Mubadalah.id – Beberapa waktu yang lalu, terjadi bom bunuh diri, bagian dari gerakan ekstremisme, yang melibatkan pasangan muda di Makassar. Selang beberapa hari, terjadi serangan di Mabes Polri yang melibatkan perempuan muda. Sejumlah organisasi perempuan menggagas Open Mic aksi solidaritas korban teror.
Menurut salah satu penggagas acara tersebut, Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Mike Verawati menjelaskan, sebanyak 21 organisasi dan 35 pembicara perempuan yang akan hadir dalam agenda tersebut untuk membuat pernyataan secara tegas melawan bentuk gerakan ekstremisme dan aksi teror apapun yang jelas merugikan rakyat Indonesia, khususnya perempuan dan anak-anak.
“Kami sangat empati kepada korban, dan mendukung pemerintah memberikan bantuan medis, psikologis, dan pemulihan jangka panjang. Kami juga sangat prihatin, bahwa teror gerakan ekstremisme ini berhasil menyebarkan ketakutan pada seluruh warga Indonesia,” ungkapnya dalam rilis, Jumat (2 April 2021).
Open Mic ini, lanjut dia, diharapkan bisa membantu meluruskan pandangan yang menyalahkan perjuangan kesetaraan gender, sebagai inspirasi keterlibatan perempuan. “Perjuangan kesetaraan gender bertujuan untuk memberdayaan perempuan, bukan sebaliknya membunuh perempuan,” tegasnya.
Di tempat yang bersamaan, salah satu penggagas acara tersebut, Direktur AMAN Indonesia Ruby Kholifah mengatakan bahwa pihaknya khawatir pada sektor keamanan yang masih meremehkan perempuan sebagai teroris. Ini mengapa penting persepktif gender harus dipakai, agar lebih jeli melihat pelibatan perempuan dalam gerakan ekstremisme.
“Sulitnya mendeteksi gejala terorisme juga kemungkinan besar karena tanda-tanda fisik tidak berlaku. artinya, aparat negara perlu lebih menguasai ciri-ciri non fisik. Ini artinya tidak cukup sekedar sosialisasi tapi cara baru,” ungkapnya.
Selanjutnya dikatakan oleh Ruby, sudah saatnya pemerintah dan keamanan memperkuat Pengarusutamaan gender (PUG) agar bisa membaca kasus gerakan ekstremisme dan terorisme lebih luas. “Jika pelaku laki-laki, maka membaca juga situasi istri dan anak dalam proses radikalisasi. Jika perempuan pelaku, penting melihat bagaimana gender pathway dalam radikalismenya, yang memungkinkan perkawinan menjadi pintu masuk,” pungkasnya. []