Mubadalah.id – Jika merujuk salah satu keputusan fatwa yang dikeluarkan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) I, maka mewajibkan seluruh institusi untuk melindungi anak dari pernikahan anak, baik institusi keluarga, masyarakat, ormas Islam, terutama negara.
KUPI juga merekomendasikan agar negara segera mengadopsi batas usia yang lebih tinggi dari 16 tahun bagi perempuan, menjadi minimal sama dengan UU lain, yaitu 18 tahun. Rekomendasi ini diterima Pemerintah dengan adanya revisi UU perkawinan.
Pertimbangan utama KUPI, di samping ayat al-Qur’an, Hadis, dan berbagai UU terkait perlindungan anak, adalah tujuan pernikahan maqashid al-syariah fi al-nikah.
Artinya, KUPI ingin menciptakan kehidupan rumah tangga yang saling membahagiakan (sakinah, mawaddah, dan rahmah). Akan sulit mempelai yang masih di usia anak capai.
Sebaliknya, pernikahan mereka malah mendatangkan berbagai kemudaratan psikologis, kesehatan, sosial, dan ekonomi.
Atas dasar kaidah menghindari keburukan (daru al-mafasid), KUPI memutuskan mewajibkan seluruh institusi untuk melindungi anak dari praktik pernikahan.
Fondasi Pernikahan
Fondasi moral dari pernikahan yang Nabi Muhammad Saw gariskan. Serta lima pilar yang al-Qur’an ajarkan, tidak bisa kedua mempelai pernikahan anak terapkan.
Karena usia yang belum matang, sementara tantangan kehidupan berkeluarga semakin besar dan nyata.
Kita perlu meneladani prinsip dari kehidupan Nabi Saw., yang membuat kita lebih bertanggung jawab, bisa menghadirkan kebaikan dan kemaslahatan. Baik untuk anggota keluarga kita, masyarakat, maupun bangsa. []