Mubadalah.id – Beberapa pekan terakhir, tren S-Line mulai ramai muncul di media sosial terutama di TikTok. Tren ini muncul karena terinspirasi dari serial Korea, kemudian berkembang menjadi “permainan pengakuan” tentang pengalaman seksual melalui simbol garis merah di atas kepala pengguna.
Di balik keviralan ini, tersimpan keresahan yang besar tentang bagaimana media sosial bisa memfasilitasi baik remaja hingga dewasa untuk mengumbar hal pribadi yang sangat sensitif, tanpa pemahaman literasi yang cukup. Ini bukan sekedar tren tapi juga cerminan kurangnya literasi digital dan literasi seksual di era digital.
Apa itu S-Line
S-line adalah serial drama Korea bergenre thriller yang menceritakan tentang seorang remaja dengan kemampuan melihat garis merah sebagai tanda jumlah pengalaman seksual seseorang. Tak hanya dirinya, siapapun yang menggunakan kacamata khusus pun dapat melihat garis tersebut.
Namun kemampuan tersebut justru membuat orang-orang menjadi tertekan dan trauma, hingga mengakhiri hidupnya sendiri. Di sini bisa kita tarik kesimpulan bahwa garis merah tersebut bukan sekadar “jumlah pasangan”, namun juga simbol emosional, trauma dan konsekuensi hubungan yang pernah dijalani.
Sayangnya, saat menjadi tren Tiktok, makna yang dalam itu direduksi menjadi permainan visual semata menjadi siapa yang paling banyak garis merah. Pesan emosional yang kompleks berubah menjadi konten hiburan semata.
Fenomena Tren S-Line di Tiktok
Tren S-Line ini muncul dalam berbagai bentuk. Di antarnya yakni dengan mengggunakan filter buatan AI yang memunculkan garis merah di atas kepala. Lalu menggambar secara manual garis merah di foto, dan juga membagikan jumlah pasangan secara gamblang. Seolah menjadi bagian dari identitas diri. Beberapa pengguna bahkan bercanda tentang berapa banyak garis merah yang mereka miliki tanapa memahami makna asli dari konteks tersebut.
Lebih jauh lagi, tren ini bukan hanya candaan namun menjadi pelecehan seksual dan perusakan reputasi. Beberapa unggahan bahkan telah melewati batas etika seperti menggambar garis merah pada anak kecil atau teman mereka tanpa persetujuan.
Respons yang muncul di kolom komentar pun sangat beragam, tergantung target audience akun tersebut. Pada akun yang terbiasa mengumbar hal-hal berbau seksual, tren ini disambut antusias. Namun pada akun lain komentar yang muncul berupa candaan, komentar sinis, kritik tajam, ejekan hingga pengingat bahwa aib seharusnya tidak kita umbar.
Di sinilah persoalannya, konten S-Line yang menyangkut privasi dan seksualitas berubah menjadi tontonan publik tanpa kendali dan menjadi alat untuk mendapatkan banyak engagement. Fenomena ini menunjukan bahwa tanpa literasi media dan pendidikan seksual, publik mudah sekali terjebak ke dalam konten dan tren yang berbau seksual. Bahkan juga terjadi di kalangan orang dewasa.
Pubertas Digital dan Krisis Literasi Seksual
Pubertas digital adalah kondisi saat remaja mengalami pendewasaaan dan perkembangan seksual baik secara fisik, psikologis dan emosional bukan hanya secara biologis, tetapi juga secara digital. Teknologi menjadi medium utama untuk bereksplorasi, belajar dan membentuk identitas seksual.
Mereka tumbuh dengan eksposur media yang masif mulai dari konten seksual yang eksplisit, norma tubuh ideal, gambaran relasi ideal hingga glorifikasi hubungan bebas. Algoritma media sosial secara aktif mempertemukan mereka dengan konten-konten seperti itu meski tanpa mencarinya.
Sayangnya, ini tidak terimbangi dengan literasi digital dan juga pendidikan seksual yang memadai. Banyak orang, baik remaja maupun orang dewasa yang tidak mampu memilah tren yang baik dan memahami makna dari informasi yang didapatkan dengan baik.
Kurangnya pendidikan seksual membuat orang-orang tidak memahami batas aman membagikan tubuh dan juga kisah pribadi di internet. Kesenjangan ini membuat mereka kiurang paham akan dampak psikologis, etika dan bahaya digital dari perilaku seksual yang vulgar dan terbuka di media sosial.
Bahaya Tren Seksualitas di Media Sosial
Ada beberapa dampak serius dari tren-tren seksual seperti S-Line yang harus kita waspadai antara lain:
- Tekanan Mental dan Insecure.
Pengguna yang megikuti tren untuk mendapatkan validasi digital sering mengalami tekanan sosial. Selain itu respon publik yang mereka terima bisa menyebabkan stress, rasa malu, insecure hingga trauma.
- Eksploitasi Digital
Bahaya lain yang harus diwaspadai adalah terjadinya eksploitasi digital. Perilaku oversharing informasi yang kita lakukan dapat digunakan oleh penjahat untuk melakukan kejahatan siber, misalnya doxing, pemerasan atau pelecehan daring. Sayangnya, banyak pengguna yang belum sadar dan menyadari resiko eksploitasi semacam ini.
- Jejak Digitak Tak Terhapus
Rekam jejak digital karena telah mengikuti tren seksual yang negatif tidak benar-benar terhapus dari internet. Meskipun sudah terhapus, postingan yang viral seringkali sudah tersebar ulang atau tersimpan oleh pengguna lain. Konten seksual yang menyimpang dari norma mudah digunakan untuk mempermalukan orang di kemudian hari.
Sebuah laporan dari UNICEF (2022) menyebutkan bahwa anak-anak dan remaja di Asia Tenggara termasuk Indonesia menghadapi resiko besar eksploitasi seksual online. Hal itu terjadi karena minimnya edukasi seksual dan pengawasan yang sehat.
Membangun Kesadaran Literasi Digital dan Literasi Seksual di Era Digital
Sudah saatnya kita untuk mulai waspada dan sadar bahwa media sosial bukan ruang yang aman sepenuhnya. Masyarakat perlu lebih kritis dalam memahami informasi sebelum mengikuti sebuah tren. Terutama yang menyangkut tubuh, seksualitas dan privasi.
Pendidikan seksual harus kita mulai sejak dini dengan pendekatan yang berbasis nilai-nilai dan empatik. Anak-anak perlu kita ajarkan bahwa tubuh mereka berharga dan tidak semua hal harus kita bagikan. Orang tua dan guru tidak cukup hanya melarang, tapi perlu membangun ruang diskusi yang terbuka agar remaja belajar tentang seksualitas secara sehat, bukan dari eksplorasi media sosial tanpa pengawasan.
Media sosial adalah ruang publik. Sudah seharusnya kita semua baik anak-anak, remaja, orang dewasa maupun pembuat kebijakan menjadikan tempat yang aman, edukatif dan penuh kesadaran. Bukan ajang eksploitasi diri demi validasi digital. []