Mubadalah.id – November-Desember agaknya menjadi “bulan Ramadan” bagi suara dan aktivisme perempuan. Selama 16 hari (25 November – 10 Desember), warga jamak memperingati HAKTP alias Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan.
Sejak inisiasinya bermula pada 1991 lalu, HAKTP telah menjelma menjadi gaung bulat penolakan terhadap segala bentuk represi yang menimpa kalangan puan. Kekerasan, dalam bentuk apapun, tak pernah bisa beroleh pembenaran.
Sejatinya, represi itu tak melulu menyasar perempuan saja. Kelompok marjinal lain, seperti kawan difabel juga masih mengalami “kekerasan” dalam rupa berbeda. Tentu, diskusi tentang ihwal ini telah banyak diulas para pakar dan aktivis.
Pada mimbar tulisan kali ini, kita akan bersama-sama menengok bagaimana kampanye HAKTP juga menyasar ruang-ruang jurnalisme. Pertanyaan yang bisa kita ajukan barangkali begini, “Sudahkah jurnalisme kita aman untuk perempuan?”
Sebagai bagian dari public affairs, jurnalisme juga mengemban amanah terciptanya ruang pewartaan yang aman untuk seluruh gender. Tak sekadar soal wujud wartanya, rasa aman itu sedianya mewajah sedari hulu proses pewartaannya.
Jurnalisme kita hari ini
Harus kita akui bersama, bahwasannya jurnalisme hari ini masih belum cukup serius menghadirkan iklim pemberitaan yang berperspektif aman gender. Sangat sering kita jumpai, tajuk-tajuk pemberitaan bombastis yang mendiskreditkan posisi perempuan.
Misalnya saja, kita acap menjumpai frasa-frasa seperti “wanita cantik”, ” janda muda”, atau “istri nakal” di pelbagai media. Frasa itu memang sengaja mejeng sebagai penarik minat pembaca. Nahasnya, strategi itu kerap sukses.
Kelaziman atau normalisasi terhadap penggunaan frasa-frasa yang tidak sensitif gender itu sejatinya mewajahkan pandangan masyarakat kita. Lagi-lagi, harus kita akui bersama, bahwa kita masih melanggengkan character assasination lewat narasi jurnalistik.
Selain tak ramah gender, jurnalisme kita juga gemar menguliti difabilitas sebagai hook pemberitaan. Kita tentu bisa menemukan banyak contoh. Sebut saja kasus yang menjerat I Wayan Agus Suartama.
Alih-alih memberitakan dengan fokus kasusnya, media justru ramai-ramai mengidentifikasi Agus lewat difabilitasnya. Keberbedaan wujud fisiknya membuat media menyebutnya dengan titel “buntung”.
Padahal, seberapa berkaitan kondisi fisik Agus dengan kasus yang ia perbuat? Apakah perlu menyebutkan kondisi fisiknya yang berbeda? Lagi-lagi ini soal paradigma. Physical judging telah menjadi budaya kita yang rasanya sulit untuk bisa mengelak. Termasuk media!
Jerat algoritma
Kecenderungan media untuk mengusung tajuk-tajuk bombastis yang sarat akan praktik verbal violence tak bisa lepas dari jerat algoritma. Algoritma media kini lebih mengutamakan unsur viralitas, alih-alih kualitas, validitas, atau akurasi.
Akibatnya, manakala pemberitaan oleh satu media yang menggunakan frasa-frasa tak sensitif gender beroleh traffic yang tinggi, media lain akan serentak mengikuti. Mau tak mau, frasa serupa akan terus mewajah, membuat preseden negatif terhadap kalangan rentan jadi sulit kita cegah lagi.
Kuatnya dominasi algoritma di era media dewasa ini memang menjadi tantangan tersendiri. Banyak pihak telah mengeluhkan “kejamnya” praktik algoritmik tersebut. Bar-Gill, Sunstein, dan Talgam-Cohen (2023) telah menyebut istilah “algorithm harm” sebagai sebutan untuk praktik algoritmik yang mengancam perempuan dan orang kulit berwarna (color people).
Sayangnya, situasi seperti ini tak banyak bisa dimitigasi oleh kebanyakan media—utamanya media yang bergantung pada traffic pembaca. Mereka tak bisa berbuat banyak, sehingga tak bisa seratus persen beroleh vonis jahat.
Perkara yang mungkin kita bisa ajukan barangkali begini, “Apakah pengelola mesin penelusuran (search engine) mau mengubah prinsip dan praktik algoritmiknya?” Untuk pertanyaan ini, kita sedang memperhadapkan diri dengan korporasi besar yang punya kepentingan cuan di atas segalanya.
Membentuk ulang budaya jurnalisme
Sekalipun rasanya sulit, barangkali kita masih bisa berharap sekiranya peringatan HAKTP tahun ini bisa turut terlibat dalam upaya membentuk ulang kultur jurnalisme kita. Algoritma mungkin memang satu hal yang niscaya, tapi tentu bukan mahadewa.
Para jurnalis kini tengah mengupayakan inisiasi pergerakan untuk perlindungan jurnalis perempuan bernama Movement for the Safety of Welfare and Women Journalist atau We-Move. Seperti tuturan salah seorang jurnalis, Chiara Zambrano, menyebut inisiasi ini berfokus pada perlindungan keselamatan jurnalis perempuan.
Tentunya, upaya merekonstruksi kultur jurnalisme tak bisa berjalan hanya oleh upaya para jurnalis saja. Publik perlu untuk bekerja sama, berkonsolidasi, serta bersinergi melibatkan pelbagai kelompok.
“Melindungi jurnalis perempuan merupakan amanah hak asasi manusia,” tegas perwakilan UNFPA, Neus Bernabeu. []











































