Mubadalah.id – Bangsa Arab dahulu memang terkenal sebagai nidham al-abawi (sistem patriarki). Superioritas laki-laki sekaligus inferioritas perempuan ini cukup menyebar dalam cara mereka berbahasa, berkomunikasi, dan berinteraksi. Bahkan wabah cara pandang seperti ini masuk dalam disiplin keilmuan mereka seperti nahwu, sharaf, tafsir, dan seterusnya tanpa terkecuali ilmu syair.
Syair yang kita ketahui memang merupakan alat komunikasi untuk mengungkapkan isi hati atau apa yang ada dalam pikiran. Dengan sendirinya syair juga sering mereka gunakan untuk memuji dan menyanjung. Tapi tidak sedikit juga mereka fungsikan untuk motif-motif keji misal menghina, bergosip, mengadu domba dan sejenisnya.
Dalam kaitanya dengan perempuan, syair kadang muncul dengan gaya misoginis serta diskriminatif. Imam al-Mawardi as-Syafi’i dalam kitabnya mengutip satu cuplikan yang Khalifah Umar bin Khattab ungkapkan:
إنَّ النِّسَاءَ شَيَاطِينُ خُلِقْنَ لَنَا ** نَعُوذُ بِاَللَّهِ مِنْ شَرِّ الشَّيَاطِينِ
“Sesungguhnya para perempuan adalah setan-setan yang diciptakan untuk kita (para lelaki)
Kami berlindung kepada Allah dari keburukan para setan.“ (Adabu ad-Dunya wa Ad-Din, h; 167)
Orang yang membaca secara sepintas apalagi memang tidak punya bekal pengetahuan yang cukup tentang perempuan akan beranggapan bahwa semua perempuan adalah setan yang berbahaya. Hal ini terbukti dengan pernyataan pemimpin umat Islam yang pemberani atau terkenal dengan sebutan macan Allah.
Syair-syair Misoginis
Tidak hanya itu. Ayah Abdullah bin Umar yang begitu populer dan sangat ditakuti oleh para setan ternyata juga masih memohon perlindungan pada Tuhan dari tipu daya setan indrawi dari kaum hawa. Dengan nada klaim misoginis yang senada, Abu al-Aina’ meriwayatkan dari Abu Zaid untaian bait-bait di bawah ini:
إنَّ النِّسَاءَ كَأَشْجَارٍ نَبَتْنَ مَعًا *مِنْهُنَّ مُرٌّ وَبَعْضُ الْمَرِّ مَأْكُولُ
وَمَا وَعَدْنَك مِنْ شَرٍّ وَفَيْنَ بِهِ * وَمَا وَعَدْنَك مِنْ خَيْرٍ فَمَمْطُولُ
“Sesungguhnya para perempuan ibarat pohon-pohon yang tumbuh bersamaan,
dari mereka muncul rasa pahit namun sebagian kepahitan itu dimakan,
keburukan apapun yang dijanjikan oleh para wanita kepadamu niscaya akan mereka tepati,
namun kabaikan apapun yang mereka janjikan kepadamu nicaya akan tertunda.“ (Adabu ad-Dunya wa Ad-Din, h; 197).
Abu Manshur at-Tunisi Tsa’abi mengutip juga bait terkait kematian anak perempuan adalah sebuah kemuliaan bagi orang tuanya.
سروران ما لهما ثالث … حياة البنين وموت البنات
وأصدق من ذين قول الحكيم … دفن البنات من المكرمات
“Dua kebahagiaan yang tiada nomer tiganya
Yaitu kehidupan anak laki-laki dan matinya anak perempuan
Maka Dan perkataan orang bijak itu lebih benar dari pada kedua kebahagiaan tadi:
Mengubur anak perempuan merupakan bagian kehormatan.“ (al-Lathaif wa ad-Doroif, J; 1, H: 182).
Syair tak Lepas dari Konteks
Perlu kita cermati secara kritis bahwa bait-bait yang saya utarakan tadi tidak boleh kita makan mentah-mentah. Apalagi kita jadikan sebuah konsep keyakinan yang begitu sakral. Karena boleh jadi penyair sebagaimana layaknya manusia yang juga dapat terpengaruhi oleh pemahaman, narasi, konsep kehidupan, cara pandang yang mengitari zaman dan tempat mereka berada.
Boleh jadi juga penyair menggunakan lafad yang umum. Namun maksudnya khusus sehingga tidak terkesan sebagai syair-syair misoginis yang kosong dari konteksnya. Kalau kita baca secara utuh, ternyata Sayyidina Umar baru saja mendengar untai bait dari seorang perempuan yang seakan menggoda laki-laki. Dia mengatakan:
إنَّ النِّسَاءَ رَيَاحِينُ خُلِقْنَ لَكُمْ * وَكُلُّكُمْ يَشْتَهِي شَمَّ الرَّيَاحِينِ
“Sesungguhnya para wanita adalah bau harum yang diciptakan untuk kalian para lelaki. Kalian semua bersyahwat untuk mencium aroma bau-bau harum itu” (al-Mawardi, Adabu ad-Dunya wa Ad-Din, h; 167)
Potongan bait terakhir mengindikasikan bahwa para lelaki bersyahwat untuk mencium wanita. Meski ini bisa jadi betul secara tabiat namun dalam konteks bercakap-cakap laki-laki bisa tergoda oleh perkataan wanita.
Jawaban Umar terkait “wanita adalah setan” dapat kita arahkan khusus pada wanita tadi. Ini sebagai bentuk agar wanita itu tidak terus menggoda atau mungkin Sayaddina umar mengingatkan para sahabat agar mereka berhati-hati kepada wanita ini.
Penjelasan ini makin kuat dengan pernyataan lanjutan khalifah setelah melontarkan syair:
“Jika akad nikah menjadi sebuah ikatan dalam agama maka tentu itu akad yang paling dapat kita percaya di dunia, paling langgeng kasih sayangnya, paling mulia akadnya baik awal maupun akhirnya. Sebab tuntutan agama dipatuhi olehnya. Barang siapa yang mengikuti agama tentu dia selamat, lurus kehidupannya, serta aman dari ketergelinciran.” (Adabu ad-Dunya wa Ad-Din, h; 167)
Kelahiran Anak Perempuan
Bait kedua juga bisa kita baca demikian. Artinya tidak semua perempuan terasa pahit, tidak seluruh perempuan yang ingkar janji kebaikan. Pasti ada atau bahkan banyak wanita-wanita yang bisa jadi teladan baik bagi perempuan sendiri maupun bagi laki-laki. Seperti Sayyidah Aisyah, Sayyidah Khadijah, dan Ummul Mukminin lainnya. Saya tidak akan memperpanjang sesuatu yang sudah populer.
Bait ketiga adalah bait yang menjelaskan cara pandang orang jahiliyah terhadap anak perempuan. Pemikiran dan sikap mereka terabadikan oleh al-Quran surat:
“Padahal apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, wajahnya menjadi hitam (merah padam), dan dia sangat marah. Dia bersembunyi dari orang banyak, disebabkan kabar buruk yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan (menanggung) kehinaan atau akan membenamkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ingatlah alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan itu”. (an-Nahl ; 58-59).
Lahirnya anak perempuan adalah malapetaka dan cacat keluarga. Sehingga menguburkan adalah solusi bagi mereka. Namun cara pandang Islam dapat kita jumpai dari kata بشر yang berarti “diberi kabar gembira”. Dan Al-Quran juga tegas berseberangan dengan pikiran jahiliyah dalam soal ini dengan mengatakan: Ingatlah alangkah buruknya (putusan) yang mereka tetapkan itu.
Memahami Makna setiap Kata
Ma’an Bin Aus menyatakan syair yang bertolak belakang dengan mindset jahiliyah. Dia adalah seorang penyair Arab yang jahili namun mengikuti datangnnya Islam. Sehingga akhirnya masuk Agama Nabi Muhammad. Syair yang saya maksud yaitu:
رأيت رجالا يكرهون بناتهم … وفيهن لا نكذب نساء صوالح
“Aku telah menjumpai orang-orang yang membenci anak perempuannya. Padahal diantara mereka kami tidak mendustakan adanya wanita-wanita salihah.”
Ibnu Qoyyim al-Jauziyah memberikan gagasan yang sangat bagus terkait lafad:
“Lafad-lafad tidak bersifat ta’abbudi atau dogmatis, maka orang yang bijak akan bertanya; apa yang dimaksud? Sementara orang yang tekstualis akan bertanya: apa yang dikatakan?”
(I’lam al-Muwaqqi’in an Kalam Rabb al-‘Alamin, j; 1, h; 299).
Saya ingin menegaskan bahwa sebuah teks, bahasa, atau kata-kata yang seseorang sampaikan tidak akan lepas dari faktor-faktor lain yang mengitarinya. Dengan fakta ini pembaca akan lebih memahami apa yang dimaksud serta akan lebih cerdas untuk menerapkan teks itu untuk di luar zamannya. []