Mubadalah.id – Nisa Wargadipura adalah Pendiri Pesantren Berbasis Ekologi At-Thaariq di Garut. Perempuan yang akrab disapa Teh Nisa ini merupakan salah satu dari 72 Ikon Pancasila dan Inspirator Gerakan Nasional Revolusi Mental. Beliau juga didaulat sebagai Kartini Indonesia tahun 2015 serta sebagai salah satu Perempuan Penembus Batas versi Majalah Tempo.
Teh Nisa bersedia diwawancarai Reporter Mubadalahnews.com. Inilah hasil wawancara eksklusif bersama beliau ketika menjadi Pemateri di Training of Fasilitator Penggerak Gusdurian Jawa Barat (Jabar).
***
Apa latar belakang Teh Nisa mendirikan pesantren berbasis ekologi?
Karena sebenarnya saya ingin membuat otokritik terhadap pesantren-pesantren yang ada. Saya sudah mengatakan bahwa dahulu tanah kita inklusif, sangat terbuka untuk banyak orang. Sayangnya, hadir revolusi hijau. Dan revolusi hijau itu masuk ke dalam agama-agama kita.
Sampai kiai-kiai (tak semuanya) kita begitu eksklusif. Seperti di Papandayan itu, tanah dikuasai oleh beberapa oknum haji. Tanah ditanami hanya satu jenis tanaman. Itulah strategi oknum haji supaya harga jatuh. Padahal mereka itu memiliki gelar haji loh, tapi memeras warga di sekitarnya.
Menurut Teh Nisa. Ada tidak korelasi antara masalah ekologi dengan perempuan?
Wah sangat berkaitan. Contoh ya, beberapa oknum haji di Papandayan itu menjatuhkan harga pertanian. Petani menjual apa saja kepada mereka. Sampai anak gadis mereka yang masih belia, dinikahkan. Pernikahan dini mudah sekali dijumpai di daerah-daerah yang petaninya tidak sejahtera. Ya begitu karena kapitalisme yang dilakukan oleh tuan-tuan tanah. Ini sedih sekali loh.
Nah, menurut Teh Nisa. Bagaimana mencari jalan keluar agar petani tidak dirugikan?
Pesantren ekologi itu jalan keluarnya. Tumbuhkan keanekaragaman pangan. Itu mudah, tanpa harus mengeluarkan modal dan tenaga yang banyak. Syaratnya berani. Kita harus berani melawan arus. Pertanian yang baik itu pertanian yang saling melindungi.
Saat ini, kita masih impor beras. Kita itu makan dari India, Pakistan, dan lain-lainnya. Makanya kita harus berdaulat dengan cara tumbuhkan benih-benih kita. Benih-benih kita itu sangat tradisionalis. Besar, bisa dimakan sekampung. Itu sayuran sosialis.
Inspirasi Teh Nisa itu siapa, sampai mendirikan pesantren berbasis ekologi ini?
Inspirasi saya adalah Gus Dur. Pesantren ekologi adalah cipratan dari kegelisahan Gus Dur. Pesantren ekologi adalah buah pemikiran dari Gus Dur. Cita-cita dari pesantren ekologi kami, yaitu sebagai pesantren yang berdaulat. Bukan untuk menjadi seperti ustadz A, B atau ustadz-ustadz yang lainnya. Selain itu, anak-anak santri kami juga tidak ekslusif, belajarnya dimana saja. Di Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Islam (PERSIS), Muhammadiyyah.
Tahun 1998, Soeharto turun, seluruh petani di wilayah Jabar yang berada di kota-kota besar, pulang karena rusuh. Ternyata saat itu kami dibutuhkan karena momentum mereka pulang kampung.
Tahun 1999, saat Gus Dur naik (Presiden). Semua petani kembali menggarap lahan. Gus Dur bukan hanya tokoh lintas iman, tapi memahami rakyatnya yang mayoritas adalah petani. Ini terbukti oleh kita, sekarang ini semuanya masih impor.
Saya melihat masyarakat urban tak sedikit ingin melakukan gerakan hijau ini, tapi mereka tidak memiliki tanah. Menurut Teh Nisa, gimana jalan keluarnya?
Bekerjalah dari cara yang paling sederhana. Yang penting masuk akal, jangan menghayal. Di daerah saya, karena saya mengawalinya dengan mendirikan pesantren ekologi. Maka sedikit demi sedikit tetangga saya mulai menanam. Menanam yang kecil-kecil saja dulu, cabe, dan lain-lainnya. Mulailah menanam.
Secara realistis orang itu ingin mendapatkan banyak materil (uang) dan terkadang itu tidak didapatkan dengan hasil menanam. Nah bagaimana menurut Teh Nisa?
Nah itu yang menjadi permasalahan kita. Makanya kita harus menyadarkan masyarakat. Apa kalian tau Negara Bhutan? Gross National Happiness (GNH) Bhutan itu tinggi, visanya mahal. Mereka ga kaya lo. Mereka bertani, ga punya kasur. Tapi mereka bahagia, semua orang baik hati, ingin melayani.
Saya itu belajar juga dari Louser di Aceh. Sumber dayanya melimpah, tapi penghuninya malah busung lapar. Keegoisan negara itu, dengan peraturan-peraturan yang ada. Nah tapi itu adalah pekerjaan rumah (PR) kita bersama, bagaimana caranya agar ekonomi dan ekologi berjalan searah.
Prinsip apa yang Teh Nisa gunakan untuk mengelola pesantren ini?
Prinsip ekologi. Saya itu bukan guru agama. Suami saya yang mengerti agama. Tapi panglima pesantren ini adalah ekologi. Saya menerima santri dari semua golongan. NU, Muhammadiyyah, PERSIS dan lain-lain. Kan pesantren kita kupu-kupu, tanaman saja dilindungi, masa manusia hanya karena berbeda, ditolak.
Apa pesan Teh Nisa untuk para pemuda atau aktivis?
Jangan malu untuk turun kelas. Saya dulu itu selebritas aktivis, memimpin gerakan para buruh se-Indonesia di Jakarta. Saya mengatakan bahwa kita harus menggarap tanah dengan ratusan massa. Kita itu seperti itu, hanya mencuap dan tidak memberikan praktik. Ayo kita beneran bertanam, bukan hanya memimpin gerakan dan mencuap-cuap.
Pendidikan kita saat ini adalah pendidikan untuk pergi bukan untuk pulang. Kesuksesan itu diukur dengan sedekat mana dengan Jakarta. Padahal, desa sangat membutuhkan kita sebagai kelas tengah. Kelas tengah yang tersadarkan harus menjadi penolong. Agent of change (agen perubahan). Kita harus menyadarkan. Jangan khawatir ketika bertani. Menanam itu terapi loh. Kita jadi menyadari banyak hal, kita jadi senang, dan tenang. []