Mubadalah.id – Peringatan Hari Santri menjadi momentum penting untuk merenungkan peran besar pesantren dalam mencetak generasi muda yang berakhlak mulia dan berilmu. Namun, di balik itu, kita tak bisa menutup mata terhadap tantangan yang masih sering terjadi di pesantren, yaitu perundungan terhadap santri.
Baru-baru ini, di Kabupaten Aceh Barat, seorang santri disiram air cabai oleh istri pimpinan pesantren. Mengutip dari Detik.com, kasus ini terjadi pada 30 September 2024 setelah korban ketauan merokok. Tindakan istri pimpinan pesantren itu kemudian dilaporkan oleh keluarga korban ke Polres Aceh Barat untuk diproses secara hukum.
Fenomena perundungan di pesantren bukanlah hal yang baru. Beberapa santri kerap mengalami kekerasan verbal, fisik, bahkan mental dari teman sebayanya atau bahkan dari senior, termasuk pengurus pondok.
Kondisi seperti ini menimbulkan kekhawatiran serius, mengingat pesantren seharusnya menjadi tempat yang aman dan nyaman untuk belajar dan tumbuh untuk memperdalam ilmu agama.
Pesantren: Rumah Pendidikan, Bukan Ruang Kekerasan
Sebagai lembaga pendidikan yang memiliki nilai-nilai keagamaan dan kebudayaan yang kuat, pesantren seharusnya menjadi tempat yang mengajarkan kasih sayang, dan sikap saling menghormati. Namun, kasus-kasus perundungan yang terungkap menunjukkan bahwa ada celah dalam sistem pengawasan dan pola pendidikan di beberapa pesantren.
Budaya senioritas yang berlebihan kerap menjadi akar masalah perundungan ini. Para santri senior, yang merasa memiliki otoritas lebih, seringkali memaksakan kekuasaan mereka kepada santri junior. Tak jarang, tindakan ini disertai dengan intimidasi atau bahkan kekerasan fisik.
Meski sebagian besar pesantren menolak praktik-praktik ini, tidak bisa dipungkiri bahwa kasus-kasus tersebut tetap ada dan merusak citra pesantren secara umum. Kini, banyak orang yang mengklaim bahwa pesantren bukan tempat yang aman untuk menitipkan anak.
Mengingat begitu prihatinnya, fenomena perundungan di pesantren ini harus segera ditanggulangi supaya tidak ada korban lagi dan citra pesantren tidak semakin buruk.
Langkah Pencegahan
Untuk mengatasi hal ini, salah satu cendikiawan muda, alumni Ma’had Aly Situbondo, Gus Husain Fahasbu, menawarkan tujuh langkah teknis untuk mengatasi perundungan di pondok pesantren.
Pertama, tanamkan sikap amanah, terutama bagi pemimpin dan pengelola pondok pesantren, bahwa santri yang datang ke pesantren kita adalah amanah yang salah sedikit saja mengatur atau mengarahkan mereka berubah menjadi khianat.
Dengan menanamkan sikap ini, kiranya pimpinan pesantren dan jajarannya tidak akan menerapkan sanksi yang tidak wajar dan tidak manusiawi.
Kedua, membangun relasi yang cinta kasih dan egaliter antara santri dengan pengurus pondok, termasuk juga antar sesama santri. Hal ini bertujuan untuk menghilangkan relasi senioritas dan relasi kuasa jabatan pondok yang selama ini menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya perundungan di pesantren.
Ketiga, membuat penegasan yang lantang dari pimpinan tertinggi pondok, bahwa di pesantren tidak boleh ada sanksi fisik dari siapapun. Hal ini penting ia lakukan, guna untuk mengurangi otoritas pengurus pondok supaya tidak semena-mena dalam menjatuhkan sanksi.
Keempat, memperbaiki SDM pada bidang keamanan dan ketertiban. Bahwa yang layak menjadi keamanan bukan sekedar bermuka sangar dan berbadan keker, tapi juga pemahamannya tentang konsep fikih dan nilainya terkait dengan sanksi (ta’zir).
Gerakan Anti Perundungan
Kelima, membangun gerakan anti perundungan. Hal ini harus menjadi gerakan semesta pesantren. Semua pihak seperti pengasuh, pengajar dan pengurus wajib menyuarakan bahwa perundungan itu perilaku tercela dan harus mereka hindari.
Keenam, mengevaluasi sistem Pendidikan. Terjadinya perundungan di pesantren merupakan pertanda bahwa nilai ajaran Islam dan Kepesantrenan tidak diserap dan dihayati. Jika nilai dan ilmu yang diajarkan terserap, harusnya perundungan itu tidak terjadi.
Ketujuh, harus seimbang antara pemberian hukuman dengan apresiasi dari pihak pesantren. Keseimbangan ini akan melahirkan iklim Pendidikan pesantren yang baik, bahwa segala hal ada konsekuensinya. Jika melakukan perbuatan tercela akan mendapat hukuman, sebaliknya jika tidak akan mendapatkan penghargaan.
Dari ketujuh langkah teknis yang ditawarkan Gus Husain Fahasbu ini, beberapa langkah seperti membangun relasi yang cinta kasih dan egaliter, memperbaiki SDM pada bidang keamanan, membuat gerakan anti perundungan dan mengevaluasi sistem pendidikan, saya sangat setuju mulai diterapkan di masing-masing pondok pesantren sebagai ikhtiar pencegahan perundungan.
Menuju Pesantren Bebas Perundungan di Tahun 2024
Momentum peringatan Hari Santri 2024 ini harus menjadi titik awal perbaikan di dunia pesantren, khususnya dalam menangani masalah perundungan. Pesantren memiliki tanggung jawab besar untuk menciptakan lingkungan yang aman, nyaman, dan kondusif bagi perkembangan intelektual serta spiritual santri.
Ke depan, semoga semakin banyak pesantren yang berani berbenah, membenahi sistem, dan pengawasan. Serta terus menguatkan nilai-nilai akhlak mulia di kalangan santri.
Dengan demikian, pesantren tidak hanya menjadi tempat pendidikan agama yang unggul. Tetapi juga menjadi rumah yang penuh dengan rasa kasih sayang, toleransi, dan bebas dari segala bentuk kekerasan. []