Seni Brai adalah bukti nyata bahwa Sunan Gunung Djati melakukan dakwah Islam dengan cara yang lembut, toleran, dan membumi. Beliau tidak menghapus seni dan tradisi masyarakat Cirebon, melainkan memadukannya dengan nilai-nilai Islam.
Mubadalah.id – Di tengah hiruk pikuk festival budaya modern, Borobudur Writers and Cultural Festival (BWCF) kembali menjadi oase bagi para pencinta seni dan budaya. Pada 20-21 November lalu, Keraton Kacirebonan menjadi saksi dari perjumpaan para seniman, penulis, peneliti, dan budayawan dari berbagai penjuru negeri.
Diskusi panel, ceramah umum, malam puisi yang syahdu, pemutaran film yang inspiratif, dan pertunjukan seni yang memukau, semuanya berpadu dalam harmoni yang memanjakan setiap yang hadir dalam festival tersebut.
Namun, ada satu momen yang tak terlupakan, yang mampu menyentuh relung hati terdalam para hadirin adalah pertunjukan Seni Brai Sekar Pusaka dari Desa Jamblang, Cirebon, yang menjadi penutup seluruh rangkaian acara.
Mengenal Seni Brai
Brai adalah kesenian tradisi Cirebon yang unik, sebuah perpaduan antara tembang, shalawat, dan dzikir yang bernafaskan tasawuf. Seni ini murni menjadi ditunjukan hanya kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW, diiringi alunan rebana yang khas.
Suara vokal yang dilantunkan secara berjamaah oleh para pria, dari generasi muda hingga tua, menciptakan suasana yang khusyuk dan penuh kedamaian.
Bagi masyarakat Cirebon, Brai bukan sekadar hiburan. Ia adalah warisan dakwah Sunan Gunung Djati, salah satu tokoh penyebar agama Islam yang paling dihormati di wilayah ini.
Lirik-lirik Brai sarat dengan pesan cinta kepada Allah SWT dan kerinduan kepada Nabi Muhammad SAW, mengajak pendengar untuk merenungkan makna kehidupan dan mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Dzikir Sewu dan Mumpung Urip
Salah satu tembang yang paling sering dibawakan dalam Brai adalah Dzikir Sewu. Secara bahasa, tembang ini berarti Seribu Dzikir, mengajak pendengar untuk memperbanyak mengingat Allah melalui dzikir.
Dalam konteks Brai, Dzikir Sewu sering diposisikan sebagai pembuka, sebuah ungkapan rasa syukur dan penghambaan kepada Sang Khalik.
Alunan dzikir yang syahdu mampu menenangkan hati dan membangkitkan rasa berserah diri. Serta mengingatkan bahwa hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram.
Dzikir ini berupa kalimat Thayyibah ini merujuk pada ucapan-ucapan yang baik dalam Islam, seperti La ilaha illallah.
Dalam Brai, tembang ini menjadi pengingat bagi manusia agar manusia menghiasi kehidupannya dengan kalimat-kalimat yang baik. Karena ucapan yang baik akan membimbing akhlak yang baik.
Tembang lain yang tak kalah populer adalah Mumpung Urip, yang berarti Selagi Masih Hidup. Lagu ini mengajak manusia untuk tidak menyia-nyiakan waktu yang telah diberikan oleh Allah SWT.
Hidup ini bukan sekadar berjalan tanpa tujuan, melainkan sebuah kesempatan untuk mengumpulkan bekal sebelum datangnya kematian. Mumpung Urip adalah pengingat yang kuat akan pentingnya memanfaatkan setiap detik kehidupan untuk berbuat kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Selain itu ada Ala Ing Alayar, tembang ini berbeda dengan Mumpung Urip, tembang ini menggunakan metafora perjalanan. Alayar ini merujuk pada bahtera atau kapal yang berlayar.
Hal ini menggambarkan kehidupan manusia yang berlayar di lautan dunia ini, dan masih banyak lagi tembang-tembangannya.
Warisan yang Harus Kita Rawat dan Jaga
Seni Brai adalah bukti nyata bahwa Sunan Gunung Djati melakukan dakwah Islam dengan cara yang lembut, toleran, dan membumi. Beliau tidak menghapus seni dan tradisi masyarakat Cirebon, melainkan memadukannya dengan nilai-nilai Islam.
Hal inilah yang menjadi ciri khas dakwah Wali Songo, para penyebar agama Islam di tanah Jawa yang penuh dengan kearifan dan kebijaksanaan.
Dalam pertunjukan Seni Brai Sekar Pusaka, kita melihat bagaimana dakwah melalui seni mampu menjaga keterpaduan antar generasi. Para pemain Brai, dari usia muda hingga tua, menunjukkan bahwa seni dapat menjadi jembatan yang menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Dengan begitu, Seni Brai bukan hanya sekadar kekayaan budaya Cirebon, melainkan juga warisan sejarah yang berharga. Ia adalah bukti nyata bagaimana Sunan Gunung Djati menyebarkan Islam melalui jalur tradisi dan budaya, yang menggabungkan pesan spiritual dengan pengalaman musikal.
Kemudian, sebagai generasi penerus, kita memiliki tanggung jawab untuk menjaga dan melestarikan seni Brai. Kita harus memastikan bahwa warisan dakwah Sunan Gunung Djati ini terus hidup dan menginspirasi generasi mendatang.
Dengan demikian, Seni Brai akan terus menjadi cahaya yang menerangi hati dan jiwa, membawa pesan cinta. Bahkan kedamaian serta keharmonisan bagi seluruh umat manusia. []












































