Mubadalah.id – Ketua Majelis Musyawarah Keagamaan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI), Nyai Hj. Badriyah Fayumi, mengingatkan bahwa keberhasilan mendorong penghentian praktik sunat perempuan di Indonesia bukanlah perjalanan yang terjadi dalam satu waktu. Itu adalah buah dari pergulatan panjang, sejak KUPI pertama kali digelar pada 2017, bahkan sejak 2015 ketika isu ini mulai coba dibawa ke meja musyawarah.
Hal itu ia sampaikan dalam Dialog Publik Nasional dan Peluncuran Buku Menghentikan Praktik Sunat Perempuan di Indonesia: Anak yang Dinanti, Jangan Disakiti di Jakarta, Rabu, 19 November 2025.
Nyai Badriyah membuka penjelasannya dengan penghargaan yang dalam: rasa syukur bahwa perjuangan yang dulu tampak mustahil kini sampai pada titik yang nyata. Pada 2015, ketika para ulama perempuan bermusyawarah untuk merumuskan isu-isu yang akan dibawa ke KUPI, wacana penghapusan praktik pemotongan atau pelukaan genital perempuan (P2GP) sebenarnya sudah muncul.
Namun kondisi saat itu tidak memungkinkan. Nama ulama perempuan sendiri masih harus diperjuangkan agar mendapatkan legitimasi. Maka, mendorong isu sunat perempuan untuk diangkat sebagai tema musyawarah nasional dianggap terlalu berlapis tantangan.
Menghadapi Tembok Besar
Menurutnya, hambatan yang ia hadapi pada masa itu bukan sekadar perbedaan pendapat cukup alot. Ia menyebutnya sebagai tembok besar yang berdiri kokoh dan nyata. Masih banyak kelompok masyarakat yang menjalankan praktik sunat perempuan semata-mata karena meneruskan apa yang dilakukan oleh orang tua dan leluhur mereka.
Padahal, itu adalah pengetahuan yang keliru, pemahaman agama yang tidak utuh, serta keyakinan berbasis mitos menguatkan tradisi tersebut. Lebih dari itu, ada stigma sosial bahwa perempuan yang tidak sunat, maka tidak sempurna atau tidak pantas secara moral. Tekanan budaya ini menjadi jeratan yang membuat perubahan terasa sangat sulit.
Di balik itu semua, ada pula aspek ekonomi yang jarang dibicarakan. “Ada perputaran ekonomi yang ikut hidup dari praktik P2GP,” ujar Nyai Badriyah.
Karena, masih banyak melakukan praktik sunat perempuan bukan hanya oleh sebagian tokoh agama atau dukun beranak. Tetapi telah menjadi layanan yang memberi keuntungan bagi berbagai pihak. Ini menjadikan isu tersebut semakin kompleks.
Namun hambatan terbesar datang dari otoritas keagamaan yang berpengaruh. Sejumlah fatwa MUI yang isinya membolehkan atau bahkan menganjurkan sunat perempuan beredar luas dan menjadi rujukan sebagian kelompok di Indonesia.
“Fatwa-fatwa itu menyebar secara online dan offline. Sehingga memperkuat keyakinan bahwa sunat perempuan adalah kewajiban agama,” jelasnya.
KUPI I belum Mengangkat Isu P2GP
Karena itulah, KUPI I pada 2017 belum dapat mengangkat isu ini sebagai bagian dari akta musyawarah keagamaan. Namun para ulama perempuan tidak berhenti di sana.
Dengan trilogi metodologi KUPI yang kokoh terutama pengalaman perempuan, ilmu pengetahuan yang sahih, dan nilai-nilai keagamaan yang berkeadilan. Maka mereka memutuskan untuk mengangkat isu P2GP sebagai salah satu tema utama Musyawarah Keagamaan KUPI II pada 2022.
Keputusan itu bukan tanpa risiko. Para ulama perempuan sudah menduga bahwa isu ini akan menjadi sorotan besar, memicu kontroversi, bahkan penolakan keras. Dan dugaan itu terbukti. Namun KUPI memilih tetap maju.
“Kami tahu, pembahasan tentang sunat perempuan sering kali tidak jujur terhadap kenyataan. Banyak yang membicarakannya dengan prasangka sejak awal, tanpa mau melihat apa yang sebenarnya terjadi dalam tubuh perempuan,” ujar Nyai Badriyah dengan nada yang tegas.
Yang menarik, gelombang reaksi yang muncul ternyata tidak sepenuhnya negatif. Penolakan memang ada—baik dari kelompok yang berpegang pada tafsir keagamaan lama maupun dari mereka yang belum memahami konteks praktik tersebut.
Namun reaksi positif justru jauh lebih kuat, terutama setelah hasil musyawarah keagamaan KUPI II kita publikasikan. Negara pun merespon. Pada 2024 terbit Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2024 yang memperkuat upaya penghentian praktik P2GP di seluruh Indonesia.
“Negara mengonfirmasi apa yang menjadi ijtihad KUPI,” kata Nyai Badriyah.
Proses Dialog Terbuka bagi KUPI
Ia mengakui, proses dialog tetap harus kita buka. Ada kelompok yang menolak keras, ada pula yang menolak hanya karena belum tahu. Kepada semuanya, KUPI memilih jalan dialog yaitu menghadirkan pengetahuan, pengalaman, dan tafsir keagamaan yang berkeadilan.
Bagi KUPI, perbedaan ijtihad adalah hal wajar. “Kalau ada yang bersikeras sunat perempuan adalah bukan bagian dari ajaran agama, itu ijtihad mereka. Kami juga punya ijtihad kami dan ijtihad itu bertumpu pada perlindungan jiwa dan martabat perempuan,” tegasnya.
Kini, setelah hampir satu dekade perjalanan sejak gagasan itu pertama digulirkan, penghentian sunat perempuan bukan lagi mimpi. Ia menjadi gerakan kolektif, disokong negara, didukung ulama perempuan, dan diperjuangkan oleh banyak komunitas akar rumput.
Bahkan Peluncuran buku Anak yang Dinanti, Jangan Disakiti menjadi penanda bahwa perjuangan ini bukan sekadar wacana. Tetapi gerakan perubahan yang nyata. []








































