Mubadalah.id – Pro Kontra terkait menjadikan anak sebagai bahan konten di media sosial cukup ramai. Kelucuan anak menjadi daya tarik masyarakat untuk menonton tingkah polahnya, menjadi daya tarik tersendiri. Mulai dari kelucuan Rayanza Putera Nagita Slavina, Ameena Putri Aurel Hermansyah, Moana putri Ria Ricis, adalah content creator yang menjadikan momen kelucuan anak bisa dinikmati khalayak.
Muncul pula anak-anak dari kalangan bukan keluarga artis, namun tak kalah lucunya seperti Abe dan Ritsuki. Nah, munculnya konten anak dalam You Tube kemudian menjadi sorotan mana kala, mereka kemudian Fyp di Tik Tok. Sebagian orang akhirnya menganggap bahwa hal tersebut merupakan bentuk eksploitasi anak. Alasan mengapa anak di usia golden age tidak boleh menjadi bahan konten karena anak sedang berproses untuk menyerap pengetahuan tentang sekitarnya.
Fase Golden Age adalah periode emas dalam perkembangan anak, yaitu sejak lahir hingga usia 5 tahun. Pada fase ini, 90% perkembangan otak terjadi, sehingga stimulasi yang tepat akan sangat berpengaruh pada kecerdasan, karakter, dan kepribadian anak di masa depan. Anak butuh belajar tentang lingkungan sosial dari value, principle, agama, nilai, pendidikan. Di usia ini usia segini adalah asal bunyi yang bisa lucu, asal bunyi.
Membuat konten tentang tumbuh kembang anak bisa menjadi salah satu bentuk eksploitasi anak dalam konten digital, terutama di bawah 5 tahun, harus kita lindungi privasinya. Banyak orang mulai sadar akan risiko berbagi terlalu banyak informasi tentang anak-anak di media sosial, berpotensi eksploitasi, pencurian identitas, atau dampak psikologis di masa depan.
Kejahatan digital memiliki dampak serius pada anak di bawah umur, baik secara psikologis, sosial, maupun akademik. Sebetulnya banyak orang tua hanya berniat ingin berbagi momen lucu atau menggemaskan anak mereka, tanpa motif ekonomi atau eksploitasi. Dibuat dengan kesadaran, jika anak sudah cukup besar untuk memahami dan setuju, serta tidak ada unsur paksaan, maka konten tersebut bisa dianggap sah.
Di sisi lain, ada nilai pendidikan dan inspirasi, beberapa konten anak justru menginspirasi atau memberikan nilai edukatif bagi masyarakat, seperti anak berbakat dalam seni atau olahraga. Pada akhirnya, batas antara berbagi momen anak dan mengeksploitasi anak bisa jadi sangat tipis. Jika tujuannya hanya untuk hiburan tanpa mempertimbangkan hak dan privasi anak, maka bisa menjadi awal masalah.
Dampak Menjadikan Anak sebagai Bahan Konten
Media sosial saat ini diramaikan dengan pembahasan anak kecil bernama Arra yag beberapa kali muncul di TV dan podcast beberapa artis. Aktifnya Arra yang ekspresif memunculkan pro dan kontra pada penonton. Respon in berbeda saat sebelumnya juga muncul anak seusianya seperti Lala, Zehan, Ritsuki dan Kenkulus.
Ramainya komentar netizen terkait Ara mengarah pada Cyberbullying atau perundungan Online. Komentar sangat di luar kontrol karen aArra adalah anak yang ibarat kertas putih tergantung dari pola asuh kedua orang tuanya.
Risiko lainnya jika anak menjadi bahan konten adalah bisa menjadi korban pelecehan, hinaan, atau ancaman melalui media sosial, pesan instan, atau forum online. Eksploitasi dan kejahatan nnline, anak-anak rentan terhadap predator online yang memanipulasi mereka untuk berbagi informasi pribadi atau foto tidak pantas. Bisa terjadi melalui grooming online, di mana pelaku membangun kepercayaan sebelum mengeksploitasi korban.
Anak-anak sering kali tidak menyadari risiko berbagi informasi pribadi di internet. Data mereka bisa dicuri untuk keperluan ilegal, seperti pencurian identitas atau akses tidak sah ke akun penipuan dan penyalahgunaan data pribadi,
Kecanduan Internet dan Media Sosial, kejahatan digital sering kali berhubungan dengan manipulasi psikologis, seperti algoritma yang membuat anak kecanduan aplikasi tertentu.
Dampaknya meliputi gangguan fokus, penurunan prestasi akademik, serta masalah sosial akibat kurangnya interaksi di dunia nyata.
Mengapa Bisa Kita Sebut Eksploitasi?
Anak-anak sering kali tidak menyadari bahwa mereka sedang direkam dan videonya akan disebarluaskan. Mereka tidak memiliki kontrol atas bagaimana citra mereka digunakan. Banyak konten viral yang melibatkan anak-anak menghasilkan keuntungan bagi orang tua atau pembuat konten, sementara anak itu sendiri tidak mendapatkan bagian atau pemahaman tentang dampaknya.
Privasi anak akan terganggu di masa depannya, karena anak-anak yang viral sejak kecil mungkin akan menghadapi masalah privasi di masa depan. Video mereka bisa bertahan selamanya di internet, bahkan ketika mereka sudah dewasa dan ingin menjaga privasinya akan sangat sulit.
Tekanan untuk terus menghibur juga rentan menimpa pada anak. Jika suatu konten anak menjadi viral, ada kemungkinan orang tua terus mendorong anak untuk membuat konten serupa demi keuntungan atau popularitas, yang dapat menjadi beban bagi anak.
Tidak Semua Konten Anak adalah Eksploitasi
Niat yang Baik, banyak orang tua hanya ingin berbagi momen lucu atau menggemaskan anak mereka tanpa motif ekonomi atau eksploitasi. Dibuat dengan Izin dan Kesadaran, jika anak sudah cukup besar untuk memahami dan setuju, serta tidak ada unsur paksaan, maka konten tersebut bisa dianggap sah.
Pendidikan dan Inspirasi, beberapa konten anak justru menginspirasi atau memberikan nilai edukatif bagi masyarakat, seperti anak berbakat dalam seni atau olahraga. Pada akhirnya, batas antara berbagi momen anak dan mengeksploitasi anak bisa jadi sangat tipis. Jika tujuannya hanya untuk hiburan tanpa mempertimbangkan hak dan privasi anak, maka itu bisa menjadi masalah.
Pendidikan untuk anak balita di usia 0-5 tahun harus dirancang untuk mendukung perkembangan fisik, kognitif, sosial, dan emosional mereka. Berikut adalah beberapa prinsip utama dalam pendidikan yang tepat untuk anak balita.
0-1 Tahun dengan sering mengajak bicara, bermain cilukba, memberikan mainan warna-warni dan tekstur berbeda. Usia 1-2 Tahun yaitu berupa latihan berjalan, kata-kata sederhana, kenalkan kebiasaan baik seperti menyikat gigi. Lalu pada usia 2-3 Tahun adalah dengan membiarkan anak mulai bereksplorasi dengan lingkungan, bermain peran, dan menggambar. Usia 3-5 Tahun melalui pengembangkan imajinasi dan kreativitas melalui permainan, aktivitas seni, dan interaksi sosial.
Anak juga harus mulai belajar kemandirian sejak dini, maka sebagai orang tua tidak perlu sering membantu anak dalam segala hal. Berikan kesempatan untuk belajar mandiri seperti makan sendiri, memakai baju, dan merapikan mainan. Biasakan anak untuk memiliki rutinitas harian seperti mandi, tidur tepat waktu, dan membersihkan diri.
Biarkan Anak Bereksplorasi dan Bermain, bermain adalah cara terbaik bagi anak untuk belajar. Biarkan anak bermain di luar ruangan, berlari, melompat, dan menyentuh berbagai tekstur. Jangan terlalu banyak melarang selama aktivitasnya aman.
Membuat Konten Edukasi dalam Tumbuh Kembang Anak
Bermain adalah metode pembelajaran paling baik untuk balita. Pilih tema konten anak yang bisa berisi permainan untuk merangsang kreativitas, imajinasi, dan keterampilan motorik mereka, contoh: bermain peran, permainan sensori seperti pasir, air, puzzle sederhana, dan bermain balok.
Menggunakan aktivitas yang merangsang indra anak, seperti bermain dengan tekstur yang berbeda atau mendengar berbagai suara. Ajarkan keterampilan motorik halus dan kasar melalui menggambar, meronce manik-manik, berlari, atau melompat.
Banyak mengajak anak untuk berkomunikasi dan membacakan buku cerita membantu meningkatkan kemampuan bahasa mereka. Menggunakan lagu, dongeng, dan percakapan sehari-hari untuk memperkaya kosakata mereka. Anak berinteraksi dengan teman sebaya untuk mengembangkan keterampilan sosialnya, mempraktikkan konsep berbagi, menunggu giliran, dan mengenali emosinya.
Anak-anak belajar dari keteladanan, jadi orang tua dan pendidik harus memberikan contoh yang baik. Anak akan belajar moral dan etika melalui nilai-nilai seperti kejujuran, sopan santun, dan empati melalui contoh langsung dari orang tua dan lingkungan sekitarnya. Anak harus merasa nyaman dan percaya diri dalam lingkungan belajar mereka tanpa ada tekanan berlebihan. Terutama untuk mencapai hasil akademik dini, fokus pada eksplorasi dan kegembiraan dalam belajar.
Penuhi kebutuhan kasih sayang dan keamanan, anak membutuhkan rasa aman dan kasih sayang agar tumbuh dengan kepercayaan diri yang baik. Membangun ikatan emosional melalui gerakan memeluk, mencium, dan perhatian setiap hari.
Di fase Golden Age, anak akan tumbuh menjadi individu yang cerdas, mandiri, dan berkarakter baik di masa depan. Yang terpenting, nikmati setiap momen bersama mereka karena fase ini tidak akan terulang kembali.
اَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ ٦
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar dan keras. Mereka tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepadanya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”[]