Mubadalah.id – Sebagai seorang Gen Z, saya merasakan betul bagaimana realitas sosial menuntut seseorang untuk segera sukses. Faktanya Gen Z menjalani hidup dengan santai, seimbang, dan lebih bermakna. Fenomena ini disebut dengan soft life, yaitu hidup yang pelan alias nggak ngoyo. Berbeda dengan generasi sebelumnya yang dominan dengan budaya kerja keras tanpa henti.
Bukankah melawan kekerasan harus dengan kelembutan? Seperti itulah soft life. Dunia ini sudah keras, maka hiduplah dengan lembut.
Mengenal soft life
Soft life merupakan reaksi dari kalangan Gen Z terhadap ritme kehidupan yang serba cepat dan penuh tekanan. Fenomena ini mendobrak hustle culture (budaya kerja keras). Awalnya, fenomena ini muncul saat pandemi Covid-19 mulai menyerang. Saat berbagai negara menerapkan lockdown, kehidupan sosial ikut melambat. Kondisi tersebut menjadi alarm yang mengingatkan manusia bahwa keseimbangan hidup sangatlah penting.
Masifnya tagar soft life di sosial media menjadi tombol refresh bagi setiap individu untuk mengubah mindset bahwa hidup gak harus ngebut. Sediakanlah ruang untuk self-care, mengenal diri, menikmati waktu santai tanpa merasa bersalah, dan menghargai hal-hal kecil yang ada di dalam hidup.
Soft life mengajarkan kita untuk lebih menyayangi diri sendiri. Tidak lagi memaknai kesuksesan sebatas materi maupun jabatan tinggi. Tapi juga kesejahteraan mental, waktu luang, dan menjalani hidup sesuai dengan keinginan.
Tidak sama dengan malas, hilang arah, atau yang sejenisnya. Soft life membantu seseorang menumbuhkan kesadaran untuk hidup lebih berkualitas dengan cara masing-masing. Kabar baiknya, mereka tidak lagi susah payah memenuhi ekspektasi sosial.
Selaras dengan nilai-nilai Islam, seorang mukmin harus menjaga keseimbangan hidup di dunia dan akhirat.
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
“Ya Allah, berikanlah kepada Kami kebaikan di dunia, berikan pula kebaikan di akhirat dan lindungilah Kami dari siksa neraka.” (QS. al-Baqarah : 201).
Seseorang yang menerapkan soft life akan merasa cukup dengan nikmat yang dimilikinya. Tidak harus kaya, melainkan cukup untuk memenuhi kebutuhan. Nggak harus kerja keras tanpa henti, melainkan memiliki quality time untuk keluarga. Tidak melulu lembur, melainkan ibadah tetap berjalan teratur.
Pentingnya menjaga kesejahteraan mental
Soft life dipilih Gen Z sebagai pendekatan dalam mengelola stres. Pada dasarnya stres adalah hal yang wajar, namun jika sudah berlebihan akan memengaruhi kualitas hidup seseorang. Menurut World Health Organization (WHO), stres merupakan kondisi di mana seseorang mengalami kekhawatiran atau tekanan mental karena situasi yang menyulitkan.
Sedangkan menurut survei CEOWORLD Magazine, Tingkat stres di Indonesia berada pada peringkat tujuh se-ASEAN. Dalam rentang 0-100, Indonesia memiliki skor 51,64. Dan menduduki urutan ke 119 di tingkat global.
Menjaga kesejahteraan jasmani dan rohani adalah wujud dari rasa syukur atas rahmat Allah. Nabi Muhammad Saw mengabarkan bahwa manusia seringkali melupakan kesehatan dan kesempatan yang pada akhirnya mereka akan merugi karena keduanya.
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
“Banyak manusia merugi karena dua nikmat, kesehatan dan waktu luang.” (HR al-Bukhari).
Jantungnya soft life adalah menentukan batasan atau boundaries. Yaitu memberi batasan terhadap segala sesuatu agar berjalan seimbang dan berirama. Gak melulu harus produktif, soft life memberikan jeda untuk istirahat sejenak sembari mendengarkan apa yang benar-benar tubuh (jiwa raga) butuhkan.
Selain itu, Gen Z cenderung memilih pekerjaan yang sesuai dengan minat dan passion mereka. Alih-alih mencari gaji besar, mereka lebih memilih keseimbangan antara mental dan finansial. Jika kita membicarakan pekerjaan, nilai kepuasan tidak hanya materi namun juga lingkungan yang sehat serta partner yang bisa diajak tumbuh bersama.
Pada akhirnya soft life membantu kita untuk berhenti sejenak menata ulang hal-hal yang berantakan dalam hidup. Perasaan yang menyakitkan diberi waktu untuk sembuh dan kembali tumbuh. Pikiran yang lelah memiliki kesempatan untuk kembali jernih. Sekali lagi, gakpapa jeda sesaat untuk mengingat kembali tujuan hidup dengan pijakan yang lebih kokoh. Sebelum terlambat, mari sayangi diri sendiri. []












































