Mubadalah.id – Pagar laut di Pantai Utara Jawa menjadi perbincangan beberapa waktu terakhir di media sosial khususnya X (Twitter). Pagar laut sepanjang 30,16 Km di Kabupaten Tangerang membuat publik resah.
Hal ini karena menyebabkan potensi rusaknya ekosistem pesisir dan menghalangi hak nelayan kecil untuk mengakses laut. Pendirian pagar laut telah ada sejak Agustus 2024, namun tidak memiliki izin pengelolaan.
Jika melihat dari perspektif hukum, ada peraturan tertulis dari UU No.1/2014 tentang Perubahan UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. UU tersebut menegaskan bahwa wilayah pesisir dan laut merupakan SDA untuk kesejahteraan bersama, bukan untuk kepentingan pihak-pihak yang lain.
Fenomena “Bluewashing” pada Pagar Laut Pantai Utara Jawa
Beberapa klaim pemasangan pagar laut bertujuan untuk melindungi kawasan laut dari abrasi atau pencemaran laut. Selain itu, banyak pendapat yang mengungkapkan jika pagar laut berguna untuk keberlanjutan lingkungan dan perlindungan ekosistem laut.
Namun, pendapat tidak memiliki transparansi data ilmiah, keterlibatan dengan komunitas lokal, serta menggunakan narasi eknomi laut tanpa dasar yang jelas. Hal tersebut hanya merupakan “bluewashing.”
Bluewashing merupakan upaya perusahaan atau individu untuk membangun citra positif dan ramah lingkungan. Penggambaran tersebut menggunakan klaim yang sebenarnya tidak sesuai terhadap keberlanjutan dan tanggung jawab sosial. Istilah “Bluewashing” sebenarnya mencoba memanfaatkan kesan mendukung keberlanjutan tanpa langkah nyata yang bermakna.
Istilah “Bluewashing” sendiri berasal dari gabungan kata “blue” (biru), yang sering terkait dengan kepercayaan, kemurnian, atau lingkungan. Adapun “whitewashing,” yang berarti menutupi fakta buruk dengan citra positif.
Contohnya termasuk kampanye perusahaan yang terlihat peduli terhadap lingkungan atau sosial, tetapi sebenarnya hanya bertujuan untuk meningkatkan reputasi. Dengan kata lain, pemasangan pagar laut di Pantai Utara Jawa merupakan bentuk manipulasi berkedok kepedulian terhadap lingkungan yang tidak memiliki tindakan nyata untuk mengatasi permasalahan sebenarnya.
Refleksi Hadis Hijau atas Kerusakan Ekosistem Pesisir dan Laut
Saarah Yasmin Latif dan Kori Majeed (Fellow Greenfaith) menulis buku berjudul “Himpunan 40 hadits Hijau: Tuntunan Nabi Muhammad tentang Keadilan dan Kelestarian Lingkungan.” Saarah menjelaskan bahwa air ter-mentioned dalam Al-Qur’an berkali-kali dan hadis Nabi Muhammad SAW. Peran air sangat penting bagi kehidupan, sehingga dalam memperlakukan air harus dengan hormat dan bijaksana.
Allah menyebutkan dalam Al-Qur’an bahwa Allah menurunkan hujan dari langit menurut takaran dan menciptakan segala sesuatu yang hidup dari air. Air kerap kali menjadi symbol kebangkitan dan kemurnian. Beberapa refleksi hadis hijau berikut menonjolkan prinsip-prinsip untuk konservasi air dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, juga menjadi pengingat bahwa berbagi karunia suci tersebut merupakan bentuk amal ibadah.
Diriwayatkan dari ‘Ubaidah bin al-Samit bahwa Rasulullah Muhammad SAW mengeluarkan keputusan, “Janganlah kalian bertindak yang menyebabkan kerusakan/bahaya (bagi pihak lain), atau tindakan kerusakan/bahaya (bagi diri sneidri).” (Sunan Ibnu Majah, hadits ke-2340).
Pemagaran laut menimbulkan kerusakan pada ekosistem pesisir pantai. Dalam hadis tersebut, Rasulullah melarang siapapun untuk membuat kerusakan yang dapat membahayakan baik diri sendiri maupun orang lain. Ancaman pemasangan pagar laut dapat merusak terumbu karang, pencemaran berat di perairan, yang dapat merugikan masyarakat pesisir.
Hadis Hijau Mengenai Pentingnya Menjaga Alam dan Lingkungan
Abu Khidash meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad SAW berkata, “Orang-orang Muslim berserikat dalam tiga hal: padang rumput, air, dan api (sumber energi).” (Sunan Abi Dawud, hadits ke-3477).
Diriwayatkan bahwa ‘Aisyah RA berkata, “Ya rasulullah, apa hal-hal yang tidak diperbolehkan untuk dimonopoli?” rasulullah menjawab, “Air, garam, dan api.” Aisyah berkata, “Aku bertanya lagi, kita sudah tahu tentang air, tapi bagaimana dengan garam dan api?” Nabi menjawab, “Wahai Humaira, barang siapa memberi api kepada orang lain, maka tindakan itu seperti telah bersedekah dengan semua makanan yang dimasak dengan sumber api itu. Dan barang siapa yang memberi garam, maka seolah-olah dia telah bersedekah dengan seluruh makanan yang telah dibumbuinya. Dan barang siapa memberi air minum kepada seorang muslim tatkala air tersedia, seolah-olah dia beramal dengan membebaskan seorang budak; dan barangsiapa memberi air minum kepada seorang muslim ketika langka air, seolah-olah dai menghidupkan budak itu.” (sunan Ibn Majah, Buku 16, hadis ke-2567)
Dari kedua hadis di atas, kita dapat menarik kesimpulan bagaimana peran penting air dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan Rasulullah SAW menyebutkan air sebagai elemen utama dalam prinsip kepemilikan sumber daya bersama yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia.
Di sisi lain, hadis kedua menjelaskan perumpamaan bersedekah dengan air minum kepada seorang muslim seperti beramal dengan membebaskan seorang budak. Kedua hadis tersebut menggarisbawahi bahwa air menjadi kebutuhan mendasar untuk kehidupan. Dalam pandangan Islam, air dianggap sebagai nikmat Allah yang tidak boleh dimonopoli oleh individu atau kelompok tertentu.
Kedua hadis di atas juga menegaskan bahwa sumber daya yang esensial untuk kehidupan harus dikelola secara bersama. Pada sisi lain juga harus memperhatikan kebutuhan masyarakat luas. Maka, adanya pemagaran laut yang dapat menyebabkan rusaknya ekosistem biota laut, pencemaran, dan kerugian masyarakat pesisir merupakan hal yang haram dilakukan karena termasuk pengrusakan lingkungan.
Pemerintah harus tegas dalam menindak oknum yang memasang pagar laut. Hal tersebut demi menjaga keselamatan dan kelangsungan hidup ekosistem dan masyarakat pesisir. Jangan sampai dengan adanya pagar laut membuat masyarakat pesisir menjadi korban yang sangat rentan. Sehingga harus menananggung dampak negatif yang tidak pernah dilakukan. []