Mubadalah.id – Suatu hari, seorang teman dari Filipina bertanya kepada saya, mengapa saya mengenakan hijab? Saya jawab dengan sederhana: karena saya merasa lebih nyaman dengan berhijab ketika keluar rumah. Ia pun mengangguk mengiyakan dan berbagi ceritanya kalau di daerah asalnya, apabila ia mengenakan pakaian yang biasa ia kenakan selama di Australia yang menurut orang-orang di daerahnya terlalu terbuka, maka ia dijuluki sebagai perempuan yang tidak benar.
Saya pun merenung setelah itu. Saya termasuk orang yang meyakini bahwa berhijab merupakan kewajiban bagi muslimah. Namun di saat yang sama saya juga termasuk orang yang tidak suka menghakimi pribadi seseorang semata-mata dari gaya berbusana, apalagi kalau ia jelas-jelas bukan seorang muslim.
Memori saya langsung bergerak dengan peristiwa yang akhir-akhir ini terjadi di Iran, di mana para perempuan dan laki-laki berdemonstrasi menuntut agar rezim pemerintah memberikan ruang kebebasan bagi warganya untuk menyuarakan aspirasinya. Salah satu bentuk protes yang viral ialah manakala perempuan di sana membakar kain yang biasa digunakan untuk menutup kepala, sebagai simbol protes atas kewajiban berhijab bagi semua perempuan di Iran, baik mereka yang muslim maupun non-muslim.
Tentu saja aksi ini menuai pro dan kontra. Mereka yang mendukung mengatakan bahwa aksi ini bisa dibenarkan karena perempuan punya otonomi penuh atas tubuhnya. Mereka yang menentang mengatakan bahwa aksi ini merupakan sebuah penghinaan atas ajaran Islam.
Saya seketika bertanya-tanya. Kalau saya dibesarkan di sebuah negara dengan kewajiban berhijab yang diperintahkan oleh negara seperti Iran, apakah saya bersedia untuk berhijab sampai sekarang?
Inilah yang memicu saya menulis refleksi ketika saya memutuskan berhijab.
Ketika Hijab Bukan Sesuatu yang Umum
Saya dibesarkan oleh orang tua yang sama sekali tidak pernah menyuruh anaknya untuk berhijab. Pun dengan keluarga besar. Begitu juga dengan lingkungan rumah dan sekolah. Sekeliling saya pun juga ketika itu jarang yang berhijab. Bukan karena mereka larang, namun memang saat itu berhijab bukan sesuatu yang umum.
Baru ketika saya berusia sekitar 15 tahun, ibu mulai mencoba untuk berhijab, itupun baru untuk ke kantor. Sedangkan saya, kala itu masih sebatas untuk melaksanakan sholat wajib lima waktu dan puasa Ramadhan. Berhijab masih sebatas angan-angan bahkan kadang tidak masuk dalam kehendak.
Hingga akhirnya saya memasuki jenjang SMA di sebuah sekolah negeri, saya berkenalan dengan kakak-kakak Rohis (Kerohanian Islam). Saya iseng ikut menjadi panitia pengajian di sana. Apakah saya berhijab ketika menjadi panitia? Tentu saja tidak. Saat acara pengajian berlangsung, dengan penuh percaya diri saya ke sana kemari menjalankan tugas sebagai panitia dengan rambut yang tetap tampak, seragam lengan pendek dan rok selutut.
Uniknya ialah tidak ada satupun yang menegur ataupun menyuruh memakai hijab. Begitu juga saat syura di masjid sekolah, saya hadir tanpa hijab dan kakak-kakak rohis tidak ada yang mempertanyakan hal tersebut.
Proses yang Empowering
Lambat laun, saya mulai merasa tidak begitu nyaman untuk memakai pakaian yang terlalu terbuka. Sedikit demi sedikit saya mulai memilih memakai baju lengan panjang dan bawahan paling pendek menutupi lutut. Namun masih tanpa hijab. Hingga akhirnya menjelang usia 19 tahun, mendekati masa akhir SMA, saya merasa lebih leluasa menjadi diri sendiri kala meyakini bahwa berhijab merupakan kewajiban. Sebuah keyakinan yang saya ikuti dengan pilihan untuk berhijab hingga hari ini.
Jadi proses saya memutuskan berhijab bisa dikatakan sebagai sebuah proses yang empowering. Yakni sebuah proses yang tanpa paksaan sama sekali. Saya ingat bagaimana kakak-kakak Rohis SMA yang tidak pernah memaksa saya berhijab dan meyakini bahwa seorang muslim mau seperti apapun pilihan gaya berpakaiannya, punya hak terlibat dalam dakwah.
Inilah yang membuat saya tidak pernah mengompori mereka yang tidak berhijab untuk segera menutup auratnya. Lantaran saya merasakan bahwa proses saya berhijab tidak melalui jalan seperti itu. Pun dengan fenomena beberapa muslimah yang memutuskan untuk melepas hijab setelah sekian tahun mengenakan. Saya memilih pada posisi untuk tetap meyakini bahwa berhijab merupakan kewajiban bagi muslimah tanpa perlu mencaci mereka yang memilih untuk melepas hijab.
Karena sejatinya setiap muslim memiliki proses beragamanya masing-masing, termasuk dalam hal berhijab. []