“Harusnya Islam dijadikan tradisi dan budaya. Jangan kita balik, budaya di-Islamkan. Susah. Mengislamkan budaya ini repot, karena budaya banyak sekali, standar yang mana yang harus dipegangi?”
Mubadalah.id – Pernyataan tersebut diutarakan oleh Ustadz Khalid Basalamah ketika seorang jamaahnya menanyakan hukum wayang dan bagaimana jalan taubat seorang yang berprofesi sebagai dalang. Meski tidak memfatwakan langsung bahwa wayang itu haram.
Namun, secara tersirat tergambar jelas jika bagi dai tersebut wayang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Meski akhirnya pria bernama lengkap Khalid Zeed Abdullah Basalamah tadi menyampaikan permintaan maaf dan mengunggah video klarifikasi, tetapi polemik kesenian wayang sudah terlanjur menuai pro kontra di tengah masyarakat, utamanya umat Islam.
Sejarah Wayang
Wayang sendiri sejatinya bukan barang baru di negeri ini. Merujuk riset Awalin (2018), wayang diperkirakan sudah ada sejak 1500 SM. Pada awalnya, wayang dijadikan medium untuk mendatangkan arwah leluhur. Tradisi ini berkelindan dengan sistem kepercayaan masyarakat Jawa zaman pra sejarah. Ritual wayang tak serta merta berhubungan dengan pemujaan semata, kepercayaan itu kemudian mempengaruhi bagaimana pembuatan tokoh-tokoh dalam wayang, yaitu gambar bayangan para leluhur yang sudah meninggal.
Penegasan paradigma makna wayang adalah bayangan. Seiring waktu, dinamika budaya, mata pencaharian, dan sistem kepercayaan masyarakat setempat, wayang tak selalu lekat dengan kegiatan ritual komunikasi dengan arwah leluhur, justru selanjutnya mengalami perubahan makna serta media.
Realitas wayang sebagai produk seni budaya mencapai puncaknya pada tahun 907 Masehi dan abad XI. Pergelaran wayang dipergelarkan dan menjadi daya tarik bagi yang menontonnya. Pokok pergelaran wayang sifatnya masih magis-religius. Alat-alat pendukung yang digunakan amatlah sederhana dan gendhing-gendhing yang mengiringi bernuansa Hindu, sebagai bentuk akulturasi budaya Jawa dengan nilai-nilai Hindu yang masuk dari India (Mulyono, 1989).
Wayang sebagai Media Dakwah Islam
Pola dakwah kultural agama di Jawa dengan medium wayang ternyata tak sampai di situ saja, di zaman Sunan Kalijaga, pendekatan budaya juga diterapkan dalam menyebarkan nilai-nilai Islam. Wali yang juga murid Sunan Bonang tersebut mengawali dakwahnya di Desa Kalijaga, Cirebon. Dalam melakukan syiar Islam, khususnya di Jawa, beliau selalu mencoba memahami karakter dan tatanan sosial budaya masyarakat setempat. Tak sekalipun beliau mendikte secara kaku warga lokal untuk menerima langsung agama yang telah ia anut.
Saat berdakwah dengan menggunakan wayang kulit. Sunan Kalijaga mengganti cerita wayang yang sebelumnya tentang Ramayana dan Mahabarata dari cerita ajaran Hindu menjadi cerita yang lekat dengan ajaran Islam. Bentuk wayang juga diubah. Awalnya serupa bentuk manusia menjadi bentuk kreasi baru yang mirip karikatur.
Contohnya, orang yang menghadap ke depan diukir dengan letak bahu di depan dan di belakang. Tangan wayang kulit dibuat panjang hingga menyentuh kakinya. Meski menghadap ke depan, matanya dibuat tampak utuh. Apa yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga menegaskan bahwa terjadinya perubahan wayang dari realistik-naturalistik menjadi abstrak dekoratif dan simbolik, dengan tetap fokus pada tujuan dan spirit dakwah yang diemban.
Figur-figur wayang yang paling dikenal luas adalah punakawan yang berarti mentor bijak bagi para Pandawa. Sunan Kalijaga serta para wali lainnya juga banyak memperkenalkan ajaran-ajaran Islam (aqidah, syariah, dan akhlak) melalui plot cerita yang dibangun berdasarkan perilaku punakawan tersebut.
Nama-nama punakawan sendiri (Semar, Nala Gareng, Petruk, dan Bagong) sebagai satu-kesatuan sebenarnya merepresentasikan karakteristik kepribadian Muslim yang ideal. Semar, sebagaimana dijelaskan Sudarto, berasal dari kata ismar yang berarti seorang yang mempunyai kekuatan fisik dan psikis. Ia sebagai representasi seorang mentor yang baik bagi kehidupan, baik bagi raja maupun masyarakat secara umum.
Nala Gareng berasal dari kata nála qarín yang berarti seorang yang mempunyai banyak teman. Ia merupakan representasi dari orang yang supel, tidak egois, dan berkepribadian menyenangkan sehingga ia mempunyai banyak teman.
Petruk merupakan kependekan dari frase fatruk ma siwá Allah yang berarti seorang yang berorientasi dalam segala tindakannya kepada Tuhan. Ia merepresentasikan orang yang mempunyai konsen sosial yang tinggi dengan dasar kecintaan pada Tuhan. Bagong berasal dari kata bagháyang berarti menolak segala hal yang bersifat buruk atau jahat, baik yang berada di dalam diri sendiri maupun di dalam masyarakat (Marsaid, 2016).
Berdakwah dengan Pendekatan Budaya
Dari apa yang dicontohkan oleh Sunan Kalijaga, bisa dilihat bahwa budaya asli nusantara tidak perlu dieliminasi dalam sistem kehidupan masyarakat untuk menyebarkan nilai-nilai Islam. Justru, sejarah Walisongo menunjukkan bahwa Islam berkembang pesat melalui adaptasi budaya dengan tetap menjaga etika, sopan santun, dan prinsip-prinsip perdamaian. Dengan syiar yang lembut, menghindari konflik, tanpa langsung menghilangkan tradisi lama yang telah turun temurun dianut, penyebaran Islam Nusantara model Walisongo dapat bertahan hingga sekarang, malah semakin menguatkan sikap toleransi antar umat beragama.
Sehingga model sejenis yang sepatutnya perlu dilestarikan oleh pendakwah Indonesia sekarang, terlebih dakwah kaku dan penuh kekerasan yang banyak diimplementasikan di Timur Tengah terbukti kurang efektif. Hal ini terlihat dari meningkatnya jumlah ateis di sana dalam satu dekade terakhir.
Wawancara Kantor Berita Jerman DW (2021) dengan beberapa responden yang mengaku meninggalkan agama memperlihatkan bahwa mereka memilih murtad karena ajaran Islam yang mereka terima kerap didakwahkan dengan bentakan, dan ancaman kekerasan, sehingga mereka merasa tidak mendapatkan kedamaian.
Apa yang terjadi di Timur Tengah tentu kita harapkan tidak terjadi juga di Indonesia. Oleh karenanya ke depan kita sepertinya perlu mendalami kembali nasihat almarhum Gus Dur semasa hidup, “Islam di Indonesia itu timbul dari basis kebudayaan. Jika itu dihilangkan, maka kemungkinan ada dua, yaitu pertama, kebudayaan akan mati, kedua, Islam akan hancur.” []