Mubadalah.id – Sebelum ingin menyampaikan tulisan berjudul Sayang, Kau Pasanganku, Bukan Belahan Jiwa, saya ingin menyampaikan bahwa salah satu investasi paling berharga milik seorang penghulu—terlebih lagi kepala KUA—yang harus dijaga dengan baik adalah mulut, baik dalam pengertian harfiah maupun metaforis. Ini fakta tak terbantahkan. Jika investasi itu tak dijaga, eksistensi seorang penghulu patut dipertanyakan. Mungkin di antara pembaca ada yang pernah nonton acara 1000 ways to die di sebuah stasiun tv kabel. Pada salah satu episode diceritakan ada seorang perempuan yang menelepon suaminya yang masih di kantor dan mereka mendiskusikan cara unik mendapatkan pengalaman bercinta. Mereka bersepakat, suami akan berpura-pura menjadi perampok dan pemerkosa sementara istrinya memborgol tubuhnya sendiri pada sebuah kursi seraya membekap mulutnya dengan lakban. Kisah ini benar-benar terjadi. Naas bagi perempuan itu. Ketika mulutnya telah tersumpal, serta tangan dan tubuhnya telah diborgol, dengan dada berdebar-debar menantikan kedatangan suami yang akan berperan sebagai perampok, tiba-tiba pintu depan rumahnya dicongkel seseorang.
Everybody’s wearing a disguise
To hide what they’ve got left behind their eyes
But me, I can’t cover what I am
Wherever the children go I’ll follow them
(Bob Dylan, Abandoned Love)
Tak lama berselang, perampok yang sesungguhnya datang mengenakan topeng ski. Perampok itu tertawa terbahak-bahak menyaksikan pemandangan di depannya. “Ha ha ha … kamu benar-benar telah membuat pekerjaanku jauh lebih mudah… kwek kwekk…” Ia melangkah mendekati si perempuan yang tersentak kaget karena tak menyangka akan didatangi perampok beneran. Untunglah, perampok itu tak tergiur melihat tubuh si perempuan yang tak berdaya. Ia memilih mengambil perhiasan dan barang-barang yang diinginkan, kemudian melangkah pergi. Perempuan itu menarik nafas lega. Namun sial, sesaat sebelum melangkahkan kakinya keluar rumah, perampok itu, didorong rasa lucu melihat tingkah si perempuan, yang membelenggu dan membekap dirinya sendiri, membalikkan tubuh mendekatinya. Tentu saja dada wanita itu kembali berdebar kencang. Ia takut si perampok tergiur melihat ketakberdayaannya. Setelah berhadapan, si perampok berjongkok, menundukkan kepalanya hingga hidungnya bersentuhan dengan hidung si wanita lalu, tanpa diduga-duga, ia tertawa terbahak-bahak: “HAHAHAHA…” dengan mulut yang terbuka lebar dan suara yang sangat keras. Kontan, jutaan macam bau yang membusuk dalam mulut si perampok serabutan berhamburan terhirup hidung si wanita.
Usai tertawa, perampok itu ngeloyor pergi membawa barang curian. Di waktu yang sama, perempuan itu disiksa himpunan bau busuk kotoran yang terbang dari mulut si perampok. Seluruh isi perutnya diaduk dan naik ke mulut. Sayang, ia tak bisa memuntahkan isi perutnya karena mulutnya dibekap lakban. Ia tak dapat menggerakkan tangan untuk melepaskan diri karena kedua tangannya terborgol ke kursi. Akibatnya benar-benar tragis, saluran nafas dan paru-parunya dipenuhi muntahan isi perutnya yang tak bisa dikeluarkan. Saat si suami datang, ia tersentak mendapati istrinya mati terkapar karena jalan nafasnya tersumbat.
Kisah nyata itu menyuguhkan gambaran mengenaskan betapa bau mulut bisa membunuh seseorang. Karena itulah saya tekankan lagi, mulut merupakan modal paling penting yang dimiliki seorang penghulu—bahkan modal utama bagi siapa pun. Coba Anda bayangkan seandainya seorang penghulu memiliki mulut berbau busuk seperti mulut si perampok. Kemudian ia menghadapi pasangan pengantin yang hendak menikah. Karena wali pengantin wanita mewakilkan pelaksanaan akad nikah kepada si penghulu, otomatis ia harus berhadapan dengan pengantin laki-laki dengan jarak yang sangat dekat. Bahkan, beberapa penghulu menundukkan kepalanya hingga nyaris beradu dengan kepala si pengantin dengan tujuan agar suaranya lebih jelas terdengar oleh si pengantin, atau biar dianggap lebih khusyuk. Aneka macam bau pasti berhamburan dari mulutnya, terbang melintasi udara, dan hinggap di hidung si pengantin. Karena tak mau mengganggu kekhusyukan upacara nikah dan karena enggan mempermalukan si penghulu, pengantin itu menahan desakan isi perutnya. Bisa jadi ia tidak mati akibat menahan muntah, tetapi mungkin saja ia jatuh sakit usai akad nikah. Entahlah, sepertinya peristiwa seperti itu belum pernah terjadi dalam kenyataan, atau mungkin sengaja ditutup-tutupi karena tak mau membuat malu penghulu.
Ini pengertian mulut secara harfiah. Karena itulah Islam menganjurkan agar selalu menjaga kebersihan mulut dengan cara berkumur dalam wudhu. Minimal lima kali dalam sehari semalam kita berwudhu dan berkumur. Lebih banyak lagi jika kita terbiasa menjaga diri tetap dalam keadaan wudhu. Kita juga dianjurkan untuk membersihkan mulut (bersiwak) sebelum shalat. Tentu saja, di zaman sekarang, siwak tak mesti hanya dengan ranting kayu Irak. Bahkan, secara khusus dalam kehidupan rumah tangga, Rasulullah Saw. mencontohkan untuk membersihkan mulut sebelum menemui istri. Diriwayatkan bahwa Aisyah r.a. pernah ditanya, “Pekerjaan apa yang mula-mula dilakukan Nabi saw. pada saat beliau memasuki rumahnya?”
Aisyah r.a. menjawab, “Menyikat gigi.”
Karena itulah sebagai petugas yang banyak berhadapan dengan masyarakat, baik ketika menghadiri pernikahan, melayani konsultasi, memberikan kursus catin, dan lain-lain, penghulu harus menjaga mulutnya. Sementara, dari pengertian metaforis, penghulu harus menjaga kata-katanya, karena kemampuan berkata-kata itulah modal utamanya. Mungkin, di luar profesi sales asuransi atau sales kartu kredit, profesi lain yang paling banyak mengandalkan mulut adalah sales pernikahan—penghulu dan kepala KUA. Nyaris setiap saat mereka harus berkata-kata. Nyaris sebagian besar waktu dan energinya dihabiskan untuk berkata-kata.
Keadaan seperti itulah yang saya rasakan sejak menjabat sebagai kepala KUA di sebuah kecamatan terpencil di Kuningan. Saya harus pandai menjaga kata-kata, menjaga lisan, sebagaimana kata pepatah, “mulutmu harimaumu”, atau seperti kata-kata penutup seorang dai seribu umat “jika pedang lukai tubuh, pasti ada harapan sembuh, tetapi jika lisan lukai hati, kemana obat akan dicari”. Pagi-pagi sekali, setibanya di kantor, kadang-kadang saya sudah harus berbual-bual karena ada pegawai yang ingin ngobrol, membicarakan apa pun, urusan anak, istri di rumah, kolam yang kekeringan, atau tagihan motor yang lupa dibayar. Ada juga staf yang ngobrol dan mengeluhkan staf lain karena dianggap lebih malas, dan lain-lain. Agak siang sedikit, muncul wartawan yang ingin silaturahim, membicarakan apa pun. Pada saat-saat tertentu, kadang-kadang muncul bapak-bapak atau ibu-ibu yang ingin konsultasi membicarakan urusan rumah tangga. Belum lagi petugas desa, kuwu atau pun ketib, yang datang membincangkan urusan pendaftaran nikah, wakaf, zakat, atau urusan agama lain.
Saya harus benar-benar menjaga mulut agar tidak menyakiti dan menyinggung perasaan orang lain. Ada kawan kepala KUA yang berurusan dengan polisi karena ucapannya menyinggung wartawan. Ada pula kepala KUA yang didemo warga karena menolak pendaftaran nikah dengan kata-kata yang kasar. Tidak hanya menjaga ucapan, saya pernah diharuskan komat-kamit baca mantra ketika seorang calon pengantin perempuan tiba-tiba menangis histeris sebelum akad nikah. Mungkin ia histeris saat melihat penghulu yang datang jauh lebih keren dibanding calon suaminya, atau mungkin ia teringat mantan kekasihnya, entahlah. Setelah komat-kamit, saya tiupkan mantra pada segelas air yang kemudian diminumkan kepada si pengantin. Ajaib, gadis itu kembali tenang. Mungkin bau mulut saya yang pindah ke air dalam gelas, lalu membasahi kerongkongan dan perutnya, telah membuat mual jin yang merasukinya dan memilih minggat dari tubuh gadis itu. Sepanjang berkarir sebagai penghulu, dua kali saya pernah komat-kamit seperti itu, dan bau mulut saya selalu manjur mengusir jin. Sering kali saya tak dapat mengistirahatkan mulut berlama-lama. Mulut semakin sibuk saat tiba musim kawin. Kadang-kadang sejak pagi buta saya harus berbusa-busa menyampaikan khutbah nikah, tausiah, ijab-kabul, doa, dan lain-lain hingga waktu menjelang lohor.
Hari ini pun saya harus mempekerjakan mulut saya sejak pagi hingga menjelang lohor. Belum lama beristirahat setelah menempuh 45 kilo perjalanan yang melelahkan, saya sudah harus menatar tiga pasang calon pengantin. Mulailah mulut saya berbusa-busa, kadang-kadang menyitir ayat Alquran dan hadis Nabi, menyitir petuah para ahli psikologi, atau bahkan teori sosiologi dan ekonomi. Tak jarang pula saya menyitir teori dr. Boyke dan ahli genealogi lain saat mengajari mereka cara efektif agar cepat punya anak. Usai memberikan penataran, saya kembali memasuki ruangan kerja dan beristirahat sejenak sambil nyeruput segelas kopi yang telah dingin.
Namun, rupanya mulut saya belum saatnya beristirahat. Selang setengah jam dari penataran, seorang pemuda memasuki ruangan didampingi seorang gadis untuk mengikuti penataran calon pengantin. Urusan penataran ini kerap mengusik saya. Sebenarnya, kantor sudah menjadwalkan hari dan jam khusus untuk penataran. Kami juga sudah memberikan surat undangan ke setiap catin untuk mengikuti penataran pada hari dan jam tertentu. Namun, kami tak bisa menahan jika ada calon pengantin yang datang di luar ketentuan waktu tersebut. Jadi, kerap kali, dalam satu hari saya harus menatar beberapa pasang calon pengantin. Yang jadi masalah, saya harus menyampaikan materi penataran yang berbeda-beda, karena setiap pasangan memiliki latar belakang sosial, agama, dan pendidikan yang berbeda-beda pula.
Karena itulah awalnya saya hanya akan memeriksa kelengkapan pendaftaran dan kemudian menyuruh mereka pulang. Namun, saat ngobrol, pengantin laki-laki bilang bahwa ia datang langsung dari rumahnya di kecamatan Maleber, kurang lebih 50 kilo dari kecamatan ini, khusus untuk mengikuti penataran calon pengantin. Saya benar-benar tak tega menyuruhnya pulang. Maka, sekali lagi keluarlah petuah dari Naib Kramat—julukan ini saya dapatkan karena saya tinggal di Kramatmulya. Saya hanya membahas satu topik dalam kesempatan itu, yaitu tentang keridhaan untuk menikah sebagaimana tercantum pada lembar form N3—Surat Persetujuan Mempelai. Jelasnya, masing-masing pihak, calon suami dan calon istri, ridha menikah dengan pasangannya tanpa ada paksaan dari siapa pun. Soal keridhaan ini benar-benar penting karena tanpa keridhaan kedua pihak, kelak setelah menikah, suami akan mencampakkan istri, dan istri mengabaikan suami. Sebab, mereka tidak ridha menerima kekurangan yang ada pada diri pasangannya, entah kurang tinggi, kurang gemuk, kurang mancung, kurang gigi, atau kurang duit.
Ketika berpacaran biasanya kedua pihak menunjukkan bagian terbaik diri mereka. Dari kajian psikologi, defense mechanism—mekanisme pertahanan diri—mendorong mereka menyembunyikan keburukan diri sendiri, baik sifat, latar belakang, atau pun kecenderungan buruknya. Setelah menikah, biasanya sifat-sifat buruk, seperti mudah marah, pencemburu, pelit, dan lain-lain muncul ke permukaan, karena saat itu mekanisme pertahanan diri menjadi longgar. Sebelum menikah, sistem sensor belahan jiwa kita menahan keluarnya sifat-sifat buruk di hadapan pasangan sehingga yang muncul lebih banyak perilaku baik nan terpuji. Saat pacaran, seorang laki-laki tampak sangat perhatian, setiap malam nelpon, setiap saat nge-PING, menanyakan kabar. Saat tahu pacarnya sakit perut, ia ungkapkan perhatian penuh, menyuruhnya ke dokter, bahkan mengantar dan membayari ongkos dokter. Setiap saat menanyakan:
“Hai, kamu sudah makan belum? Ayo dong makan, nanti kamu sakit…”
“Makan yuuk…”
“Hi, sedang apa? Kangen banged nich…”
“Ga apa-apa Say, kamu pake saja, duitku kan duitmu juga… yang penting kuliahmu bisa segera beres…”
Setelah menikah, bawah sadar kita berkata kepada sifat buruk, “Oke… udah aman, kau bisa keluar sekarang.”
Jadi, setelah menikah, saat istri sakit, si suami mengeluarkan uang dari dompetnya, lalu berkata, “Ke dokter gih..” atau yang lebih parah, “Cengeng banget sih, baru sakit perut gitu aja humarurung terus …” (Humarurung: Ungkapan lirih karena sakit, biasanya hanya berupa rangkaian huruf, seperti uuuuhhh disertai raut muka menahan sakit).
Saat istri butuh duit, sang suami bilang, “Gila… kan baru kemaren duit gajian gue kasih semua… masa uda abis lagi?!”
Atau, “Mana, coba aku mau liat catatan pengeluaranmu!”
Dialog-dialog macam itu sangat mungkin terjadi. Jika tidak ada dialog verbal, mungkin non verbal, seperti dialog pake buku, piring, atau HP yang dilempar. Karena itulah keridhaan menerima pasangan mutlak diperlukan sehingga masing-masing bisa menerima keburukan dan kekurangan pasangannya.
Selajambe, Senin, 7 Maret 2011