Mubadalah.id – Jika merujuk pada Piagam Madinah (watsiqah Madinah), umat Islam memiliki perjanjian kerjasama dengan berbagai suku. Termasuk orang-orang Yahudi, dan kabilah-kabilah Arab yang lain untuk saling mendukung satu sama lain dalam membangun kota Madinah dan melindunginya dari serangan musuh dari luar.
Piagama ini secara umum berisi kesepakatan untuk saling menghormati dan saling menjaga jiwa dan harta kepemilikan, secara bersama-sama. Termasuk saling menghormati agama dan keyakinan masing-masing.
Nabi Saw berkawan dan memiliki tetangga yang berbeda agama. Salah satu bentuk keimanan, tegas Nabi Saw adalah menghormati dan memuliakan tetangga (Sahih Bukhari, no. 6088).
Kata Imam al-Ghazali (w. 505 H/1111 M), tetangga yang berbeda agama, tetap memiliki hak sebagai tetangga, yang harus dihormati, dikunjungi, saling menjaga, dan saling menolong satu sama lain (Ihya Ulumuddin, juz 2, h. 329-333).
Nabi Saw pernah diundang makan di rumah tetangga Yahudi yang berprofesi sebagai penjahit, dan Nabi Saw memenuhi undangan tersebut (Musnad Ahmad, no. 13403 dan 14068).
Dalam cerita Anas bin Malik r.a, yang menjadi pelayan Nabi Muhammad saw., bahwa di antara pelayan juga ada yang beragama Yahudi (Sahih Bukhari, no. 1371).
Nabi Saw juga pernah menyalahkan seorang Muslim yang menuduh Yahudi secara gegabah, tanpa bukti yang kuat. Nabi Saw memulihkan nama baik tetangga Yahudi tersebut, dan turun ayat tentang hal ini (QS. An-Nisa, 4: 105).
Namun, Nabi Saw juga pernah membalas perundungan orang Yahudi yang bertamu ke rumah, dengan bahasa yang lebih santun. Sambil menasihati Aisyah r.a untuk tidak membalas mereka dengan bahasa yang kasar.
“Tenang, Allah itu Maha Lembut dan mencintai sikap yang lembut”, kata Nabi saw. kepadanya (Sahih Bukhari, no. 6093). Artinya, relasi muamalah secara sosial masih terbangun antara umat Islam dan nonmuslim pada saat di Madinah.
Kembali ke Kota Mekkah
Setelah Nabi Muhammad Saw masuk kembali ke Kota Mekkah, dan membukanya sebagai kota Islam utama setelah Madinah. Nabi Saw melakukan transaksi pinjam-meminjam (‘ariyah) peralatan perang dalam jumlah besar dengan seorang non muslim, bernama Shafwan bin Umayah (Sunan Abu Dawud, no. hadits: 3565).
Terakhir, sebagaimana tercatat dalam berbagai kitab hadis Sahih, bahwa Nabi Muhammad Saw sampai menjelang wafat masih memiliki transaksi hutang dan gadai dengan tetangga beragama Yahudi.
Kata Sayyidah Aisyah ra: “Ketika Nabi Muhammad Saw wafat, baju besi beliau masih digadaikan kepada seorang Yahudi, untuk jaminan hutang 30 sha’ makanan berupa gandum” (Sahih Bukhari, no. 2953).
Demikianlah relasi muamalah dalam Islam adalah berbasis kebaikan dan kemaslahatan, dengan tiga prinsip dasar. Yaitu saling rela, tidak menipu, tidak merugikan, dan tidak membahayakan.
Untuk mengembangkan relasi mu’amalah ini, umat Islam bisa bekerjasama dengan siapapun, termasuk dengan non muslim. []