Mubadalah.id – Dua hari sebelum Ramadan, di sebuah postingan media sosial, ada kalimat yang sangat menggelitik. Inti kalimat tersebut adalah “Nanti saat doa upacara bendera, pada kata ‘ampunilah dosa-dosa para pejabat kami’ itu dihapuskan saja”. Postingan tersebut viral dan dibagikan oleh banyak orang. Sayangnya tulisan ini bukan hendak mengkritisi kata demi kata pada kalimat tersebut.
Pangkal persoalannya adalah banyak pejabat yang tidak amanah dan warganet tidak ikhlas jika mereka kita doakan untuk terampuni dosanya. Netizen Indonesia memang tak pernah kehilangan ide untuk mengekspresikan kegelisahannya atas kondisi negara ini. Betul bahwa banyak kebijakan pemerintah (dalam sebulan terakhir) dan perilaku pejabat yang menuai kontroversi dan tentu saja bikin masyarakat muak.
Pertama, kebijakan efisiensi anggaran. Efisiensi anggaran yang mencapai 44 dollar AS atau setara Rp 750 triliun. Dana ini akan pemerintah gunakan untuk membiayai Makan Bergizi Gratis serta ”menyuntik” BPI Danantara. Ternyata dalam praktiknya menyebabkan problem lain. Yakni Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di berbagai sektor, terutama tenaga honorer dan pekerja di industri yang bergantung pada anggaran negara.
Kedua, polemik soal gas elpiji 3kg yang bikin masyarakat resah karena harus antri berjam-jam. Ketiga, dan ini yang paling menghebohkan yaitu kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan pertamax oplosan di PT Pertamina 2018-2023. Kasus itu menjerat sembilan orang yang KPK tetapkan sebagai tersangka. Kerugian negara serta masyarakat akibat praktik korupsi ini mencapai ratusan triliun.
Korupsi di Indonesia
Perilaku pejabat korupsi di Indonesia, tentu saja, bukan barang asing lagi. Alasan mereka melakukan praktik korupsi juga bukan karena gajinya yang sedikit. Gaji Dirut Pertamina yang korupsi saja Rp 1,81 milyar per bulan. Singkat kata, mereka melakukan praktik korupsi semata bukan karena faktor ekonomi. Tapi, ada banyak faktor lain yang menyertainya.
Nathanael Kenneth (2024) menyebutkan, memburuknya kasus korupsi di Indonesia tidak terlepas dari adanya faktor internal yang berupa keserakahan atau ketamakan, gaya hidup yang konsumtif ,dan pendidikan serta moral yang rendah. Selain dari faktor internal terdapat faktor eksternal yang berupa aspek sosial, aspek politik, aspek hukum, aspek ekonomi dan aspek organisasi.
Hal ini juga sejalan dengan apa yang diteliti oleh Haryanti, et.al (2024) yang menyatakan bahwa penyebab utama praktik korupsi di Indonesia meliputi lemahnya penegakan hukum, dan budaya korupsi yang telah mengakar. Selain itu, ketidakmampuan dalam mengelola kekuasaan, serta kesenjangan sosial-ekonomi. Berbeda halnya dengan Nur Atman (2014) yang mengatakan penyebab utama dalam tindak korupsi ini karena biaya politik tinggi dan pemanfaatan celah dalam regulasi.
Pada intinya, pejabat yang korupsi adalah ia yang amoral, serta dalam hatinya selalu terliputi rasa untuk selalu menguasai harta, tamak, serakah, dan sifat-sifat buruk tersebut berjalan beriringan dengan penegakan hukum yang lemah terhadap para koruptor. Para koruptor selalu mendapat angin segar, dan seakan selalu terlindungi oleh pemerintah.
Ramadan, Bulan Untuk Kendalikan Diri
Di era efisiensi, dan makin menjamurnya praktik korupsi, masyarakat Indonesia kini dituntut untuk tidak ikut latah, dan tetap diminta efisien serta efektif dalam membelanjakan hartanya, terutama kini di Bulan Ramadan.
Ramadan adalah bulan penuh berkah dan ampunan. Barangsiapa yang menebarkan kebaikan, maka akan terganjar pahala berlipat ganda. Sebaliknya, barangsiapa yang melakukan kejahatan, maka akan diberi dosa berlipat ganda pula.
Bulan Ramadan juga merupakan momentum yang tepat untuk mengendalikan diri dari hawa nafsu yang ada dalam diri manusia. Misalnya, nafsu ingin menguasai harta orang lain, nafsu ingin berbuat curang saat berdagang, nafsu ingin serakah mengeksploitasi alam, dan nafsu-nafsu lain yang menjadi penyebab keburukan.
Manusia juga perlu mengendalikan diri dari sifat rakus dan berlebih-lebihan dalam hal apapun. Kadangkala, kita ini ingin menguasai banyak makanan, mentang-mentang sudah menahan lapar dan haus selama kurang lebih 13 jam.
Kadang-kadang pula, kita ini ingin belanja banyak barang mentang-mentang toko online lagi banyak diskon. Dan kadang juga, kita ini ingin beli motor baru secara kredit. Meski sebenarnya masih punya motor yang masih bisa kita pakai.
Jauhi Sikap Konsumtif
Sikap yang konsumtif dan hedonis (suka bersenang-bersenang) terkadang menjadi cita-cita banyak orang. Hidup dengan selalu makan enak, berbelanja di mall setiap hari, dan pergi ke tempat wisata setiap seminggu sekali, adalah keinginan banyak orang, meski tahu diri kita tidak punya banyak uang. Ketika punya banyak uang pun, tak bisa membedakan mana keinginan dan kebutuhan, dan lebih berorientasi pada keinginan bukan kebutuhan.
Dalam menjalani kehidupan, kita ini juga selalu melihat ke atas. Kita iri melihat orang kaya yang bisa makan enak dan pergi kemanapun naik mobil, kita juga iri menyaksikan teman punya hape baru. Iri hati tersebut yang kadangkala sulit untuk membuat kita bersyukur atas nikmat dari Allah SWT.
Padahal jika kita mau sekali saja melihat ke bawah, ada banyak orang-orang yang nasibnya tidak sebaik kita, dan kita semestinya mensyukuri atas pemberian Allah SWT..
Mari, kita perbaiki sikap yang demikian itu di Bulan Ramadan yang penuh berkah ini. Kalau kita masih bersikap tamak, rakus, serta serakah, lalu apa bedanya kita dengan para pejabat yang korupsi itu? Sama-sama tidak bersyukur, namun beda konteks.
Bagaimana dengan Pandangan Islam?
Islam sendiri telah memberi petunjuk. Segala yang umat manusia lakukan diatur dan dimanfaatkan atas dasar kesejahteraan, bukan berlebih-lebihan. Meskipun memiliki uang yang segunung, rumah yang bertingkat-tingkat, mobil berderet-deret, dan tanah yang berhektar-hektar.
Budaya konsumtif, dalam Islam tidak dianjurkan. Hal ini diatur dalam Al Qur’an Surah Al A’raf ayat 31.
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”
Begitupun, dalam surat al-Isra’ Ayat 26 dan 27 yang artinya: “Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya.”
Efisiensi Anggaran di Bulan Ramadan
Di bulan Ramadan ini, kita harus bijak mengendalikan keuangan yang kita miliki. Kita harus melakukan efisiensi anggaran, seperti yang pemerintah lakukan. Efisiensi anggaran dapat menjadi momentum untuk lebih bijak dalam mengelola harta benda yang kita miliki.
Tidak harus terlalu sering menghabiskan banyak uang untuk berbuka puasa dengan menu yang “wah” dan “mewah”, cukup dengan makanan yang sehat dan bergizi serta berimbang.
Dana yang biasanya kita pakai untuk konsumsi berlebih bisa kita implementasikan untuk program-program yang membuat kita dapat pahala, seperti untuk zakat, infaq, dan sedekah. Ketiganya merupakan bagian penting dari ibadah Ramadan. Selain salat (hablumminallah), juga perlu menerapkan hablumminannas (hubungan baik dengan manusia).
Sebab bagaimanapun, di samping kita harus memenuhi asupan gizi diri sendiri, selain itu ada orang-orang yang harus kita bantu. Ada orang-orang yang butuh uluran tangan kita untuk menghidupkan kompor-kompor gas di dapurnya.
Semoga kita menjadi umat yang bijak dalam mengelola harta khususnya di bulan Ramadan ini. Karena Islam sendiri tegas melarang perilaku berlebih-lebihan, boros, serakah, tamak, dan sebagainya. Semoga para koruptor yang tamak-tamak itu terampuni dosanya oleh Allah SWT. []