Mubadalah.id – Mengawali puasa perdana 2023 ini, ada berita mengejutkan datang dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Tepatnya pada 22 Maret siang, sebuah patung bunda Maria yang terletak di Rumah Doa Sasana Adhi Rasa Santo Yakobus, Kulonprogo tiba-tiba mereka tutup menggunakan telpal biru.
Mengutip laman akun Instagram @kabarsejuk, penutupan tersebut tidak lain yang melakukannya adalah beberapa anggota polsek Lendah, Kulonprogo atas desakan salah satu ormas Islam. Di mana mereka merasa bahwa keberadaan patung tersebut dapat mengganggu ibadah umat Islam menjelang Ramadan.
Di tahun sebelumnya tepatnya April 2022, kejadian puasa dan intoleransi juga sempat terjadi di Bekasi. MUI Bekasi bahkan mengeluarkan pernyataan yang melarang warung-warung makan di daerah Bekasi buka pada saat puasa Ramadan. Kejadian yang senada pun terjadi di tahun-tahun sebelumnya menjelang puasa Ramadan. Hampir selalu ada tindakan-tindakan intoleransi yang menimpa kelompok agama lain. Di mana pelakunya adalah ormas Islam maupun anggota kepolisian dengan berbagai bentuk.
Jika mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945, tindakan semena-semena yang mengatasnamakan agama di atas, tentu sudah bertentangan dengan pasal 29 ayat 2 yang mengatur terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan. Hal tersebut juga tidak sejalan dengan pengamalan nilai-nilai Pancasila. Namun faktanya, kejadian demi kejadian yang serupa masih kerap terjadi. Seakan-akan kelompok yang menganggap diri sebagai kelompok mayoritas tersebut berhak melakukan tindakan persekusi dan diskriminasi terhadap kelompok lain.
Berkaca pada Gus Dur
Setiap kali melihat, mendengar, maupun membaca kasus-kasus puasa dan intoleransi di Indonesia, saya pribadi teringat pada sosok almarhum KH. Abdurrahman Wahid. Sosok humanis tersebut sejatinya telah memberikan sebuah pembelajaran berharga mengenai cara paling sederhana untuk menghormati dan menghargai sesama manusia. Dalam kutipan-kutipan kalimat yang kerap anak-anak beliau bagikan, bahkan oleh murid dan sahabat Gus Dur, kita seperti sedang diingatkan lagi agar tidak terjebak pada keinginan untuk dihormati.
Dalam banyak konten di media sosial, ada salah satu quote Gus Dur yang sering kita ulang-ulang menjelang pelaksanaan ibadah puasa Ramadan. Yakni, “Jika kita muslim terhormat, maka kita akan berpuasa dengan menghormati orang yang tidak berpuasa”. Pernyataan yang Gus Dur lontarkan tersebut jika kita tarik dalam konteks relasi lintas iman, menegaskan bahwa tidak seharusnya seorang muslim yang menjalankan ibadah personal minta kita hormati, sementara mengabaikan hak orang lain yang notabene berbeda agama.
Menurut Alissa Wahid, daripada menuntut untuk kita hormati, alangkah lebih baik jika sesama manusia bisa saling menghormati. Hal tersebut juga terang tersampaikan oleh Kiai Faqihudin Abdul Kodir dalam bukunya, ‘Relasi Mubadalah Muslim dengan Umat Berbeda Agama’.
Pada pengantar buku tersebut Kiai Faqih mengungkapkan bahwa relasi kesalingan bahkan dengan yang berbeda agama sejatinya adalah teladan dari Nabi Muhammad Saw. Dan hal itu juga yang Gus Dur perjuangkan semasa hidupnya. Jika kita justru memapas hak beribadah umat agama lain, bukankah artinya kita telah zalim kepada sesama?
Kembali Pada Ajaran dan Teladan Nabi Muhammad Saw
Sebagai kelompok mayoritas yang ada di Indonesia, umat Islam sudah seharusnya kembali pada ajaran dan teladan Nabi Muhammad Saw. Di mana pada suatu kisah menolak secara tegas ajakan menzalimi orang-orang Yahudi. Kisah tersebut ada pada beberapa hadis riwayat Imam Bukhori dalam Shahih al-Bukhori (7929). Yakni dalam kitab karangan Imam Muslim yakni Shahih Muslim (nomor 4438 dan 4431) serta dalam beberapa kitab hadis lain (Kodir, 2022: 104).
Mengutip penjelasan Kiai Faqih, bahwa inti ajaran dalam kisah tersebut adalah Nabi Muhammad Saw tidak bersedia diajak bersekongkol untuk menzalimi pemeluk agama lain. Meskipun pada saat itu orang-orang Yahudi sendiri terkenal sebagai kelompok yang memiliki sikap kasar pada umat Islam.
Penolakan Nabi Muhammad Saw. lakukan saat itu adalah alarm bagi umat Islam saat ini. Yakni untuk tidak berlaku zalim pada umat yang berbeda agama. Sebab hal tersebut bertentangan dengan akhlak mulia Nabi dan jelas tidak sesuai dengan prinsip dasar Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Dalam Relasi Kesalingan tidak Boleh Ada Kezaliman
Adapun sikap dan laku Gus Dur yang memperjuangkan hak-hak kelompok minoritas sesungguhnya juga merupakan implementasi dari ajaran dan teladan Nabi Muhammad Saw. Nabi sendiri dalam suatu kisah juga disebutkan memberikan pembelaan kepada non-Muslim ketika dizalimi oleh seorang muslim (Kodir, 2022: 99).
Tindakan intoleransi yang pelakunya adalah salah satu ormas Islam di Kulonprogo, sudah semestinya kita bersama-sama mengecam tindakan tersebut. Mengacu pada prinsip mubadalah yang Kiai Faqih gaungkan, bahwa dalam relasi kesalingan tidak boleh ada kezaliman, yang ada adalah saling berlaku adil dan saling menghormati antar sesama manusia.
Dalam konteks Indonesia, persoalan intoleransi dengan melakukan persekusi terhadap kelompok agama lain, dalam berbagai bentuknya, jelas menciderai kehidupan berbangsa. Negara yang seharusnya hadir secara aktif untuk melindungi kebebasan beribadah setiap warga negara, justru pasif dan abai dengan persoalan genting tersebut. Hal ini tentu menjadi PR besar bagi pemerintah untuk berbenah. Baik dalam tataran kebijakan maupun sikap agar tidak lembek pada ketidakadilan yang menimpa warganya. []