepakati tentang hal-hal lainnya. Seperti perjanjian untuk tidak selingkuh, tidak poligami, tidak melakukan KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), pengasuhan anak, dan menyepakati sanksi yang akan diberikan jika salah satu pasangan melanggar perjanjian. Misal memberikan sanksi harus meninggalkan rumah dengan tanpa membawa harta gono gini, atau sanksi lainnya yang disepakati kedua belah pihak.

Akta perjanjian perkawinan dikeluarkan dan dibuat dihadapan notaris, dan dilegalkan oleh KUA untuk muslim dan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil untuk non muslim. Sepanjang kesepakatan yang diajukan tidak bertentangan dengan hukum, maka  akta tersebut bersifat legal dan memiliki kekuatan hukum tetap dimata hukum positif Indonesia. Tidak hanya sekedar hitam diatas putih saja, apalagi hanya sebagai pelengkap administrasi.

Dengan akta perjanjian perkawinan, baik suami maupun istri akan lebih hati-hati dalam menjalankan rumah tangga. Menghindari konflik yang mengarah pada perceraian karena sama-sama menyepakati sanksi. Menghindari hal-hal yang berpotensi mengarah pada perselingkuhan, poligami, maupun KDRT. Sehingga tidak memberlakukan pasangannya dengan semena-mena.

Langkah progresif negara dalam meregulasi perjanjian perkawinan ini sama sekali tidak bertentangan dengan hukum Islam. Perjanjian perkawinan justru sejalan dengan konsep maqashidu syariah yaitu perlindungan terhadap harta benda (hifdhu mal). Regulasi ini semata-mata bertujuan untuk mencapai kemaslahatan dalam rumah tangga, dan menghindari madharat didalamnya.

Konsep perlindungan hukum dalam regulasi perjanjian perkawinan diartikan sebagai suatu upaya untuk melindungi pasangan suami istri dari perbuatan sewenang-wenang antara satu dengan yang lainnya yang bertentangan dengan hukum. Menghindari penelantaran, dominasi kuasa, relasi superioritas dan inferioritas, dan untuk mewujudkan ketentraman dalam menjalani biduk rumah tangga. Sehingga baik suami maupun istri dapat menikmati harkat dan martabatnya sebagai manusia yang memiliki kedudukan setara baik dihadapan Tuhan maupun Negara.

Perjanjian perkawinan memang bersifat opsional, pelaksanaannya tidak diwajibkan oleh negara. Namun melihat kebermanfaatan untuk masa depan dalam menjalankan rumah tangga, perjanjian perkawinan seharusnya bisa disepakati dan dibuat sebagai sebuah upaya preventif untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Maka statement yang menyatakan bahwa perjanjian perkawinan adalah merencanakan perceraian tentunya sebuah kesalahan besar pada masyarakat kita. []

Tags: Hak Pengasuhan AnakHarta bersamaHarta Gono-GiniistrikeluargaKesalinganPerjanjian Perkawinanperspektif mubadalahrumah tanggasuami
Lutfiana Dwi Mayasari

Lutfiana Dwi Mayasari

Dosen IAIN Ponorogo. Berminat di Kajian Hukum, Gender dan Perdamaian

Terkait Posts

Akhlak Karimah

Bagaimana Akhlak Karimah dalam Memilih dan Melamar Pasangan Pernikahan?

2 Juni 2025
Ketuhanan

Ketuhanan yang Membebaskan: Membangun Perdamaian dengan Dasar Pancasila

1 Juni 2025
Disabilitas dan Seni

Kreativitas tanpa Batas: Disabilitas dan Seni

31 Mei 2025
Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

Menilik Peran KUPI Muda dalam Momen Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

30 Mei 2025
Al-Ḥayā’

Menafsir Ulang Ajaran Al-Ḥayā’ di Tengah Maraknya Pelecehan Seksual

29 Mei 2025
Merariq Kodek

Merariq Kodek: Ketika Pernikahan Anak Jadi Viral dan Dinormalisasi

28 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Teknologi Asistif

    Penyandang Disabilitas: Teknologi Asistif Lebih Penting daripada Mantan Pacar

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kurban Sapi atau Kambing? Tahun Ini Masih Kurban Perasaan! Refleksi atas Perjalanan Spiritual Hari Raya Iduladha

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Bagaimana Akhlak Karimah dalam Memilih dan Melamar Pasangan Pernikahan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Menyoal Jilbab dan Hijab: Antara Etika Sosial dan Simbol Kesalehan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Makna Hijab Menurut Pandangan Ahli Fiqh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Menyoal Jilbab dan Hijab: Antara Etika Sosial dan Simbol Kesalehan
  • Perbedaan Feminisme Liberal dan Feminisme Marxis
  • Mengapa dan Untuk Apa Perempuan Memakai Jilbab?
  • Penyandang Disabilitas: Teknologi Asistif Lebih Penting daripada Mantan Pacar
  • Jilbab Menurut Ahli Tafsir

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID