Mubadalah.id – Tidak hanya keterwakilan 30% di pemerintahan, ada masa di mana empat dari enam pemimpin tertinggi, setelah Arung Matowa (Raja), Kerajaan Wajo merupakan perempuan. Her-story ini tentu menarik, terutama dalam perbincangan seputar akses dan partisipasi perempuan dalam sejarah Nusantara.
Kerajaan Wajo merupakan satu di antara kerajaan-kerajaan suku Bugis, yang berada di Sulawesi Selatan. Dalam sejarahnya, banyak perempuan Wajo, terutama kelas bangsawan, mengisi peran sentral dalam sistem pemerintahan masyarakat Bugis ini.
Bukan Gender, Tapi Garis Keturunan dan Kemampuan
Dalam sistem Kerajaan Wajo, raja dipilih oleh para Dewan Adat. Jadi, pewarisan tahta tidak serta merta melalui ayah ke anak. Namun begitu, para calon pemimpin adalah mereka yang memiliki darah murni bangsawan. Dewan Adat memilih siapa di antara para bangsawan yang paling cakap untuk menjadi pemimpin kerajaan yang mereka sebut Arung Matowa.
Darah (garis keturunan) menjadi pertimbangan penting bagi masyarakat Wajo (dan Bugis pada umumnya). Hal ini memang merupakan satu ciri masyarakat dengan sistem kerajaan.
Hal yang menarik dalam kasus Wajo adalah, sebagaimana Anthony Reid dalam “Female Roles in Pre-colonial Southeast Asia,” prioritas keturunan daripada jenis kelamin justru membuka kesempatan bagi perempuan dalam suksesi kepemimpinan. Dalam hal ini, para perempuan yang punya darah murni bangsawan, dalam istilah Reid high-born woman, memiliki kesempatan untuk menduduki tahta raja atau jabatan penting lainnya.
Hal itu sebab, dalam konteks suksesi kepemimpin, sistem Kerajaan Wajo bukan tentang kamu laki-laki atau perempuan, namun tentang darahmu. Dan lagi, bangsawan laki-laki tidak lantas lebih dari bangsawan perempuan. Keduanya sama-sama mewarisi garis penguasa Wajo, yang menjadikan satu lebih unggul dari yang lain adalah kemampuan.
Paradigma sosial budaya demikian yang memungkinkan akses dan partisipasi perempuan bangsawan Wajo dalam kerajaan.
Perempuan Bangsawan Wajo dalam Arus Kekuasaan
Pada tahun 1840, James Brooke mengunjungi Kerajaan Wajo. Catatan perjalanan di Wajo, ia tuliskan dalam jurnal yang berjudul Narrative of Events in Borneo and Celebes, Vol. I, Chap. V. Dalam catatan ini, ia menyebutkan bahwa empat dari enam pemimpin agung Wajo merupakan perempuan.
Enam pemimpin yang Brooke maksud merujuk pada tiga orang Paddanreng (pemimpin sipil) dan tiga Pabbate Lompo (pemimpin militer). Dalam jurnalnya, ia menyebut mereka sebagai the six hereditary rajahs (enam raja-raja yang turun-temurun). Mereka mendampingi Arung Matowa yang merupakan penguasa tertinggi Kerajaan Wajo.
Brooke, termasuk juga Reid, tidak menyebutkan nama-nama keempat perempuan itu. Brooke hanya menuliskan sebuah catatan kaki; Rundrang Tulla Tendring, Rundrang Tuwah, Aru Beting, Patolah, Filla, dan Chukaridi. Itu sepertinya merujuk untuk penyebutan masing-masing jabatan enam pemimpin, bukan nama-nama mereka.
Meski tidak menyebutkan nama keempat perempuan itu, poin penting yang dapat saya ambil dari jurnal Brooke adalah, perempuan bangsawan Wajo punya partisipasi dalam pemerintahan. Sebagaimana Brooke, para perempuan itu tampil ke publik seperti laki-laki.
Mereka berkendara, memerintah, dan melakukan perjalanan dinas ke kerajaan sekitar. Dalam hal ini, sistem sosial budaya Wajo memberi ruang peran bagi perempuan. Bahkan, mayoritas perempuan dapat mengisi jabatan tertinggi setelah Arung Matowa.
Dan, jika perempuan dapat mengisi posisi enam pemimpin, sudah barang tentu jabatan lain di bawahnya, berdasarkan pada jurnal Brooke ada dewan 40, tiga pangawa atau mimbar masyarakat, dan dewan umum, juga terbuka bagi perempuan bangsawan yang punya kompetensi untuk itu.
Menduduki Tahta Raja
Dalam jurnalnya, Brooke juga menjelaskan kalau bahkan jabatan Arung Matowa terbuka bagi perempuan. Artinya, perempuan bangsawan Wajo juga dapat menduduki tahta raja. Meski sewaktu ia datang ke Wajo terjadi kekosongan Arung Matowa, namun sistem sosial budaya Wajo memungkinkan perempuan mengisi posisi ini.
Pada pertengahan abad ke-20 M, seorang perempuan bangsawan Wajo, yang bernama Andi Ninnong, menjadi Arung Matowa. Gelarnya Petta Ranrengnge Datu Tempe. Ia seorang perempuan bangsawan dengan garis murni Kerajaan Wajo. Dalam istilah lokal, statusnya disebut sebagai Mattola atau juga darah 100. Status itu ia peroleh sebab ibunya, Andi We Dalolangeng, dan ayahnya, Andi Mappanyompa, sama-sama merupakan bangsawan tinggi.
Sebagaimana telah saya jelaskan, kalau seorang bangsawan seperti Andi Ninnong secara adat berhak sebagai kandidat Arung Matowa. Namun, dalam hal ini, darah murni bangsawan hanya mengantarkannya sebagai kandidat. Sedangkan, yang menjadikan dirinya sebagai orang terpilih di antara para bangsawan adalah kompetensinya.
Sebagaimana Nurnaningsih, dalam “Patriotisme Raja Perempuan Bugis Wajo dalam Mempertahankan Republik Indonesia (Ranreng Tua Hj. Andi Ninnong),” menjelaskan bahwa Andi Ninnong berhak menduduki posisi Arung Matowa sebab dua hal. Yaitu, faktor keturunannya dan kemampuannya.
Nurnaningsih menjelaskan kalau Andi Ninnong merupakan perempuan Bugis Wajo pertama yang selesai dari sekolah HIS pada 1922. Artinya, ia tidak hanya perempuan yang punya darah bangsawan, tapi juga perempuan yang berpendidikan. Dan, sebagai perempuan bangsawan yang punya kompetensi, ia dipercaya mampu mengemban jabatan Arung Matowa.
Akses dan Partisipasi Perempuan Bangsawan Wajo
Menarik membaca sejarah para perempuan penguasa Wajo. Adanya perempuan bangsawan yang menduduki posisi tinggi kerajaan, bahkan empat dari enam penguasa adalah perempuan dan posisi Arung Matowa juga dapat perempuan jabat. Hal itu menunjukkan sistem sosial budaya yang membuka kesempatan partisipasi kepada perempuan.
Para perempuan penguasa Wajo mendapatkan posisi mereka, bukan dalam sistem yang mempertimbangkan gender bangsawannya apa. Melainkan, kecakapannya bagaimana. Jika punya kemampuan, entah itu bangsawan laki-laki atau perempuan, maka dalam sistem Kerajaan Wajo adalah layak untuk menduduki posisi.
Di sisi lain, perempuan bangsawan Wajo bisa mendapat akses untuk mengembangkan potensi diri. Hal ini setidaknya nampak dari adanya perempuan kompeten yang mampu bersaing sebagai penguasa. Atau, juga nampak dari sosok Andi Ninnong yang mendapat akses pendidikan, baik pendidikan kerajaan maupun modern seperti HIS.
Sejarah para perempuan penguasa Wajo dalam pembacaan ini, menunjukkan sistem sosial budaya yang tidak membelenggu akses perempuan bangsawan untuk mengembangkan potensi diri. Dan, setelah punya kompetensi, sistem sosial budaya memungkinkan perempuan bangsawan Wajo untuk dapat berpartisipasi dalam kerajaan. []