Mubadalah.id – Hari Santri Nasional 2021 dirayakan dengan gembira walaupun masih di tengah pandemi. Kali ini tema yang diusung adalah Santri Siaga Jiwa Raga. Menteri Agama Bapak H. Yaqut Cholil Qoumas dalam perilisan tema dan logo Hari Santri 2021 tersebut menjelaskan makna dari tema tersebut.
Menurut Bapak Yaqut, Tema tersebut merupakan “pernyataan bahwa santri siap siaga menyerahkan jiwa dan raga untuk membela tanah air, mempertahankan persatuan Indonesia, dan mewujudkan perdamaian dunia. Siaga Jiwa Raga juga merupakan komitmen seumur hidup santri untuk membela tanah air yang lahir dari sifat santun, rendah hati, pengalaman, dan tempaan santri selama di pesantren.”
Demikian pernyataan tersebut disampaikan oleh Bapak Yaqut dalam acara yang digelar pada 21 September 2021 di Auditorium HM Rasidji, Kantor Kementerian Agama Jakarta. Makna dari tema tersebut menggugah hati saya selaku alumni pesantren. Kehadiran santri dalam mempertahankan NKRI memang sangat dibutuhkan. Apalagi banyak sekali alumni pesantren yang mulai berkontribusi pada masyarakat dengan beragam cara.
Dalam penjelasan tema tersebut, disebutkan pula bahwa santri siap siaga membela tanah air. Santri digadang-gadang ikut menjadi bagian garda terdepan dalam membela Indonesia. Sayangnya, potret santri belakangan ini tampak suram. Salah satunya dengan maraknya kasus kekerasan seksual di lingkungan pesantren.
Dalam Lembar Fakta Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan yang dirilis oleh Komnas Perempuan, sepanjang tahun 2015-2020 terjadi 51 kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan. Dari 51 kasus yang diadukan tersebut, pesantren atau lembaga pendidikan berbasis Agama Islam menempati posisi kedua, yakni sebesar 19% jumlah kasus. Dari sisi pelaku, sebanyak 43% pelakunya adalah guru/ustad, yakni terdapat 22 kasus.
Kasus tersebut menjadi sebuah misteri gunung es, mengingat menurut Komnas Perempuan, kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan umumnya tidak dilaporkan. Saat ini, menemukan berita kasus kekerasan seksual di pesantren bukan hal sulit. Jika teman-teman mengetik kalimat “Kasus Kekerasan Seksual di Lingkungan Pesantren” di mesin pencarian, maka akan muncul banyak sekali kasus kekerasan seksual dari berita lama hingga yang terbaru.
Berita kasus kekerasan seksual tersebut ada yang masih dalam tahap pengusutan, bahkan ada yang pelakunya masih belum ditangkap meskipun sudah menyandang status sebagai tersangka. Sebagai contoh, kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh MSAT selaku anak dari salah satu pendiri pondok pesantren ternama di Jombang hingga saat ini masih belum ditangkap meskipun sudah ditetapkan sebagai tersangka.
Berita terbaru tentang kekerasan seksual diantaranya, guru salah satu pondok pesantren di Ogan Ilir, Sumatera Selatan telah mencabuli 25 santri. Kemudian, di Trenggalek ada 34 santriwati menjadi korban pelecehan seksual oleh gurunya, dan masih banyak lagi kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi sebelumnya. Korban kekerasan seksual tersebut tidak hanya perempuan, namun juga laki-laki.
Beberapa kasus kekerasan seksual di lingkungan pesantren terjadi dengan berbagai cara, mulai dari pemaksaan perkawinan dengan memanipulasi hubungan dengan santri. Hal yang paling sering terjadi yakni transfer atau memindahkan ilmu. Santri juga kadang ditakut-takuti bahwa akan terkena azab jika tidak menuruti perintah pelaku.
Pola kekerasan seksual di lingkungan pesantren tidak terlepas dari relasi kuasa antara pelaku dan korban. Pelaku yang biasanya memiliki status dan otoritas tinggi di pesantren, memanfaatkan ketidakberdayaan santri dalam tindakan kekerasan seksual tersebut. Hal ini sering terjadi namun sulit diungkap dan lambat penanganannya. Apalagi, terkadang santri terbentur dengan norma agama dan ketaatan pada para petinggi pondok pesantren yang disegani masyarakat sekitar. Victim blaming juga masih membayang-bayangi korban kekerasan seksual.
Di sisi lain, pesantren merupakan lembaga pendidikan Agama Islam yang dekat dengan masyarakat. Banyak orangtua yang mengirim anak-anaknya pergi mencari ilmu di pesantren karena pesantren merupakan lembaga pendidikan yang ramah dan aman. Wali santri melepas anaknya hidup mandiri di pesantren dengan harapan agar anaknya menjadi sosok berilmu yang baik. Sayangnya, potret kekerasan seksual ini cukup mengkhawatirkan hati sebagian masyarakat.
Jika melihat lembar fakta yang dirilis oleh Komnas Perempuan, nampaknya angka kekerasan seksual di lingkungan pesantren tidak fantastis. Namun, kekerasan seksual bukan soal angka, ini soal masa depan anak bangsa dan trauma yang dialami oleh korban. Untuk apa menanyakan soal angka statistik? Apakah harus menunggu angka yang tinggi dulu baru ditangani secara serius? Lalu apa yang dibutuhkan untuk mencegah terjadinya tindakan kekerasan seksual di lingkungan pesantren?
Pertama, sudah saatnya pesantren mulai terbuka dengan pendidikan seksual yang komprehensif. Membicarakan seksualitas penting dan merupakan sebuah kebutuhan, bukan ketabuan. Dengan adanya pendidikan seksual yang baik, para santri mendapatkan wawasan yang tepat terkait permasalahan seksualitas yang dihadapi. Sehingga santri memiliki akses informasi yang baik sebagai pengetahuan dasar dalam menghadapi problem seksualitas yang terjadi di sekitarnya.
Secara umum, idealnya pendidikan seksual dan isu-isu yang berkaitan dengan HKSR (Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi) sudah mulai disebarluaskan di masyarakat. Para orang tua juga harus mulai terbuka dengan isu-isu tersebut agar dapat membekali putra putrinya terkait pendidikan seksual sebelum dikirim ke pondok pesantren.
Kedua, pesantren perlu memiliki SOP pencegahan, penanganan dan pemulihan korban kekerasan seksual. Para pengurus pesantren bisa dibekali dengan peningkatan kapasitas terkait penanganan kasus kekerasan seksual. Tentunya, pihak pesantren akan dibantu dan didampingi oleh lembaga berwenang, baik lembaga pemerintahan ataupun non pemerintah. Semua lembaga terkait harus saling bersinergi untuk memberantas kekerasan seksual di negeri ini.
Ketiga, penting sekali memberikan pemahaman kepada masyarakat, khususnya kepada santri bahwa siapa saja bisa menjadi pelaku kekerasan seksual, apapun status sosialnya, karena tidak ada manusia yang suci dan sempurna.
Kepatuhan dan ketaatan santri kepada ustad ataupun pimpinan pesantren diharapkan tidak mengaburkan fakta bahwa dalam beberapa kasus kekerasan seksual yang telah terjadi, para pelakunya diantaranya merupakan ustad dan pemimpin pondok pesantren yang disegani masyarakat sekitar. Santri harus berani melawan dan memutus rantai kekerasan seksual.
Dalam rangka Hari Santri Nasional 2021 dengan tema Siaga Jiwa Raga ini, idealnya santri juga tidak hanya diminta membela tanah air, namun juga harus dibela dan dilindungi haknya, khususnya jika menjadi korban kekerasan seksual. Santri membutuhkan ruang aman untuk belajar, serta lingkungan yang sehat mental, jiwa dan raga, tanpa adanya rasa takut dan terintimidasi oleh oknum-oknum tertentu, sehingga dapat siaga membela negara dengan sepenuh hati dan tenaga. []