Mubadalah.id – Cermin rendahnya dukungan afirmasi perempuan di parlemen terlihat ketika kemunduran ini justru KPU lakukan sebagai lembaga penyelenggara pemilu. Yakni lewat berbagai peraturan KPU. Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tentang teknis penghitungan persyaratan 30% bakal calon perempuan di satu daerah pemilihan, menghambat pencapaian target afirmasi perempuan di parlemen. Artinya, mengancam keterwakilan perempuan.
Pasal 8 ayat 2 PKPU 10 Tahun 2023 mengegerkan publik ketika proporsi perempuan di antara calon anggota parlemen (caleg) kurang dari 30 persen. Pasal tersebut mengatur pembulatan angka desimal teknis perhitungan bagian daerah pemilihan (dapil) dalam jumlah perempuan.
Adapun bunyi pasal tersebut yakni, “Dalam hal penghitungan 30 persen (tiga puluh persen) jumlah bakal calon perempuan di setiap dapil menghasilkan angka pecahan, maka apabila dua tempat desimal di belakang koma bernilai: (a) kurang dari 50 (lima puluh), maka hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke bawah; atau (b) 50 (lima puluh) atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas.”
Misalkan jumlah kursi 10, partai mencalonkan 8, tentu semakin berkurang lagi perempuan yang partai calonkan. Oleh karena itu, kita berpandangan bahwa terjadi kemunduran cara pandang atau perspektif terhadap pentingnya keterwakilan perempuan dalam pemilu. Hal ini mengecewakan, mengingat perjuangan mendorong afirmasi keterwakilan perempuan yang sudah cukup panjang aktivis perempuan lakukan.
Berpotensi Mengurangi Keterwakilan Perempuan
Tentu membuat keterwakilan perempuan berpotensi di bawah 30% lebih besar. Karena ketentuan Pasal 8 ayat (2) PKPU Nomor 10 Tahun 2023 mengatur soal pembulatan desimal ke bawah. Dalam teknis penghitungan proporsi jumlah perempuan di satu daerah pemilihan (dapil). Pasal 8(2) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 menjelaskan teknis penghitungan 30% jumlah calon caleg perempuan di setiap daerah pemilihan jika menghasilkan angka desimal.
Bisa pahami jika hasil penghitungan menghasilkan dua desimal di belakang koma bernilai kurang dari 50. Hasil penghitungan itu dilakukan pembulatan ke bawah. Jika nilainya 50 atau lebih, hasil penghitungan dilakukan pembulatan ke atas. KPU tidak perlu berargumen soal rumus matematika karena dinilai tidak pada konteks dan substansinya.
Tentu hal ini bertentangan dengan ketentuan Pasal 245 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, yang secara tegas mengamanatkan bahwa daftar caleg di setiap dapil memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan. Sementara itu, pakar hukum kepemiluan dari Universitas Indonesia Titi Anggraini menegaskan agar KPU merevisi aturan tersebut agar tidak bertentangan dengan Undang-undang tentang Pemilu.
Pengaturan pada Pasal 8 Ayat (2) Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023, menunjukkan rendahnya komitmen dan kesadaran penuh akan pentingnya keberpihakan suara perempuan, sekaligus keterwakilan perempuan di parlemen oleh penyelenggara pemilu dan pemangku kebijakan. Tidak hanya itu, aturan baru KPU soal Keterwakilan Caleg Perempuan Tak Selaras dengan UU Pemilu. Yakni bertentangan dengan Pasal 245 UU 7/2017. Seharusnya, Pasal 245 adalah prinsip utama pencalonan yang tidak boleh kita kesampingkan.
Jaminan Perlindungan Keterwakilan Perempuan dalam Politik
Peraturan KPU sebelumnya lebih tegas mensyaratkan batas minimal 30% bakal calon legislatif perempuan kepada partai politik peserta pemilu. Ketegasan aturan itu bisa memaksa semua pihak untuk lebih gigih melakukan pendidikan politik kepada perempuan. Lalu memaksa partai politik untuk berupaya memenuhi kuota pencalegan perempuan.
Tentu KPU wajib tunduk dan patuh pada hierarki norma. Artinya setiap orang berhak menolak atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun. Selain itu, berhak pula mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif. Norma tersebut jelas terkandung dalam UU partai politik dan UU pemilu yang memberi jaminan perlindungan keterwakilan perempuan dalam politik.
Jika kita refleksikan atas aturan tersebut tentu aturan KPU itu tidak sejalan dengan semangat para perempuan yang hingga saat ini berupaya untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen. Kenyataan ini sangat kita sesalkan jika kebijakan hukum seolah mengesampingkan posisi perempuan.
Keberadaan perempuan ini, tentu saja mewakili jutaan masyarakat, terutama kaum perempuan. Masih tingginya angka kekerasan terhadap perempuan, buruh migan, kesehatan, pendidikan, dan ekonomi, menjadi PR kita bersama. Sehingga dapat kita tegaskan segala bentuk pelanggaran hak politik perempuan dalam penyelengaraan pemilu harus terproses dan kita pulihkan kembali sesuai dengan fungsi dan mekanisme yang pernah ada.. []