Mubadalah.id – Perempuan lajang yang tidak segera menikah di usia matang akan disebut sebagai “perawan tua” atau “perempuan tak laku”. Kadang juga dianggap sebagai perempuan yang pemilih atau jual mahal, makanya tak segera mendapatkan pasangan. “Perawan tua” dan “perempuan tak laku” adalah stigma atau ciri negatif yang diberikan masyarakat pada perempuan lajang.
Masyarakat di sebagian Negara Asia masih memandang rendah para lajang. Jika di Indonesia kita mengenal istilah “perawan tua” dan “perjaka tua”, di Tiongkok perempuan lajang disebut “perempuan sisa” dan lelaki lajang disebut “lelaki ranting”. Sementara di China, perawan tua disebut shengnu dan di Jepang disebut kue Natal.
Teman saya pernah dibilang “Buruan menikah, nanti jadi perawan tua” dan “Jangan terlalu pilih-pilih” karena masih menjomblo di usia 29 tahun. Dia menjadi sedih dan menyalahkan diri sendiri mendengar ucapan tetangganya itu. Padahal keluarga intinya tidak menekannya untuk segera menikah dan dia menikmati pekerjaannya sekarang.
Teman saya yang lain mengatakan bahwa menikah seolah menjadi solusi atas segala permasalahan, bagi orangtuanya. Dia dituntut untuk menguruskan badannya agar ada laki-laki yang mau menikahinya. Mengapa seolah pernikahan adalah suatu pencapaian?
Menurut Karel Karsten Himawan, dosen Psikologi Universitas Pelita Harapan, masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang sangat obsesif terhadap pernikahan. Dalam tulisannya di The Conversation, Karel mengatakan bahwa menikah dianggap sebagai satu-satunya cara bagi orang dewasa untuk mendapatkan kepuasan hidup yang sejati. Bahkan pernikahan sering dianggap sebagai tolok ukur kedewasaan, bukan hanya dalam hal usia, tetapi juga mental dan karakter.
Akibatnya, orang dewasa lajang akan mendapatkan stigma sosial. Istilah “perawan tua” dan “perjaka tua” dipandang negatif dan dijadikan bahan bercanda untuk merendahkan mereka. Agar mereka segera menikah. Perempuan lajang yang belum menikah di atas usia 25 tahun akan dianggap egois, terlalu pemilih, dicurigai orientasi seksualnya dan dianggap jual mahal.
Suami senior saya pernah mengatakan kepada saya, “Kamu sih terlalu pemilih”. Padahal saya tidak akrab dengan dia. Dia juga bercerita tentang Kakak perempuannya yang masih lajang di usia 40 tahun. Dia bilang, “Kasihan Kakakku, sibuk bekerja gak mikirin nikah. Meski pekerjaan lancar tapi belum sukses”. Baginya, tolok ukur kesuksesan seseorang adalah pernikahan.
Selain itu, teman perempuan saya pernah mempertanyakan orientasi seksual saya. Dia bercanda tentang kemungkinan saya menjadi lesbian karena betah menjomblo bertahun-tahun. Sebenarnya saya tidak berhutang penjelasan padanya, tapi akhirnya saya mengatakan bahwa saya cis hetero.
Teman perempuan saya dicap sebagai “perempuan tidak sempurna” oleh gurunya karena belum menikah di usia 23 tahun. Bagi sebagian orang, pernikahan adalah tolak ukur kesempurnaan perempuan. Sehingga perempuan yang belum menikah dipandang rendah dan tidak sempurna.
Ada juga seorang netizen di Twitter yang bercerita bahwa dia adalah perempuan lajang berusia 33 tahun. Dia mengatakan bahwa orangtuanya mendukungnya untuk melanjutkan kuliah S2 dan tidak menuntutnya untuk segera menikah. Orangtuanya ingin dia menikmati hidup dan berbahagia. Namun netizen lain justru mengatakan “jangan terlalu egois” karena pilihan hidupnya tersebut.
Saya heran, mengapa seseorang yang menikmati hidupnya dan didukung oleh orangtuanya, disebut terlalu egois? Padahal dia tidak merugikan siapapun. Tak ada salahnya mementingkan diri sendiri. Ini adalah salah satu stigma yang mungkin dihadapi perempuan lajang lainnya.
Masyarakat menentukan definisi dan standar kesempurnaan perempuan berdasarkan pernikahan. Perempuan lajang, terus-menerus disalahpahami dan dituntut untuk segera menikah tanpa tahu kondisi dan kebutuhan mereka.
Menurut Ester Lianawati, kehidupan lajang perempuan sendiri mungkin tidak membuat mereka tertekan, justru bisa menjadikan kehidupan mereka sangat memuaskan. Jika saja masyarakat tidak memberikan stigma, perempuan lajang akan bisa menikmati hidupnya tanpa tekanan harus segera menikah.
Stigma dan tuntutan menikah akan membuat keputusan perempuan untuk menikah hanya karena tekanan orangtua dan masyarakat. Padahal mungkin dia belum siap dan belum yakin terhadap calon suaminya. Tapi masyarakat terus membombardir dengan pertanyaan “Kapan nikah?”, “Masih nunggu apa lagi?”, dst.
Stigma dan pertanyaan “Kapan menikah” membuat perempuan terburu untuk segera menikah. Perempuan akan segera menikah agar dapat dianggap sempurna padahal mungkin belum siap secara fisik, psikis, finansial dan sosial.
Di haloibu, ada perempuan berusia 23 tahun yang bercerita bahwa suaminya tidak pernah menafkahinya sejak pernikahan hingga sekarang memiliki seorang anak. Dia memiliki beban ganda sebagai tulang punggung keluarga sekaligus menjalankan peran domestik.
Padahal menikah bukan satu-satunya pilihan yang dapat dipilih perempuan dewasa dalam hidup. Perempuan masih dapat terus belajar, bekerja, menggali potensinya dan melakukan hal-hal besar dalam hidupnya. Stigma hanya akan menjadi penghalang bagi perempuan lajang untuk mengembangkan diri dan menemukan jati dirinya.
Stigma sosial pada perempuan lajang tentu saja merugikan. Perempuan yang tidak dapat memenuhi standar masyarakat akan dianggap dan merasa menjadi perempuan gagal. Hal ini berpotensi bagi perempuan untuk menurunkan harga dirinya dan menerima siapapun lelaki yang mau menikah dengannya.
Selain itu, stigma pada perempuan lajang menjadikan perempuan memiliki gambaran diri yang negatif karena dianggap tidak sempurna. Mereka juga menjadi terisolasi dan memberi jarak pada lingkungan sosialnya. Mereka menjadi tidak nyaman bergaul dengan orang lain karena topik seputar pernikahan akan terus dipertanyakan. Sehingga memilih untuk menghindar. []