Mubadalah.id – Dalam banyak pemikiran fikih klasik, identitas perempuan kerap dilekatkan pada tubuh dan sensualitasnya. Tubuh perempuan diposisikan sebagai sumber fitnah yakni sesuatu yang dianggap menggoda dan bisa menjerumuskan laki-laki dalam dosa. Akibatnya, tubuh perempuan tak hanya menjadi objek penilaian moral, tapi juga harus dijinakkan dan dikendalikan.
Bahkan, relasi suami istri dalam konstruksi fikih klasik menunjukkan betapa kuatnya pandangan subordinatif terhadap perempuan. Kewajiban utama istri sering kali direduksi hanya pada pelayanan seksual kepada suami.
Sebuah hadis yang dari at-Tirmidzi, misalnya, menyatakan bahwa istri harus memenuhi ajakan suami untuk berhubungan intim, meskipun ia sedang di dapur atau di atas punggung unta (Sunan Tirmidzi, no. hadis 1160).
Dalam riwayat al-Bukhari bahkan menyebutkan bahwa jika seorang istri menolak ajakan suami. Maka ia akan mendapat laknat dari malaikat sampai pagi (Shahih Bukhari, no. hadis 3065 dan 4898).
Teks-teks keagamaan semacam ini telah melanggengkan pandangan bahwa tugas utama perempuan dalam pernikahan adalah menyediakan tubuhnya untuk laki-laki nikmati.
Kisah Rabi’ah al-Adawiyah, yang tiap malam berhias dan menawarkan tubuhnya kepada suami, meskipun dalam konteks spiritualitas, juga kerap menjadi rujukan tentang idealitas peran istri yang patuh dan siap sedia secara seksual.
Dalam struktur fikih klasik, hasrat seksual perempuan pun menjadi pasif. Ia tidak memiliki ruang untuk mengaktualisasikan atau mengekspresikan keinginannya.
Bahkan hak perempuan atas layanan seksual suami sering kali diperdebatkan dengan batas-batas yang ditentukan oleh kemampuan atau waktu yang dimiliki laki-laki.
Sebagian ulama menyebut layanan itu sah jika ia berikan satu kali dalam empat hari, sebulan sekali, bahkan ada yang menyebut hanya sekali selama masa pernikahan. Alasannya karena seks tak bisa laki-laki paksakan, dan jika tak ada gairah, penis tidak akan bisa ereksi.
Ketimpangan terhadap Perempuan
Ketimpangan ini menunjukkan betapa seksualitas perempuan tidak menjadi bagian dari hak kemanusiaan yang utuh. Tubuhnya hanya dalam relasi tunduk patuh kepada laki-laki, entah sebagai istri, atau sebagai potensi penggoda publik.
Pemikiran keagamaan bahkan menyebut bahwa potensi fitnah ada di dalam diri perempuan. Oleh karena itu, muncul anjuran agar perempuan tidak keluar rumah, karena setiap langkahnya akan ada setan yang mengikutinya.
Dalam salah satu hadis disebutkan, “Shalat perempuan yang paling dicintai Allah adalah di tempat yang paling gelap di dalam rumahnya” (Riwayat Ibn Khuzaimah dan al-Baihaqi). Sementara dalam riwayat lain, shalat perempuan di rumahnya dianggap lebih baik dari shalat di masjid Nabi sendiri (Riwayat Ahmad VI/371).
Logika perlindungan ini, di satu sisi tampak melindungi perempuan. Tapi di sisi lain, justru menempatkannya sebagai sumber masalah moral masyarakat. Perempuan menjadi ‘beban sosial’ yang harus laki-laki kendalikan, bukan subjek utuh yang memiliki kehendak, akal, dan hak spiritual yang setara.
Pandangan-pandangan fikih seperti ini menuntut kita untuk melakukan peninjauan ulang secara kritis. Seperti Dr. Faqihuddin Abdul Kodir jelaskan dalam bukunya Pertautan Teks dan Konteks dalam Muamalah, ajaran fikih lahir dari konstruksi sosial dan budaya tertentu yang bersifat patriarkal.
Maka, pembacaan ulang teks agama dengan mempertimbangkan konteks zaman, perspektif kesetaraan gender, serta hak-hak dasar kemanusiaan, menjadi sangat penting.
Tanpa pembacaan ulang, tubuh perempuan akan terus menjadi arena pertarungan tafsir yang tidak adil. Dan agama, yang semestinya menjadi sumber keadilan, justru berisiko melanggengkan ketimpangan. []