• Login
  • Register
Selasa, 8 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Featured

Praktik P2GP, Perspektif Agama, Tradisi, dan Pengalaman Perempuan

Perbedaan fiqih, fatwa, dan taqnin, jangan dijadikan sebagai  perdebatan antara ideologi Islam atau sekuler. Tetapi ini adalah tentang tubuh perempuan, kemanusiaan, dan ikhtiar untuk mencapai kemaslahatan

Zahra Amin Zahra Amin
19/11/2021
in Featured, Pernak-pernik
1
praktik P2GP

praktik P2GP

272
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Tiga hari kemarin, Selasa sampai dengan Kamis, 16 s/d 18 November 2021, saya berkesempatan mengikuti kegiatan Musyawarah Ulama Pesantren Indonesia ke II, yang penyelenggaranya adalah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, dan terselenggara di Bogor Jawa Barat.  Dengan niat awal ingin belajar bersama para ulama, pimpinan atau perwakilan pesantren, lembaga ormas, dan para penyintas praktik P2GP, yang hadir pada saat itu untuk menyampaikan testimoni, menjadi ruang untuk lebih memahami praktik P2GP atau khitan perempuan dari perspektif agama, tradisi, dan pengalaman perempuan.

Di hari pertama, beberapa narasumber dihadirkan untuk melihat Praktik P2GP yang seringkali disalahpahami sebagai pemenuhan perintah khitan bagi perempuan. KH Abdul Ghofur Maemun, yang mendedahkan banyak maraji’ materi-materi tentang khitan yang berasal dari turats atau sumber kitab kuning, secara pribadi mengatakan tidak menemukan nash yang shahih, baik dari Al Qur’an maupun Hadits terkait dengan khitan perempuan.

Penyampaian senada juga keluar dari narasumber lainnya, yakni Hj Maria Ulfa Anshor, Dr. Nur Rofiah, Lc, Bil, Uzm, Ibu Nyai Hj. Badriyah Fayumi, Lc, MA dan Dr. (H.C) KH Husein Muhammad, yang mengamini  pernyataan Kiai Ghofur tersebut. Sebab, tidak ada satu dalil-pun yang menganjurkannya di dalam sumber-sumber otoritatif hukum Islam yang ulama. sepakati Sebaliknya, ulama sepakat bahwa khitan itu untuk laki-laki berdasarkan dalil yang sahih dan sharih, dan menemukan dukungannya dalam perkembangan dunia medis.

Menghadirkan para ulama pesantren dalam kegiatan musyawarah ke II di Bogor tersebut bukan tanpa alasan. Karena berdasarkan temuan data dari Hj. Maria Ulfa Anshor dari Komnas Perempuan, ada tiga alasan mengapa P2GP masih terjadi di lingkungan masyarakat. Pertama, perintah agama. Kedua, tradisi masyarakat yang sudah berjalan turun temurun sehingga perlu merasa perlu terawat. Bahkan konon jika ada yang tidak melakukan praktik khitan perempuan akan mendapatkan sanksi sosial. Dan terakhir, ketiga adalah tradisi keluarga.

Temuan data itu sejalan pula dengan testimoni pengalaman perempuan dari Ibu Helwana dari Dewan Masjid Indonesia (DMI). Ia bercerita pengalaman pribadi soal khitan perempuan. Helwana lahir dari keluarga yang masih kental tradisinya. Bapaknya merupakan seorang ulama terpandang dari suku Bugis, tapi lahir di Kalimantan Timur. Pada Usia 7 tahun ia mengalami khitan. Biasanya secara tradisi dan mengikuti kondisi ekonomi keluarga, prosesi itu ada seremonial atau upacara adatnya.

Baca Juga:

Samia Kotele: Bongkar Warisan Kolonial dalam Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

Islam Memuliakan Orang yang Bekerja

ISIF akan Gelar Halaqoh Nasional, Bongkar Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia

Pesan Pram Melalui Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer

“Saya punya kakak perempuan yang juga dikhitan, tapi tanpa ada masalah. Dalam budaya Sulawesi ada adat makatte’,  lalu ada tetua adat yang dinamakan Sanro, ini bukan dukun ya. Ada upacara adat yang harus dilalui, kamar dihiasi kelambu-kelambu. Tersedia pula alat khitan menggunakan sebilah bambu yang diruncingkan, dan dianggap higienis. Saat itu, saya mengalami pendarahan berat, dan dilarikan ke rumah sakit. Bapak saya melawan dengan cara hebat.” Tuturnya sambil menahan rasa ngilu memendam trauma bertahun-tahun.

Jika sebelumnya keluarga Helwana mengikuti tradisi nenek, namun dalam peristiwa tersebut sang Bapak melawan, dan mengatakan bahwa tidak ada dalil satupun yang menyuruh anak perempuan untuk ada khitan baginya. Kesimpulannya, khitan perempuan sangat berbahaya dan meninggalkan trauma yang mendalam. Bahkan hingga hari ini  Helwana masih trauma dengan bambu. “Perabot yang menggunakan bahan bambu saya masih belum mampu melihatnya.” Ungkap Helwana.

Dari penyampaian perspektif agama, temuan data penelitian, penuturan dari pengalaman perempuan, keadilan hakiki sebagai cara pandang melihat persoalan perempuan, serta pemaparan ahli medis terkait dampak negatif praktik P2GP terhadap kesehatan reproduksi perempuan, menjadi alasan kuat untuk mendorong diterbitkannya aturan negara yang tegas dan mengikat terkait praktik P2GP.

Sebagaimana dikatakan oleh Ibu Nyai Hj. Badriyah Fayumi di akhir pemaparannya tentang “Penguatan Fiqih atas larangan khitan perempuan.” Di sesi itu, Hj. Badriyah Fayumi menyampaikan kesimpulan menarik, dan menjadi sebuah terobosan untuk membuat keputusan hukum di Indonesia. Di mana penjelasan beliau berangkat dari fiqih, fatwa, dan taqnin (perundang-undangan), sehingga menjadi mengikat dan tidak ikhtilaf. Hukum fiqih klasik mengatakan khitan perempuan sunah, mubah dan makruh, tapi tidak sampai haram.

Fiqih itu adalah ilmu tentang hukum-hukum syariat yang sifatnya terapan, praktik berdasarkan dalil-dalil terperinci berdasarkan ijtihad. Maka selalu ada ikhtilaf, yang identik dengan perbedaan pendapat, sehingga bisa jadi akan ada perubahan. Dari fiqih ke fatwa nanti bisa terjadi pergeseran makna. Fatwa arahnya adalah menjawab masalah, tapi tidak mengikat. Akan tetapi di Indonesia perlu mencari pembuktian tentang madharat-madharat khitan perempuan itu berdasarkan alasan medis. Selain itu, Ibu Nyai Hj Badriyah berangkat dari satu hal lagi, yakni dari pengalaman asli perempuan Indonesia.

Selanjutnya Bu Nyai Hj Badriyah menambahkan dua hal lain. Pertama karakter dari fiqih Indonesia itu dinamis dan terbuka. Dan kedua jika jelas-jelas ada kemaslahatan serta kemadharatan yang nyata, maka taqnin perlu dibuat tanpa aqwal-aqwal yang sudah ada. Kemudian, urusan khitan perempuan ini baik dari hukum fiqihnya, baik fatwa atau taqnin, jangan dijadikan sebagai kontestasi ideologis, jangan sampai dianggap sebagai upaya menghancurkan Islam.

“Perbedaan fiqih, fatwa, dan taqnin, jangan dijadikan sebagai  perdebatan antara ideologi Islam atau sekuler. Tetapi ini adalah tentang tubuh perempuan, kemanusiaan, dan ikhtiar untuk mencapai kemaslahatan, serta mewujudkan maqashid syariah dan keadilan yang hakiki bagi seluruh warga negara Indonesia.” Terangnya.

Maka dengan demikian, melalui forum Musyawarah Ulama Pondok Pesantren II, mendorong kepada pemerintah untuk segera membuat regulasi yang mendukung pencegahan praktik P2GP di masa-masa yang akan datang, dan mengajak seluruh ulama, serta tokoh masyarakat untuk memberikan pemahaman yang komprehensif tentang bahaya praktik P2GP di tengah-tengah masyarakat. []

Tags: FatwahukumIndonesiaislamKhitan PerempuanPraktik P2GP
Zahra Amin

Zahra Amin

Zahra Amin Perempuan penyuka senja, penikmat kopi, pembaca buku, dan menggemari sastra, isu perempuan serta keluarga. Kini, bekerja di Media Mubadalah dan tinggal di Indramayu.

Terkait Posts

IBu

Kasih Sayang Seorang Ibu

7 Juli 2025
Kasih Sayang Orang Tua

Pentingnya Relasi Saling Kasih Sayang Hubungan Orang Tua dan Anak

7 Juli 2025
Kewajiban dan hak

Jangan Hanya Menuntut Hak, Tunaikan Juga Kewajiban antara Orang Tua dan Anak

7 Juli 2025
Bekerja adalah bagian dari Ibadah

Bekerja itu Ibadah

5 Juli 2025
Bekerja

Jangan Malu Bekerja

5 Juli 2025
Bekerja dalam islam

Islam Memuliakan Orang yang Bekerja

5 Juli 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Sejarah Ulama Perempuan

    Mencari Nyai dalam Pusaran Sejarah: Catatan dari Halaqah Nasional “Menulis Ulang Sejarah Ulama Perempuan Indonesia”

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • From Zero to Hero Syndrome: Menemani dari Nol, Bertahan atau Tinggalkan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jangan Hanya Menuntut Hak, Tunaikan Juga Kewajiban antara Orang Tua dan Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pentingnya Relasi Saling Kasih Sayang Hubungan Orang Tua dan Anak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Kasih Sayang Seorang Ibu
  • Intoleransi di Sukabumi: Ketika Salib diturunkan, Masih Relevankah Nilai Pancasila?
  • Pengrusakan Retret Pelajar Kristen di Sukabumi, Sisakan Trauma Mendalam bagi Anak-anak
  • From Zero to Hero Syndrome: Menemani dari Nol, Bertahan atau Tinggalkan?
  • Pentingnya Relasi Saling Kasih Sayang Hubungan Orang Tua dan Anak

Komentar Terbaru

  • M. Khoirul Imamil M pada Amalan Muharram: Melampaui “Revenue” Individual
  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID