Mubadalah.id – Percepatan pengesahan Rancangan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) adalah upaya untuk memperkuat jaminan perlindungan negara terhadap perempuan, anak-anak dan juga penyandang disabilitas dari kejahatan seksual.
Meningkatnya kasus kejahatan seksual yang terjadi di ranah publik maupun personal menjadi peringatan penting bagi pemerintah terkait moral bangsa dan jaminan keamanan warga negaranya. Salah satu bentuk kejahatan seksual adalah kekerasan seksual.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencatat sepanjang tahun 2021 terdapat 10.247 kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan, di mana 15,2% nya adalah kekerasan seksual. Pada kasus kekerasan terhadap anak, 45,1% kasus dari 14.517 kasus kekerasan terhadap anak merupakan kasus kekerasan seksual.
Sedihnya lagi, kejahatan seksual tidak hanya terjadi pada perempuan tanpa disabilitas tapi juga perempuan penyandang disabilitas. Berdasarkan data CATAHU 2021 tercatat bahwa dari 77 kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas, 45% diantaranya adalah perempuan dengan disabilitas intelektual dan mereka merupakan kelompok yang paling rentan mengalami kekerasan.
Kasus kekerasan seksual adalah bentuk kekerasan yang paling banyak dialami oleh perempuan disabilitas. Ada sebanyak 42% kasus yang terjadi dari total keseluruhan kasus kekerasan. Jenis-jenis kekerasan seksual diantaranya adalah pemerkosaan, pencabulan dan eksploitasi seksual.
Ironisnya lagi pelaku kekerasan seksual terbanyak merupakan orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan korban. Data menyebutkan 43% kekerasan seksual terjadi di ranah rumah tangga/relasi personal.
Pada 11 Februari 2022 lalu, Tempo.co mengabarkan seorang penyandang disabilitas di Kecamatan Sanga Desa, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan, menjadi korban kekerasan seksual yang dugaannya dilakukan oleh tetangga. Bidan setempat telah memeriksa perempuan berusia 30 tahun itu dan menyatakan dia sedang hamil enam bulan.
Pengacara korban, Eldo Rado mengatakan, ibu korban curiga karena perut putrinya kian membesar. Peristiwa kekerasan seksual itu pun terjadi tak hanya satu kali. Eldo pengacara korban bersama rekannya dan perangkat desa turut mendampingi korban dan keluarganya saat melapor ke Kepolisian Resor Musi Banyuasin.
Eldo menjelaskan, korban adalah penyandang disabilitas intelektual dan daksa. Selama dua tahun terakhir, dia kesulitan bergerak karena mengalami patah kaki akibat kecelakaan. Sejalan dengan fakta tersebut, studi juga menunjukkan penyandang disabilitas memiliki risiko lebih rentan mengalami eksploitasi seksual dan berbagai bentuk kekerasan lainnya.
Kerentanan tersebut terjadi di antaranya disebabkan karena penyandang disabilitas mental atau intelektual dianggap tidak memiliki kecakapan bertindak, tidak memiliki kecakapan hukum, tidak memiliki pendidikan yang cukup, dan minimnya akses terhadap informasi.
Oleh karena itu negara wajib melindungi warga negaranya dari segala bentuk kekerasan seksual. Perlindungan yang diberikan merupakan salah satu hak warga negara dan tertuang dalam Batang Tubuh UUD NRI Tahun 1945 Pasal 28D ayat (1) yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.”
Hal tersebut tentunya sangat sejalan dengan RUU TPKS yang kini telah disetujui menjadi RUU Inisiatif DPR. Persetujuan tersebut merupakan sebuah komitmen para pembentuk perundang-undangan untuk memberikan perlindungan hukum yang lebih serius.
Kabar gembira ini merupakan harapan dan mimipi besar bagi perempuan termasuk penyandang disabilitas, agar bisa segera terealisasi dan menjadi payung hukum yang mampu melindungi warga negaranya dari kekerasan seksual.
Anggota Komisi III DPR RI Taufik Basari dalam seminar bertajuk “Penguatan Jaminan Pelindungan Penyandang Disabilitas dari Tindak Kekerasan Seksual“ yang disiarkan secara langsung di kanal YouTube PSHK Indonesia, mengatakan pihaknya berupaya untuk mengawal isu terkait dengan penyandang disabilitas mental dan intelektual dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).
Beliau menjelaskan bahwa pelindungan dan perlakuan khusus kepada penyandang disabilitas mental dan intelektual akan meliputi penindakan khusus oleh aparat penegak hukum, tanggung jawab negara dalam menjamin hak penyandang disabilitas, prosedur pencegahan, dan pendidikan terkait dengan kekerasan seksual untuk publik.
Walaupun saat ini ada banyak peraturan yang terkait dengan perlindungan perempuan, anak dan penyandang disabilitas. Namun aturan tersebut belum cukup optimal dalam menyelamatkan korban dan melindungi saksi.
Diketahui, ada sejumlah aturan yang membahas isu kesejahteraan bagi penyandang disabilitas, di antaranya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Disabilitas, PP Nomor 70 Tahun 2019 tentang Perencanaan, Penyelenggaraan, dan Evaluasi Terhadap Penghormatan, Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas, dan Peraturan Menteri PPPA Nomor 4 tahun 2017 tentang Perlindungan Khusus Bagi Anak Penyandang Disabilitas.
Karena di satu sisi tiap harinya banyak korban yang mengalami kekerasan namun negara belum memiliki jaminan hukum yang adil. Sehingga dibutuhkan pemberlakuan aturan yang baru yaitu RUU TPKS. Aturan ini merupakan upaya hukum progresif dalam rangka menjawab problematika darurat kekerasan.
RUU TPKS ini selain melindungi para korban, keluarga korban, dan saksi, juga memberikan rehabilitasi bagi para pelaku kekerasan seksual. Harapannya RUU TPKS ini dapat menjadi solusi dan jawaban untuk memberantas segala macam bentuk kekerasan bagi perempuan, anak, dan kelompok disabilitas.
Selanjutnya RUU TPKS ini juga perlu dan penting disosialisasikan kepada seluruh lapisan masyarakat. Agar seluruh masyarakat mendapatkan edukasi mengenai kesehatan reproduksi, pendidikan seks dan berbagai hal terkait isu kekerasan.
Selain itu masyarakat juga diharapkan dapat bekerjasama dengan pemerintah untuk melakukan pendampingan dan perlindungan. Masyarakat juga dihimbau untuk tidak takut melapor kepada penegak hukum apabila terjadi kasus kekerasan di lingkungan sekitarnya.
Sehingga kasus kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan, anak dan penyandang disabilitas dapat diusut tuntas sesuai prosedur dan ditindaklanjuti secara hukum. Maka dari itu, mari terus kawal RUU TPKS ini sampai final. []