Mubadalah.id – “Mengucapkan selamat Natal untuk orang Islam hukumnya haram!” Ujaran seperti ini tentu sering meledak saban perayaan Natal tiba. Tak pernah ada habisnya, padahal pokok masalahnya sama.
Klaim pengharaman mengucapkan ‘selamat natal’ biasanya berangkat dari paradigma Natal sebatas sebagai perayaan spiritual saja. Orang memaknai natal sekadar hari raya umat Nasrani. Padahal, tentunya tak begitu.
Di Indonesia, perayaan hari besar keagamaan—seperti Natal, Idulfitri, Iduladha, Waisak, Nyepi, dsb.—sebenarnya tak pernah lepas dari kaitannya dengan unsur kultural. Maksudnya, perayaan itu membaur dalam kehidupan masyarakat.
Selain natal, kita bisa mencontohkan bagaimana Idulfitri menjelma menjadi perayaan kultural. Hal itu tampak pada ‘kultur’ mudik lebaran. Mudik—katanya merupakan akronim dari mulih dhisik (pulang dahulu)—tak hanya menjadi kultur umat Islam saja.
Tanpa harus bertanya ‘Bagaimana hukum mudik untuk orang non-Islam?’, orang dengan santai bermudik. Tentu, kecenderungan ini berangkat dari pandangan perayaan keagamaan bukan sebagai sekat, melainkan justru jembatan penghubung.
Natal sebagai anugerah
Semestinya, umat dari agama apapun, memandang perayaan keagamaan seperti halnya natal sebagai bagian dari anugerah tuhan. Sebagai anugerah, seyogyanya pula jika manusia turut berbahagia, alih-alih menebar jala ketakutan dan vonis.
Seorang kawan sering mengucapkan terima kasih ketika hari besar keagamaan tiba. Katanya, dengan makin banyak hari raya keagamaan, ia jadi punya lebih banyak waktu libur dari pekerjaan.
“Terima kasih ya. Berkatmu, tanggal merah di kalender bertambah,” seringainya.
Ujaran itu kedengarannya sederhana. Agak lain mungkin. Tapi, itulah wujud kesyukuran atas anugerah dalam cara yang paling jujur. Toh, bagi buruh pekerja di manapun, waktu libur tak kalah suci dari hari-hari raya keagamaan. Itulah hari raya kami!
Selain mendatangkan rasa gembira, menyambut natal sebagai anugerah bersama juga memberi harapan bagi kerukunan lingkungan. Alih-alih melulu menajamkan perbedaan, merayakan Natal merupakan pengejawantahan iman spiritual dalam konteks kehidupan sosial (mu’asyarah).
Berkaca dari masyarakat Ceko
Keyakinan penulis ihwal natal sebagai (juga) perayaan kultural berangkat dari pengalaman tinggal di Ceko. Saat Natal tiba, masyarakat Ceko begitu bersemarak menyambutnya. Berbagai pasar yang khas dengan perayaan berdiri di pusat kota sejak akhir bulan November.
Apakah masyarakat Ceko begitu religius? Jawabnnya tidak sama sekali. Hampir 70% dari masyarakat berbahasa Slavik timur itu memilih mengidentifikasi dirinya tak menganut agama apapun. Orang boleh menyebut, masyarakat Ceko sebagai ateis.
Namun, pilihan identitas itu tak menyurutkan kebahagiaan mereka menyambut Natal. Salah seorang dosen penulis di Universitas Olomouc menyebut jika Natal telah menjadi budaya (kultur) masyarakat. Tak heran, perayaan natal di Ceko punya ciri khasnya sendiri.
“Ibu saya orang Jerman. Di Jerman, perayaan Natal tak seperti di sini (Ceko),” katanya.
Bahkan, dalam satu negara, perayaan natal bisa berbeda. Hal itu tak lepas dari kultur masyarakat Ceko yang setidaknya terbagi dalam tiga kelompok wilayah: Bohemian di barat, Moravian di tengah, serta Silesian di timur. Sementara, Indonesia jelas lebih diverse ketimbang Ceko!
Menyudahi vonis takfiri
Tulisan bertajuk Natal sebagai Perayaan Spiritual dan Kultural: Suara Seorang Muslim ini pada akhirnya hendak mengajak pembaca untuk menyudahi kultur vonis takfiri dalam hal perayaan hari besar agama. Marilah kita bosan melabeli orang dengan sematan kafir sebab mengucapkan ‘selamat natal’.
Selain berbahaya dalam konteks akidah, kecenderungan vonisistik ini juga berpotensi menimbulkan kerenggangan persaudaraan di kalangan umat—internal maupun eksternal. Kita seakan lupa, bahwa para pendahulu kita, telah selesai dengan itu semua. Mereka bisa merayakan perbedaan dengan sukacita.
Lagi pula, sebagaimana lanjutan adagium Bhinneka Tunggal Ika, Prapanca telah menulis tan hana dharma mangrwa. Kalimat indah ini bermakna tak ada kebenaran ganda. Alias, dalam IsIam misalnya, ujaran ini selaras dengan petika ayat …qad tabayyana ar rusydu min al ghayy… (Al Baqarah: 256).
Jadi, sudah bisa biasa-biasa saja dengan ucapan ‘selamat natal’ sekarang? []



















































