Simbol Sa’i pada mulanya ditampilkan dalam kisah seorang perempuan bernama Siti Hajar. Ia berjalan dan berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwa, mencari air di lembah yang tandus itu untuk anaknya, Ismail.
Mubadalah.id – Sa’i secara literal berarti berusaha dan bekerja keras. Dalam ibadah haji, Sa’i berarti prosesi berjalan kaki, diselingi berlari kecil, dari bukit Shafa ke bukit Marwah.
Prosesi ini merupakan simbol yang menggambarkan perjuangan manusia untuk survive, mempertahankan eksistensi (hidup) yang tak pernah berhenti. Tujuh seringkali adalah angka kiasan untuk arti banyak dan tak terbatas.
Simbol Sa’i pada mulanya menceritakan kisah seorang perempuan bernama Siti Hajar. Ia berjalan dan berlari-lari kecil antara bukit Shafa dan Marwa, mencari air di lembah yang tandus itu untuk anaknya, Ismail, yang baru saja ia lahirkan.
Bayi ini anak hasil perkawinannya dengan Nabi Ibrahim. Kelahirannya sudah lama sang ayahnya idamkan. Sayang, begitu lahir, atas perintah Allah, Ibrahim harus meninggalkan sang anak dan ibunya. Ibrahim kembali ke Palestina.
Di tanah, lembah yang tandus, kering kerontang, tanpa tumbuhan itu (wadin ghairi zar’in), di dekat Bait Allah, kedua anak manusia, ibu dan anaknya yang lemah itu harus berjuang untuk hidup.
Kemudian, sesuatu yang dicari oleh sang ibu adalah air. Air adalah sumber utama kehidupan, sekaligus kesuburan bagi manusia dan alam. Allah mengatakan:
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاۤءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّۗ
“Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu. Apakah mereka tidak juga beriman?” (QS. al-Anbiya ayat 30). Tuhan lalu menganugerahinya air Zam-zam. Ada bilang “Tham-Tham” (Tha’am = makanan).
Sebagai Simbol
Menarik sekali untuk diperhatikan di dalam ibadah ini, mengapa Tuhan memilih seorang perempuan, bernama Siti Hajar sebagai simbol. Siti Hajar kita identifikasi dengan sejumlah identitas sosio-kultural-politik.
Siti Hajar adalah perempuan, berkulit hitam, seorang budak belian dan berkasta (kelas) rendah. Seluruh identitasnya adalah rendah dalam pandangan masyarakatnya ketika itu. Cara pandang yang membedakan status manusia seperti ini adalah hal yang tidak masalah dari aspek kemanusiaan pada saat itu di banyak kebudayaan dunia.
Siti Hajar adalah seorang perempuan yang amat sabar, tabah, bertanggung jawab dan mencintai atas kehidupan orang lain. Ali Syari’ati mengatakan:
“Ia seorang ibu yang mencinta, sendirian, mengelana, mencari dan menanggungkan penderitaan dan kekhawatiran, tanpa pembela dan tempat berteduh, terlunta-lunta, terasing dari masyarakatnya, tidak mempunyai kelas, tidak mempunyai ras dan tidak berdaya. Ia seorang yang kesepian, seorang korban seorang asing yang terbuang dan dibenci” (Ali Syari’ati, Haji, hlm.47) []