Pamflet workshop poligami kembali tersebar di masyarakat. Tentu saja, tak serta-merta gratis, ada biaya yang mesti ditanggung. Mereka menyebutnya investasi, sebesar 3.7 jutaan. Itupun sudah harga diskon, yang sebelumnya sampai 4,7 juta.
Aroma bisnis poligami menyeruak di tengah pandemi. Hari ini, bahkan wacana poligami tak sekadar alat untuk memperebutkan kekuasaan, tetapi juga komoditi yang sengaja dipasarkan, di tengah menguatnya arus fundamentalisme dan politik identitas.
Kali ini, workshop diselenggarakan oleh Robbanian Family. Lokakarya ini bertajuk “Mindset Sukses Poligami”. Hal lain yang lebih mencengangkan adalah konten kampanye utama mereka, yang sialnya tercantum dalam pamflet. Ada empat point; istri tidak menolak dipoligami; mudah mengamalkan syariat poligami; 35% teori, 65% cara sukses poligami; dan manajemen keluarga bahagia.
Deddy Corbuzier mengundang ‘presiden poligami’ Puspo Wardoyo di kanal Youtubenya pada 16 Juni 2020. Dalam perbincangannya ia mengatakan “bebas aja. Menikahi yang kamu cintai, aturannya begitu.” Terang-terangan Deddy sudah menyinggung syarat poligami, salah satunya menikahi janda-janda tua. Tapi Puspo Wardoyo justru berseloroh, wanita muslim yang tidak setuju poligami karena belum tahu, kalau tahu pasti mendukung. Menikah itu untuk menundukkan kepala, menundukkan mata.
Dengan dalih ‘pindah tugas’ dan ‘menyelamatkan’ perempuan yang membutuhkan kepemimpinannya, poligami menjadi satu-satunya solusi bagi dia. Tentu, itu pola pikir yang arogan dan patriarkal.
Dimana letak kesalingan dalam membangun keluarga? Apalagi dapat mencapai ketenangan bila saban hari dibumbui kegetiran-kegetiran, yang mengatasnamakan syariat agama, alih-alih memenuhi hasrat seksual laki-laki.
Sebagin besar poligami dilakukan sembunyi-sembunyi tanpa pengetahuan istri dan keluarga besar. Tak ada konsensus. Tak ada perizinan. Para pelaku poligami memilih jalan pintas; nikah sirri. Perkawinan yang tidak tercatat dalam pemerintahan. Perkawinan semacam itu berpotensi mengabaikan hak-hak anak dan perempuan di kehidupan mendatang.
Sementara tujuan pernikahan adalah ketenangan yang ditopang dengan cinta, harapan dan kasih sayang. Tapi, apakah mereka yang berpoligami adil dalam membagi cinta sehingga tak memunculkan kecemburuan? Ah, saya lupa. Kata adil dalam poligami tak memperhitungkan cinta dan perasaan. Sehingga mereka kerap mewajarkan kecemburuan.
Kecemburuan merupakan betuk kekerasan psikologis yang dialami para perempuan penyintas poligami. Sayang, tak banyak yang memahami. Mereka terpaksa menelan mentah-mentah doktrin poligami adalah jalan menuju surga. Meski didera kesakitan saban hari, mereka tetap berjuang. Tak hanya kekerasan psikologis, poligami berpotensi memunculkan kekerasan fisik, dan ekonomi.
Pemilihan ayat yang hanya mengutip setengah atau sepotong-potong oleh para mubaligh atau mufasir memberi kontribusi besar terhadap praktik poligami di masyarakat. Ayat yang mereka kutip dari Al Quran, surat An Nisa ayat 3. “Dan jika kamu khawatir berlaku zalim terhadap anak yatim maka nikahilah perempuan yang kamu senangi dua, tiga, atau empat.”
Konteks sosial pada saat ayat itu turun, banyak sahabat yang meninggal ketika berperang. Di Arab sendiri ada budaya wali, ia tidak mesti nasab atau keluarga yang penting merupakan tokoh masyarakat serta sanggup menghidupi para yatim.
Bila anak yatim itu cantik, ia akan dinikahi dan dikuasai hartanya. kalau jelek, ia akan berusaha berbagai macam cara agar tidak ada yang menikahinya dan keingian untuk menguasai hartanya tetap ada. Hal semacam itu tentu memunculkan ketidakadilan. Substansi dari ayat tersebut yakni berbuat keadilan.
Vice Indonesia, menayangkan liputan bertema poligami di kanal youtubenya. Nina Nurmila, akademisi Islam yang meneliti isu poligami, menjelaskan “hanya ajaran Islam dalam kitab sucinya, dalam anjurannya untuk memerintahkan monogami. Poligami itu sudah ada sejak dulu, lalu Islam merevolusinya bertahap menjadi maksimal empat dulu, tapi ujungnya yang diinginkan adalah fawahidattan.”
Dalam surat yang sama, An-Nisa ayat 129 diterangkan dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istrimu, walapun kamu sangat menginginkan, karena itu janganlah kamu cenderung kepada yang kamu cintai, sehingga kamu membiarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Di Islam sendiri tidak ada perintah poligami, kecuali dalam keadaan sangat darurat. Allah maha adil, dan Dia tidak mungkin menurunkan ayat yang mendukung ketidakadilan. Tuhan tidak menciptakan sistem yang justru menyiksa hamba-Nya.
Wacana Poligami; Industri dan Politik
Poligami seolah menjadi tren di kalangan masyarakat sekarang yang dikait-kaitkan dengan tradisi Islam. Padahal, praktik poligami sudah ada sejak masa peradaban kuno seperti Mesir, India, Roma dan Yunani.
Menilik sejarah, dari zaman sebelum Islam datang poligami sudah mentradisi. Adanya kaisar China dengan membuat Forbidden Palace yang memiliki 999 istri. Di Afrika tradisi semacam itu juga sudah membudaya. Di agama Kristen ada sekte yang memperbolehkan poligami: sekte Mormon dari New York dan sekte Armish di Amerika Serikat.
Selain pemaknaan surat An-Nisa ayat 4 yang sepotong-potong dan penafisran ulama fiqih konservatif – yang sudah tak relevan dengan konteks sosial hari ini, budaya popular juga memberi sumbangsih atas meningkatnya praktik poligami di Indonesia.
Kita, barangkali tak asing dengan film Ketika CInta Bertasbih, Ayat -Ayat Cinta, Surga Yang Tak Dirindukan, film-film tersebut mencapai jumlah 1,5 juta penonton. Terbayang, berapa jumlah orang yang terpengaruh dengan narasi para muslim yang ujung-ujungnya taat poligami. Media mempopulerkan Islam yang baik adalah yang berpoligami. Pun dengan adanya pemberitaan yang kurang berimbang terhadap Rasul yang melakukan poligami dan monogami.
Dalam catatan akhir tahun Komnas Perempuan tahun 2020, salah satu masalah yang menghambat keadilan bagi perempuan yakni pelaziman poligami oleh pejabat publik. Mengangkat wacana poligami sebagai alat kekuasaan dan alat politik untuk mencari simpati, dukungan suara mayoritas atau alat untuk mendomestikasi ulang perempuan di tengah arus fundamentalisme radikal dan ekstrim yang menguat.
Beberapa pemerintah daerah pernah mengeluarkan kebijakan yang bias gender atau pro poligami sesuai dengan syariat Islam, supaya daerah yang dipimpinnya disebut daerah yang agamis. Pro-kontra poligami tentu tak lepas dari unsur politis. Perebutan wacana yang bisa jadi berkaian dengan identitas politik.
Wakil wali kota Kabupaten Bandung Barat, Hengky Kurniawan pernah mengeluarkan program Sekolah Ibu yang tujuannya untuk meminimalisir angka perceraian dan mengatasi masalah sosial lain. Program itu, sudah lebih dulu diterapkan di Bogor. Lalu ada Ran Qanun di Aceh yang masih jadi perdebatan hingga sekarang.
Mandeknya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) di periode kemarin. Salah satu faktornya karena mereka tak menjadikan RUU ini sebagai prioritas, dan kekerasan terhadap perempuan bukanlah urgensi yang mesti segera ditangani. Belum lagi, menghadapi tuduhan miring, seperti RUU ini pro LGBT, zina dan liberal. Sebuah kontestasi wacana untuk mencapai kepentingan masing-masing.
Bisa kita tarik bahwa poligami hanya alat untuk mempertahankan dan merebut kekuasaan. Argumen yang menyatakan kebijakan poligami melindungi perempuan, tak didukung dengan kajian mendalam yang tidak didasarkan pengalaman nyata dari perempuan.
Poligami hari ini, agaknya memang didesign untuk orang-orang kelas menengah atas. Baik peserta laki-laki maupun perempuan, mereka sudah mapan secara ekonomi. Padahal janda-janda tua dan miskin yang mestinya diprioritaskan untuk segera dibantu. Bukan perempuan-perempuan muda yang cantik. Karena poligami bermula dari hasrat laki-laki, yang berujung pada kenikmatan laki-laki.
Hasrat seksual, bisnis dan politik menjadikan perempuan, lagi-lagi sebagai korban. Didukung tafsiran agama yang bias gender, ideologi patriarki dan terbatasnya akses di beberapa kalangan. Poligami hanya alat untuk mencapai kepentingan ketimbang kemaslahatan.
Dosa terbesar yang tidak diampuni Allah adalah menyekutukan-Nya. Maka dosa terbesar dari relasi laki laki dan perempuan adalah menduakan karena manusia adalah pancaran Allah. Dia paling tidak suka diduakan, begitupun makhluk-Nya. []