Mubadalah.id – Salah satu insight menarik yang saya dapat ketika beberapa hari lalu mengikuti seminar internasional di Universitas Nahdlatul Ulama Yogyakarta adalah cerita religious harmony (kerukunan umat beragama) di Malaysia. Seminar ini dikemas dalam tajuk “2R: Ruang Riung”.
Panel kegiatan hari itu terbagi menjadi dua sesi yang berlangsung dengan suasana hangat dan sarat akan wawasan. Sesi pertama bertajuk “When Faiths Meet: Muslim–Buddhist Stories from Indonesia & Thailand”. Dalam sesi ini banyak membahas tentang titik temu dua agama yang bermuara pada kebijaksanaan, yakni ajaran Islam-Buddha.
Kemudian sesi kedua bertajuk Voices of Peace: Stories of Collaboration from Southeast Asia, yang membahas tentang perdamaian. Pemahaman mengenai kerukunan beragama saya dapat dari salah satu pembahasan sesi kedua. Yakni materi yang dibawakan oleh Dr. Nur Suriya binti Mohd Nor dari International Islamic University Malaysia.
Ia mengemas materi ini dengan judul The Unseen Tapestry: Hidden Stories of Religious Harmony in Malaysia. Sebagai orang yang sedang gandrung dengan isu-siu seputar moderasi beragama, mendapatkan materi ini seperti menemukan kepingan untuk memenuhi puzzle pengetahuan.
Menjalin Harmoni dari Diversity
Suriya mengibaratkan bahwa kerukunan umat beragama di Malaysia layaknya permadani tenun, sebuah definisi yang metaforis tetapi sarat makna. Di mana permadani tersebut tersusun atas benang yang beragam, mulai dari warna, tekstur, hingga motif.
Keberagaman tersebut kemudian menjalin satu sama lain dengan peran yang saling melengkapi; menjadi dasar, membentuk pola, serta memberi sentuhan warna. Sehingga dari perbedaan tersebut lahir kekuatan sekaligus keindahan yang tidak akan bisa tercapai dengan benang tunggal.
Begitu pula di Malaysia, keberagaman agama, budaya, dan tradisi ditenun menjadi sesuatu yang lebih besar dan lebih indah, membentuk jalinan sosial bangsa yang harmonis. Permadani kebangsaan ini bukan lahir dari keseragaman, tetapi kesadaran untuk saling merajut dan menambal sulam, serta menghargai perbedaan sebagai kekuatan bersama.
Kisah-kisah tentang kehidupan berdampingan tanpa saling menjatuhkan ini tumbuh, berkembang, dan mengakar kuat dalam ruang kelas, lingkungan, hubungan tetangga, hingga lingkar pertemanan lintas agama. Dari ruang-ruang tersebut, nilai koeksistensi bukan hanya diajarkan, tetapi dihidupi melalui interaksi yang sederhana.
Berbagi pengalaman tanpa melihat perbedaan keyakinan, misalnya. Dari ruang-ruang kecil inilah kesadaran tentang toleransi dan saling menghormati kemudian menjadi budaya hidup yang lebih luas. Setiap interaksi yang saling menghargai, meskipun halus dan kecil, memperkuat jalinan masyarakat yang multikultural di Malaysia.
Mencapai Kerukunan Umat Beragama dari Ranah Pendidikan
Sebagai seorang akademisi, Suriya memperkenalkan perspektifnya untuk mencapai kerukunan umat beragama yang ia mulai dari ruang kelas. Pertama, melibatkan murid-murid dari berbagai latar belakang agama. Ruang kelas bukan hanya tempat untuk transfer ilmu dan pengetahuan.
Namun, sekaligus menjadi arena untuk praktik menghargai cara pandang dan nilai-nilai yang berbeda. Interaksi seperti ini akan melahirkan rasa empati yang kemudian membangun kesadaran bahwa keberagaman adalah jembatan untuk berkolaborasi dan saling menghargai.
Kedua, dialog antar agama yang termanifestasi dengan melakukan kunjungan lintas iman atau studi banding di ruang ibadah. Dengan momen tersebut, siswa dan pendidik mendapatkan kesempatan belajar tentang agama secara langsung.
Mulai dari tradisi, simbol, serta praktik-praktik keagamaan yang berbeda dari yang mereka anut. Kunjungan ini adalah bagian dari proses mengenal dan memahami nilai setiap agama. Termasuk pembelajaran emosional dan kultural yang menjadi semacam simulasi untuk melihat dunia dari sudut pandang yang beragam, bukan melulu melihatnya dengan satu sudut pandang saja.
Kerja Aktivisme melalui Tulisan
Ketiga, usaha untuk membangun kerukunan umat beragama melalui tulisan akademik yang mendorong perspektif perdamaian. Hingga saat ini saya percaya, lewat tulisan pesan-pesan perdamaian akan sampai kepada pembacanya. Lewat tulisan pula kita dapat memanjangkan suara-suara yang mulanya tidak terdengar.
Tulisan, baik akademik maupun artikel ringan akan bisa menembus ruang dan waktu. Serta menjangkau pembaca dari lintas keyakinan dan latar belakang. Melalui goresan tinta itu, gagasan tentang empati, toleransi, dan penghargaan sedikit demi sedikit akan akan membangun perdamaian.
Keempat, pertemuan sederhana namun menguatkan dan membentuk pemahaman mendalam akan harmoni hidup berdampingan. Saya mengimajinasikan hal ini seperti ketika membuat peer group di institusi pendidikan untuk berdiskusi tentang keberagaman. Karena pemahaman yang melahirkan kesadaran salah satunya dapat tercapai dengan diskusi dengan lingkar kecil yang konsisten.
Dengan mengikuti seminar internasional seperti ini, saya kemudian membayangkan. Bahwa forum-forum seperti ini juga menjadi salah satu cara untuk kita kemudian memperluas dan mendiseminasikan nilai-nilai perdamaian dari keberagaman. Membentuk ruang untuk mempertemukan tokoh lintas iman dan berbicara tentang kedamaian. Hal ini sejalan dengan jargon yang diusung dalam seminar tersebut, “peace space”.
Bagaimana dalam Konteks Indonesia?
Bagaimana jika kita tarik dalam konteks Indonesia yang juga negara multikultural dan berdiri di atas prinsip kebhinekaan? Nurany dkk. dalam artikelnya Merajut Kebhinekaan Dalam Pendidikan Beragama di Tengah Bangsa Pluralitas menyebutkan bahwa Indonesia saat ini sedang menghadapi tantangan pluralitas.
Utamanya dalam konteks keberagaman agama. Meskipun ajaran semua agama bermuara pada perdamaian dan kebijaksanaan, namun terkadang hubungan pemeluk antar agama mengalami fluktuasi.
Hal ini terlihat ketika kita sering kali kita berhadapkan dengan kenyataan bahwa izin untuk mendirikan tempat ibadah, selain agama Islam sebagai agama mayoritas, mengalami kesulitan.
Menjadi sebuah ironi ketika beberapa waktu lalu kita sama-sama mendengar adanya perusakan di rumah doa umat Kristen. Padahal rumah doa tersebut berdiri untuk memenuhi hak pendidikan agama anak ketika hak tersebut belum, atau bahkan tidak terpenuhi di sekolah negeri.
Kita tidak bisa memungkiri bahwa ini adalah potret nyata yang sedang kita hadapi bersama. Maka realitas seperti inilah yang harus membuat kita untuk kemudian mengeratkan gandengan tangan. Menyuarakan nilai-nilai perdamaian dalam keragaman, alih-alih melihat keragaman sebagai ancaman. []