Mubadalah.id – Apakah perspektif mubadalah hanya dapat kita terapkan pada relasi gender, antara laki-laki dan perempuan semata dalam Islam? Dapatkah perspektif mubadalah yakni relasi kesalingan dan kerjasama yang bermartabat, adil, dan maslahah teraplikasikan antara umat Islam dengan umat lain yang berbeda agama?
Melalui buku Relasi Mubadalah Muslim Dengan Umat Berbeda Agama ini, Kiai Faqihuddin Abdul Kodir (setelah ini, saya sebut Kang Faqih saja, tanpa mengurangi rasa hormat saya pada beliau) mengafirmasi secara positif: Ya. Prinsip mubadalah bukan hanya dapat kita terapkan dalam relasi gender antara lelaki dan perempuan. Tapi juga dapat kita aplikasikan dalam hubungan antara umat Islam dengan umat lain yang berbeda agama.
Bahkan menurut Kang Faqih, relasi mubadalah tidak selalu berdimensi gender, tapi bisa kelas sosial antara pekerja dan majikan, atau antar-warga dalam sebuah negara-bangsa, seperti muslim dengan non-muslim. Bisa juga ekologi antara manusia dengan alam. Prinsip utamanya adalah mengenai relasi yang bermartabat, adil, dan maslahah.
Bermartabat artinya kedua pihak memandang penting dan mulia untuk berelasi. Adil artinya menuntut yang memiliki kapasitas untuk memberdayakan yang kurang kapasitas. Maslahah artinya kedua belah pihak menjadi subyek untuk melakukan dan memperoleh kebaikan, yang menjadi dampak dari relasi tersebut.
Buku ini membahas relasi mubadalah antara umat Islam dengan umat lain yang berbeda agama dalam tiga bagian. Bagian pertama, relasi mubadalah yang dipetik dari inspirasi sirah Nabi Muhammad Saw; Bagian kedua inspirasi dari teladan Nabi Muhammad Saw; Bagian ketiga inspirasi dari maqashid Qur’ani.
Dalam tiap bagian, Kang Faqih menayangkan berbagai contoh faktual dari kehidupan Nabi Muhammad Saw dan ayat-ayat Al-Qur’an dengan menggarisbawahi prinsip-prinsip mubadalah yang menyertainya. Resensi atau ringkasan ini, saya akan menurunkan beberapa contoh dari tiga bagian tersebut agar kita dapat merasakan langsung bagaimana operasional perspektif mubadalah dalam relasi antara umat Islam dengan umat lain yang berbeda agama.
Inspirasi Dari Sirah dan Teladan Nabi Muhammad Saw
Contoh pertama, tentang peristiwa Fathu Makkah yakni pembebasan Makkah yang terjadi pada tahun ke-8 Hijriyah. Tahukah kita mengapa Nabi Muhammad Saw mengajak seluruh pasukan Islam menyiapkan diri menuju Makkah?
Hal ini ada hubungannya dengan Perjanjian Hudaibiyah tahun ke-6 Hijriyah yang ditandatangani oleh Nabi Muhammad Saw dari pihak Islam dan Suhail bin Amr dari pihak Quraisy. Dalam perjanjian ini, mereka menyepakati gencatan senjata selama sepuluh tahun. Sekaligus tidak boleh ada pembunuhan dan kekerasan antar masing-masing pihak dan yang ikut berkoalisi dengan masing-masing pihak tersebut. Kecuali harus dihukum sesuai aturan yang berlaku saat itu.
Pada tahun ke-8 Hijriyah, ada seorang dari kabilah Khuza’ah yang bukan Islam dan ikut dalam barisan koalisi Nabi Muhammad Saw dibunuh oleh Bani Bakr yang ikut dalam koalisi kaum Quraisy. Sesuai perjanjian, kabilah Khuza’ah menuntut hukum balas dari Bani Bakr. Tapi bani Bakr menolak. Bani Bakr meminta koalisinya, yaitu kaum Quraisy untuk mendukung mereka agar terbebas dari tuntutan hukum balas dari Khuza’ah. Kaum Quraisy mendukung mereka secara penuh.
Bahkan, ketika kabilah Khuza’aih datang ke Makkah untuk minta dukungan dari berbagai kabilah Arab atas kasus pembunuhan yang mereka alami, justru orang-orang Quraisy membunuh mereka dalam jumlah besar, kejam, dan mengerikan. Kabilah Khuza’ah merasa dizalimi dan tidak dilindungi. Mereka putus asa. Namun, mengingat Perjanjian Hudaibiyah yang tertulis bahwa mereka ikut bersama dengan Nabi Muhammad Saw, mereka pergi ke Madinah untuk mengadu persoalan mereka.
“Tenang, kalian kami dukung sepenuhnya. Kalian balik saja ke tempat kalian”, jawab Nabi Saw kepada koalisi yang masih kafir itu, yaitu kabilah Khuza’ah. Dan Nabi Saw pun mengumpulkan semua orang dewasa yang mampu berperang untuk ikut berangkat bersama beliau.
Saat itu, Nabi Muhammad Saw belum memberitahu ke mana akan pergi pasukan ini. Tujuannya agar orang-orang Makkah tidak sempat menyiapkan diri, dan juga agar tidak terjadi keributan di antara berbagai kabilah lain. Cukup antara umat Islam dan kaum Quraisy saja.
Fathu Makkah
Inilah poinnya. Jadi Fathu Makkah terjadi karena pelanggaran yang orang Quraisy lakukan terhadap Perjanjian Hudaibiyah yang mereka sepakati bersama Nabi Muhammad Saw. Dan, orang yang Nabi Saw bela dalam perjanjian ini adalah kabilah Khuza’ah yang non-muslim. Isunya menegakkan perjanjian perdamaian yang seharusnya mereka sepakati, tetapi dilanggar oleh Quraisy. Nabi Saw datang untuk menagih komitmen perjanjian ini.
Di tengah perjalanan menuju Makkah, ada satu peristiwa yang amat menarik. Begitu suasana sudah tenang Nabi Muhammad Saw mengumumkan ke mana pasukan itu harus berangkat, yaitu Makkah. Semua sahabat bersorak gembira karena akan memasuki dan ma=enaklukkan Makkah, tempat musuh bebuyutan mereka selama ini. Salah satu pemimpin pasukan, Sa’d bin Ubadah Ra, pembawa bendera, dengan semangat mengumandangkan slogan: “Hari ini adalah hari pembalasan dan penghabisan mereka (al-yaum yaumul malhamah).”
Nabi Muhammad Saw mendengar slogan tersebut dan meminta Ali bin Abi Thalib untuk menegur Sa’d bin Ubadah Ra dan mencopotnya sebagai Panglima pembawa bendera. Setelah dicopot, bendera ia serahkan kepada anak Sa’d bin Ubadah Ra, yaitu Qais bin Sa’d Ra. Dan Nabi Saw pun mengganti slogannya: “Hari ini adalah hari kasih sayang (al-yaum yaumul marhamah).”
Bayangkan, dalam situasi menuju peperangan sekali pun, Rasulullah Saw melarang para sahabat menggunakan bahasa kekerasan. Beliau tetap mengajarkan para sahabatnya untuk menggunakan bahasa kasih sayang yang penuh kelembutan dan persaudaraan kepada siapa pun. Hatta kepada musuh-musuhnya sekalipun. Selanjutnya Rasulullah Saw dan para sahabat mampu menaklukkan Makkah.
Apakah beliau membalas dendam atas semua kejahatan, konspirasi dan kekejaman kafir Quraisy terhadap beliau selama ini? Ternyata tidak. Beliau memberi jaminan keamanan kepada semua orang Quraisy yang tidak menghunus pedang, yang mau tetap tinggal di rumahnya, dan memasuki rumah Abu Sufyan, atau memasuki kawasan Ka’bah. Semua orang akan beliau jamin aman.
Revolusi Besar dalam Sejarah Islam
Kemudian di hadapan semua orang-orang Quraisy, yang menjadi musuh bebuyutan selama hampir 20 tahun ini, Nabi Muhammad Saw berpidato:
“Apa yang harus aku lakukan kepada kalian semua? Apa yang kalian bayangkan tentang balasanku pada kalian semua?” tanya Nabi Muhammad Saw kepada mereka.
Semua membayangkan kekerasan, kekejaman, pembunuhan, perampasan, dan pengusiran yang telah Quraisy lakukan terhadap umat Islam selama 20 tahun tersebut.
“Kami melihat Anda adalah saudara kami yang baik hati, dan anak dari saudara kami yang juga baik hati,” jawab orang-orang Quraisy.
“Pulanglah. Kalian diampuni dan bebas dari hukuman apa pun (idzhabu fa antum thulaqa)”, jawab Nabi Muhammad Saw penuh haru, syahdu, dan menyatukan.
Inilah revolusi besar dalam sejarah Islam dengan tanpa menumpahkan darah setetes pun. Salah satu peristiwa yang oleh para ahli sejarah, baik di Timur maupun di Barat, yang muslim dan non-muslim, tercatat dan diakui dengan penuh penghargaan ialah bagaimana Nabi Muhammad Saw memperlakukan bekas musuh-musuhnya ketika beliau berhasil merebut, menguasai, dan membebaskan Makkah.
Tokoh-tokoh dan masyarakat Makkah yang selama kurang lebih dua dasawarsa menciptakan kesulitan dan ancaman yang luar biasa berat dan gawatnya kepada Nabi Saw dan kaum beriman, beliau maafkan begitu saja dan bahkan diberi berbagai penghormatan. Khususnya kepada pemimpin mereka sendiri, musuh bebuyutan Nabi Saw, yaitu Abu Sufyan.
Semua sarjana dunia mengakui, bahkan kaum orientalis Barat yang tidak suka kepada Islam pun terpaksa mengakui, bahwa tindakan Nabi Saw saat pembebasan Makkah itu merupakan tindakan keteladanan yang tidak ada tolok bandingnya dalam sejarah menegakkan nilai-nilai kemanusiaan.
Keagungan Akhlak Rasulullah Saw
Contoh kedua, setelah peristiwa Fathu Makkah, keagungan akhlak Rasulullah Saw ini tetap selalu beliau tunjukkan ketika sudah menguasai seluruh orang kafir Quraisy. Ketika akan perang Hunain, Nabi Muhammad Saw hanya memiliki 12 ribu tentara dengan peralatan yang sangat terbatas. Nabi Saw menemui pimpinan Quraisy yang masih musyrik saat itu. Yaitu Shafwan bin Umayah, untuk meminjam peralatan perang.
Nabi Saw juga meminjam uang, makanan, dan berbagai keperluan dari orang-orang Quraisy yang saat itu juga masih banyak belum masuk Islam. Semua pinjaman ini, setelah selesai perang, beliau kembalikan kepada mereka dengan baik.
Karena peralatan yang sangat minim dan banyak pasukan Nabi Muhammad Saw dari orang-orang yang baru masuk Islam, pertahanan mereka jebol. Banyak tentara terpukul mundur dan bercerai berai. Hanya tersisa sekitar 200-an orang yang terus bertahan dan maju bersama Nabi Saw memukul ribuan pasukan musuh.
Karena itu, banyak peralatan perang yang beliau pinjam juga rusak dan hilang. Sehingga Rasulullah Saw mengembalikan semua barang pinjaman dan menawarkan ganti rugi yang lebih banyak kepada Shafwan untuk barang pinjaman yang rusak dan hilang.
Bayangkan, Rasulullah Saw sudah menjadi penguasa orang-orang kafir Quraisy saat itu. Tapi ketika beliau membutuhkan peralatan perang, uang, makanan, dan keperluan lainnya, beliau tetap meminjam dengan ramah dan santun serta mengembalikan dan menggantinya dengan yang lebih baik.
Padahal sebagai penguasa, tentu saja beliau bisa menggunakan otoritas kekuasaannya untuk memakai peralatan perang yang Shafwan miliki dengan paksa. Tanpa harus meminjam dengan ramah dan mengembalikannya dengan baik-baik. Apalagi pada saat itu, Shafwan adalah orang kafir Quraisy, bukan muslim bagian dari umat Islam. Tapi Rasulullah Saw tetap meminjam kepada Shafwan dengan ramah penuh kelembutan dan mengembalikannya dengan baik-baik pula.
Prinsip Relasi Mubadalah
Inilah prinsip relasi mubadalah dengan non-muslim yang Rasulullah Saw teladankan kepada kita semua. Prinsip relasi mubadalah dengan umat yang berbeda agama harus tetap berpijak pada prinsip yang bermartabat, adil, dan maslahah antara kedua belah pihak. Walau umat Islam saat itu dalam posisi yang dominan atau menguasai.
Sampai di sini, pertanyaan besarnya: Apakah prinsip relasi mubadalah ini hanya Rasulullah Saw lakukan kepada non-muslim semata? Adakah prinsip relasi mubadalah yang non-muslim lakukan kepada umat Islam. Kepada Rasulullah Saw dan para sabahat kala itu? Dalam buku ini juga Kang Faqih menampilkan berbagai contoh menarik tentang relasi mubadalah yang orang-orang non-muslim lakukan kepada Rasulullah Saw dan para sahabat.
Ini kisah tentang Mukhairiq, seorang rahib Yahudi yang alim. Ibnu Hisyam dalam Sirah Nabawiyyah-nya, menuturkan bahwa salah seorang tokoh Yahudi yang ikut membela Rasulullah Saw dalam Perang Uhud adalah Mukhairiq. Ia seorang tokoh Yahudi dari suku Quradhah yang kaya raya. Ia telah berjanji untuk membela Rasulullah Saw dan pengikutnya, sehingga ia turut serta dalam Perang Uhud.
Dalam kisahnya, bahwa sebelum pergi berperang, ia berwasiat bahwa jika ia gugur dalam peperangan, harta kekayaannya menjadi milik Rasulullah Saw. Lalu Beliau bebas menggunakannya untuk apa saja. Mukhairiq ini lalu ikut Perang Uhud hingga nafas penghabisan. Ia mati terbunuh. Ketika mengetahui Mukhairiq gugur, Rasulullah Saw berkata: Mukhariq adalah sebaik-baik orang Yahudi. (bersambung)