Mubadalah.id – Banyak jalan terjal yang harus Nyai Masriyah lalui setelah suaminya Kiai Muhammad (2006) meninggalkan selamanya. Suami sekaligus pendiri pesantren Kebon Jambu yang saat ini dipimpin oleh Nyai Masriyah Amva. Setelah Nyai Masriyah berhasil mengalahkan rasa insecure dalam dirinya, dan menggantungkan semuanya pada Allah, langkah selanjutnya adalah bagaimana memajukan pesantren Kebon Jambu.
Saat ini, pesantren Kebon Jambu mengalami perkembangan yang pesat. Terus melesat menuju kebaikan-kebaikan. Bahkan jumlah santrinya jauh lebih banyak dibanding awal berdirinya dahulu. Lantas seperti apa sistem pendidikan yang diterapkan Nyai Masriyah di pesantren Kebon Jamu? Dalam bagaimana pola kepemimpinan yang diterapkan di dalamnya?
Membenahi Sistem Pendidikan Formal dan Informal
Setelah beliau meyakini bahwa kekuatan satu-satunya adalah milik Allah, Nyai Masriyah mengumpulkan seluruh santri. Dalam pidatonya Nyai Masriyah menyampaikan bahwa pesantren Kebon Jambu memiliki pemimpin baru yang jauh lebih baik dari pemimpin sebelumnya. Pemimpin tersebut adalah Allah dzat Yang Maha Agung. Nyai Masriyah tak lagi berada di bawah bayang-bayang Kyai Muhammad. Dan meyakini bahwa Allah lah yang akan menjaga pesantren Kebon Jambu.
Maka pesantren salaf yang identik dengan nilai patriarkis tersebut saat ini justru dipimpin oleh perempuan. Dengan mengedepankan nilai kemanusiaan dan kesetaraan, otoritas Nyai Masriyah sebagai pemimpin pesantren mulai terakui masyaraka, utamanya wali santri. Beberapa sistem pendidikan juga mengalami perubahan, seperti memasukkan pendidikan formal setingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA). Program Ma’had Ali juga pesantren buka untuk menampung santri yang telah lulus SMA.
Nyai Masriyah meyakini bahwa pendalaman kitab klasik perlu mereka lakukan. Namun tidak boleh menutup diri dengan modernitas. Karena perkembangan dunia akibat globalisasi sangat cepat pergerakannya. Maka santri juga harus terus membekali ilmu. Sedangkan di waktu yang sama harus terbuka dengan modernitas. Agar santri bisa ikut berperan dalam kontestasi perpolitikan untuk mensyiarkan Islam ke arah yang lebih baik.
Kajian Kitab Klasi dengan Perspektif Kesetaraan
Kitab-kitab klasik juga tetap mereka ajarkan namun dengan pendekatan perspektif yang berbeda. Seperti mengaji kitab uqudullijain dengan perspektif keadilan, kesetaraan, dan toleransi. Praktik-praktik baik yang diterapkan di pesantren Kebon Jambu Al Islami ini menjadi sarana untuk mempromosikan Islam yang ramah perempuan. Sehingga pesantren kebon jambu memiliki ciri khas pesantren yang menerapkan keadilan dan kesetaraan gender.
Kajian atas kitab klasik dengan perspektif keadilan ini menjadi solusi atas kritik Masdar F Mas’udi terhadap permasalahan dalam literatur klasik kitab kuning. Menurut Masdar F Masudi, isu-isu perempuan yang pesantren ajarkan, terutama dalam materi hukum Islam belum ramah perempuan dan menonjolkan sisi patriarkis. Beberapa kitab kuning juga ia anggap membelenggu perempuan. Terutama dalam pembatasan ruang gerak di wilayah publik. Maka solusi yang Nyai Hj. Masriyah Amva ambil bukan dengan menjauhkan santri dari literatur klasik kitab kuning yang penuh kritik tersebut. Namun mengkaji dengan perspektif masa kini.
Selain membenahi sistem pendidikan, Nyai Masriyah juga merobohkan bangunan pesantren yang dibuat dari bambu. Beliau mengganti dengan bangunan permanen dengan pertimbangan asas kenyamanan dan keamanan bagi santri. Beliau menekankan bahwa perubahan sistem bangunan gedung pesantren tak akan merubah pendekatan kezuhudan santri yang selama ini Kyai Muhammad terapkan.
Internalisasi Nilai Kesetaraan Melalui Kegiatan Formal dan Informal
Pemahaman tentang gender telah terinternalisasi dalam diri Nyai Hj. Masriyah Amva pun dalam semua kegiatan pesantren Kebon Jambu. Namun beliau mengaku tidak memiliki muatan materi khusus yang berkaitan dengan gender. Seperti dalam mata pelajaran maupun dalam tema kegiatan. Pemahaman gender ini langsung ia praktikkan dari sikap, kebijakan, dan acara-acara yang ia gelar di pesantren Kebon Jambu Al Islami.
Hal ini lantaran term “gender” memiliki pemaknaan yang bias di masyarakat. Seperti dianggap mengajarkan perempuan untuk melawan suami, melawan kodrat, dan bertentangan dengan al-Quran dan hadits.[1] Maka untuk menghindari kontroversi tersebut, Nyai Hj. Masriyah Amva lebih memilih untuk menyiarkan kesetaraan gender dengan sikap bukan dengan tagline “gender”.
Sosok yang memotivasi Nyai Hj. Masriyah Amva untuk terus berjuang di pesantren Kebon Jambu Al Islami tak lain adalah ibunda beliau. Ibunda dari Nyai Hj. Masriyah Amva memiliki jiwa sosial yang tinggi, dan dari kecil terus mendorong anak-anaknya untuk mandiri dan tidak bergantung pada siapapun kecuali pada Allah.
Saat memutuskan menikah dengan alm. Kyai Muhammad bunda dari Nyai Hj. Masriyah Amva memberikan nasehat yang masih terus ia ingat. Bahwa ketika seorang perempuan memutuskan untuk mendampingi Kyai, maka istri harus siap berjuang terutama dalam pemenuhan ekonomi. Karena kyai akan fokus dalam mendidik umat dan santri.
Dari situlah, Nyai Hj. Masriyah Amva terus berkomitmen melakukan segala kegiatannya dengan tujuan menggapai ridha Allah semata. Apalagi saat ini ibunda sudah tiada, pun demikian dengan suami. Maka satu-satunya sosok yang terus menyemangati Nyai Hj. Masriyah Amva untuk terus berjuang tak lain adalah diri sendiri. Melalui untaian narasi, dan puisi, beliau juga terus menyuarakan kesetaraan perempuan dalam Islam. “Aku adalah ratu di dunia Barat dan Timur” merupakan salah satu penyemangat diri Nyai Hj. Masriyah Amva. (bebarengan)
[1] Hasil wawancara dengan Nyai Hj. Masriyah Amva