Mubadalah.id – Jika merujuk pandangan Dr. Muhammad Syahrur soal poligami, maka praktik ini menurutnya hanya bisa dilakukan bagi orang yang sudah beristri dan dengan perempuan yang memiliki anak-anak yatim yang terlantar.
Dalam pandangannya, konteks bahasa ayat al-Qur’an tidak mengaitkan kewenangan poligami dengan persoalan biologis laki-laki, kebutuhan terhadap anak, soal kemandulan perempuan, atau kebutuhan-kebutuhan lain yang ada pada pihak suami.
Poligami dalam perspektif ayat an-Nisa adalah solusi terhadap suatu persoalan sosial yang menimpa anak-anak yatim. Karena hal ini hanya bisa dilakukan ketika benar-benar menjamin pemeliharaan dan pendidikan mereka dengan baik dan adil.
Dalam konteks ini, poligami memang halal, bahkan dalam ungkapan Syahrur adalah dianjurkan. Tetapi harus diletakkan pada kondisi dan persyaratan seperti yang direkam ayat an-Nisa.
Pada saat yang sama, harus juga kita tegaskan bahwa sesuatu yang halal dalam fiqh bisa saja tidak boleh melakukannya ketika nyata-nyata mendatangkan kemudharatan kepada banyak pihak. Apalagi jika melenceng dari persyaratan yang telah tergariskan.
Artinya, ketika poligami sebagai solusi terhadap pemeliharaan anak-anak yatim ternyata mendatangkan persoalan sosial. Maka bisa saja ia, Islam larang dan pemeliharaan tidak harus ia lakukan dengan cara mengawini ibu-ibu mereka.
Dalam hal ini, yang berhak menentukan apakah poligami itu tepat atau tidak adalah masyarakat itu sendiri. Terlebih jika masyarakat melakukan penelitian dan jajak pendapat. Dan dalam hal ini sama sekali tidak melanggar syari’at atau al-Qur’an.
Pemaknaan Syahrur ini hanya tepat dari sisi konteks struktur bahasa. Jika kita baca dari konteks sosial yang terjadi pada masa Nabi Muhammad Saw, pemaknaan itu kurang tepat. Karena poligami pada masa itu, tidak hanya untuk menyelesaikan persoalan sosial yang menimpa anak-anak yatim. []