Mubadalah.id – Bagaimana menjawab pertanyaan jika ditanya tentang tafsir bismillah dari perspektif mubadalah? Bismillahirrahmanirrahim biasa disebut kalimat Basmalah, atau dikenal di Indonesia sebagai Bismillah. Ia termasuk kalimat yang paling banyak diucapkan umat Islam. Pada momen-momen ritual seperti shalat, kegiatan sosial, maupun kebiasan individual sehari-hari. Jika kita asumsikan hanya 5% dari jumlah total umat Islam Indonesia yang taat secara ritual, Bismilah bisa dibaca sebanyak 250 juta kali dalam sehari. Di seluruh dunia, sebanyak 1,7 miliar kali diucapkan dalam sehari, jika hanya 2% saja dari jumlah total umat Islam dunia yang taat ritual.
Lafaz Bismillah dalam Al-QUran
Bismilah terdiri dari lima kata. Satu kata sambung (baa’), dua kata benda (Ism dan Allah) dan dua kata sifat (ar-Rahman dan ar-Rahim). Dalam tulisan yang lazim, tanpa huruf alif setelah huruf baa’ di awal, Bismilah terdiri dari sembilan belas huruf. Sebuah jumlah yang sama dengan tentara-tentara Allah Swt, sembilan belas malaikat, yang disebut Surat al-Muddatsir (QS. 74: 30). Sebagaimana tentang para malaikat ini, yang penting bukanlah jumlah angka maupun hurufnya, tetapi pelajaran yang bisa dipetik bagi kita. “Hal itu, tidak lain, kecuali untuk pelajaran bagi manusia”, kata QS. Al-Muddatstsir, 74: 31.
Pelajaran, atau kata “dzikrā” (ذكرى) dalam ayat ini, asalnya berarti ingatan dan memori. Lalu diartikan peringatan dan pelajaran, karena menjadi sesuatu yang dirujuk sebagai ingatan bersama. Demikianlah yang ingin kita dapatkan dari kalimat Bismilah ini. Sebuah makna yang bisa menjadi pelajaran, atau panduan ingatan kita bersama dalam mengarungi kehidupan ini. Ingatan pada makna-makna yang sesungguhnya terkandung dalam kalimat Bismilah itu sendiri.
Tafsir Bismillah
Bismillaahirrahmaanirrahiiim (بسم الله الرحمن الرحيم). Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Ini terjemahan yang biasa kita dengar. Kita sering mengucapkan Bismilah ini dan kita memahami terjemahannya. Tetapi apa maknanya ketika kita ucapkan? Harapan apa yang terbersit dalam hati ketika kita mengungkapkan kalimat ini? Rasa apa yang terpatri ketika kita menyatakan kalimat ini?
Tepatnya, ingatan (dzikraa) apa yang kita tanamkan dalam otak, hati, maupun perilaku sehar-hari agar ia menjadi panduan kita dalam mengelola kehidupan ini, untuk mewujudkan kebaikan-kebaikan dan kebahagiaan?
Inilah yang lebih penting dari sekedar rangkaian huruf, kata, maupun ucapan. Sebuah dzikraa dalam kehidupan yang memandu kita agar selalu berbuat sesuatu yang membuat kita bersama-sama memperoleh kebaikan dunia (hasanah fid dunyaa) dan kebaikan akhirat (hasanah fil akhirah). Seperti yang disarankan Allah Swt dalam doa kita sehari-hari: rabbanaa aatinaa fid-dunyaa hasanah wa fil aakhirati hasanah (QS. Al-Baqarah, 2: 201).
Baa’ (ب) di awal Bismilah sendiri dalam Bahasa Arab bukan kata, tetapi huruf jarr (yang membuat kata setelahnya dibaca jarr). Bahasa Indonesia menterjemahkanya menjadi “dengan”, yaitu kata sambung antara kata sesudahnya (ismullaah) dengan kata sebelumnya yang implisit (misalnya: saya memulai). Di antara makna implisit, menurut Imam asy-Syawkani (w. 1250 H/1839 H) dalam Tafsir Fath al-Qadir, adalah makna isti’anah dan mushahabah (Fath al-Qadir, juz 1: 13).
Isti’anah berarti meminta tolong kepada Allah Swt yang memiliki sifat-sifat yang tersebut dalam Bismilah. Saya meminta tolong kepada Allah Swt dengan Nama-Nya yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sunan Abu Dawud mengisahkan sebuah kejadian tentang hal ini. Ada seorang sahabat yang untanya mogok tidak mau berjalan. Lalu ia kesal: “Dasar setan jahat”, umpatnya. Nabi Saw mendengar, menoleh, dan memberi saran: “Kalau kamu lihat untamu mogok, jangan berkata demikian. Karena hal itu justru akan membuatmu tambah berat dan untamu tambah sulit berjalan. Baiknya bacalah: bismillahirrahmanirrahim, insya Allah akan lebih ringan, dan untapun mau kembali berjalan”. (Sunan Abu Dawud, no. hadits: 4984).
Mushahabah berarti mempertemukan (mushāhabah) antara apa yang akan dilakukan dengan apa yang diucapkan di dalam Bismilah. Kita tahu seseorang mengucpakan Bismilah ketika mau melakukan sesuatu. Nah, mushahabah berarti mengaitkan antara makna-makna yang terkandung di dalam Bismilah tersebut dengan yang kita lakukan sehari-hari, baik dalam bentuk ucapan, perbuatan, bahkan pikiran.
Setidaknya ada dua makna utama dalam Bismilah. Yaitu kasih dan sayang. Ini terkandung dalam kata “ar-Rahman” (Maha Pengasih) dan kata “ar-Rahim” (Maha Penyayang) sebagai dua sifat Allah Swt. Satu makna lagi terkandung dalam kata “ismun” (اسم), yang biasa diterjemahkan “nama”. “Ismullah” (اسم الله) berarti nama Allah Swt. Dalam bahasa Arab, kata ini berasal dari kata “wa-s-mun” (وسم) yang berarti tanda atau nama. Tetapi juga bisa dari kata “su-mu-wun” (سمو) yang berarti keagungan. Jika makna kedua yang dipakai, maka ada tiga makna dalam Bismilah. Keagungan, kasih, dan sayang.
Satu kata lagi adalah “Allah” itu sendiri yang merupakan nama dari Tuhan yang kita sembah, yang memiliki ketiga sifat tersebut, Agung, Pengasih dan Penyayang. Jika ketiga makna ini kita resapi dalam diri kita, akal kita, sikap dan perilaku kita, maka artinya adalah sebuah doa agar kita selalu dilindungi Allah Swt yang Maha Agung, Pengasih dan Penyayang.
Bismillah dalam Konteks Doa
Dalam konteks doa kepada Allah Swt untuk kebaikan kita di dunia dan akhirat, Bismilah adalah permohonan agar Allah Swt menurunkan sebagian dari ketiga sifat ini dalam kehidupan kita sehari-hari dan untuk kehidupan akhirat nanti. Ditolong dengan kekuatan-Nya. Dimuliakan oleh keagungan-Nya. Dikasihi dari kasih-Nya. Juga disayangi dari sayang-Nya. Pertolongan, keagungan, kasih dan sayang, untuk kebaikan kita di dunia (fid dunya hasanah) dan akhirat (fil akhirah hasanah).
Melalui Bismillah, kita berharap agar kehidupan kita penuh keagungan dan kemuliaan. Memiliki martabat dan kehormatan. Tidak direndahkan, dihina, atau dilecehkan. Tentu saja harapan kita ini, baru relevan, dalam perspektif mubadalah, jika kita sendiri juga melakukan hal-hal yang bermartabat dan terhormat. Baik kepada diri kita maupun kepada orang lain. Jika kita ingin dihormati siapapun, kita juga harus menghormati orang lain. Jika kita tidak ingin disakiti siapapun, dihina siapapun, dicaci siapapun, dari kelompok, golongan, bangsa, atau agama manapun, maka kita juga tidak melakukanya kepada siapapun.
Kita juga berharap memperoleh kasih dan sayang-Nya. Jika konsisten dengan harapan ini, kita juga harus selalu mewujudkan tatanan kehidupan dan relasi sosial antar sesama dengan nilai dan prinsip kasih sayang. Kita siap untuk disayangi dan bersedia untuk menyayangi. Kata-kata, sikap, perilaku, bahkan kebijakan sosial politik kita harus benar-benar mencerminkan nilai dan prinsip kasih sayang. Kita tidak bisa berharap atau menuntut pada orang lain, komunitas, atau bangsa lain untuk berbuat baik pada kita, sementara kita sendiri tidak mau melakukannya kepada mereka.
Ketika sahabat Mu’adz bin Jabal ra bertanya kepada Rasulullah Saw: Amal apakah yang merupakan representasi keimanan yang paling sempurna? Rasul Saw menjawab: “Cintailah sesuatu yang baik bagi semua manusia, sebagaimana kamu mencintai sesuatu yang baik bagi dirimu, dan bencilah sesuatu yang memperburuk mereka, sebagaimana kamu membenci sesuatu yang memperburuk dirimu”. (Musnad Ahmad bin Hanbal, no. hadits: 2258 dan 22560).
Dalam riwayat lain, saling mencintai sesama manusia ini disebut Rasul Saw sebagai amal yang akan memudahkan kita masuk surga dan menjauhkan kita dari neraka. Ia dideretkan bersama shalat, zakat, puasa, dan haji. Seakan menjadi bagian dari rukun Islam (Musnad Ahmad bin Hanbal, no. hadits: 16130).
Tafsir Bismilah dari Perspektif Mubadalah
Dus, Bismilah adalah soal ingatan pada keagungan, kehormatan, dan kasih sayang. Kita mengucapkannya berkali-kali dalam berbagai momen kehidupan, agar makna-makna ini menjadi energi positif yang ikut mendorong berbagai kekuatan melahirkan kebaikan-kebaikan dalam kehidupan kita bersama. Kita mengucapkanya agar mengingatnya. Kita mengingatnya agar menjadi panduan hidup kita. Kita mengucapkanya agar kita melakukanya. Kita melakukanya agar makna-makna keagungan dan kasih sayang benar-benar wujud dalam kehidupan kita.
Seseorang yang mengawali ikatan pernikahan dengan bismilah, ia tidak hanya berharap dihormati, disayang dan dicintai. Tetapi juga mengerahkan seluruh kemampuannya untuk selalu menghormati pasangannya, menyayangi dan mencintai. Laki-laki kepada istrinya, dan perempuan kepada suaminya.
Seseorang yang mengawali bismilah dala transaksi bisnisnya, tidak hanya berharap memperoleh keuntungan dan kebaikan, tetapi juga memberikan hal yang terbaik kepada mitra bisnisnya. Begitupun ketika kita membuat pernyataan tertentu, melakukan tindakan tertentu, atau melahirkan kebijakan tertentu. Bismalah adalah panduan yang mengingatkan kita agar selalu berbuat yang bisa melahirkan kehormatan dan kebaikan bersama, serta saling menyayangi satu sama lain.
Bismilah menjadi peringatan (dzikra) bagi kita semua, agar pernyataan yang kita ucapkan, status Facebook yang kita tuliskan, atau komentar yang kita pasang terhadap pernyataan orang lain, tidak mengandung kebencian, kedengkian, caci maki, umpatan, dan segala perkataan buruk yang bertentangan dengan nilai kehormatan dan kasih sayang. Begitupun segala perbuatan kita, dimana kita disarankan untuk selalu membaca bismilah, adalah untuk memastikannya kembali pada kebaikan kita dan semua orang di sekeliling kita dan penduduk dunia, termasuk untuk alam semesta (rahmatan lil ‘alamin).
Bismilah akan bemakna dalam hidup kita, jika kita benar-benar saling mengasihi, saling menyayangi, dan saling menghormati. Baik dalam kehidupan keluarga, antara suami (laki-laki) dan istri (perempuan), antara orang tua dan anak, atau antara saudara, dan seluruh anggota keluarga. Begitupun dalam kehidupan bermasyarakat, antara berbagai kelompok yang berbeda posisi sosial, kelompok, golongan, suku, maupun agama. Saling menghormati dan saling menyayangi adalah kunci untuk bisa bahagia dan membahagiakan. Di dunia maupun akhirat. Wallahu a’lam.