• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hikmah

Tak ada yang Mati, Kita Semua hanya Meninggal(kan) Dunia

Rumi; Perpisahan hanya bagi mereka yang mencintai dengan bola mata, mereka yang mencintai dengan ruh dan hati tak akan pernah berpisah

Rizki Eka Kurniawan Rizki Eka Kurniawan
18/10/2021
in Hikmah
0
Korban

Korban

205
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Beberapa bulan yang lalu, di saat virus corona sedang gempar-gemparnya malanda berbagai daerah di Indonesia. Hampir setiap hari saya mendapat berita duka dari siaran masjid di desa, ataupun melalui sosial media. Tak jarang pula, di pagi hari yang buta, siaran di masjid telah memberitahu saya bahwa ada satu dua orang yang telah meninggal dunia.

Virus corona memang telah merenggut banyak nyawa, membuat beberapa dari kita merasakan lara akan kehilangan orang yang kita cinta. Keterpisahan membuat perasaan sedih dan takut bercampur aduk. Meskipun kita telah dewasa, dan sudah berpengalaman untuk menghadapi keterpisahan sebelumnya. Tetapi tetap saja, jiwa kita tak pernah siap jika harus kembali dihadapkan dengan keterpisahan. Apalagi, jika keterpisahan itu adalah untuk selama-lamanya.

Hidup rasanya seperti berada di kamp konsentrasi, di mana bayang-bayang kematian terasa sangat dekat dengan diri kita. Kematian seakan selalu mengintai kita di mana pun kita berada. Kematian bisa datang tiba-tiba dan kita tak pernah tau tepat kapan waktunya. Sebagaimana yang di katakan oleh Imam Al-Ghazali bahwa sesuatu yang paling dekat dengan diri kita adalah mati.

Kita tak akan pernah bisa lari dari kematian, karena kematian itu pasti. Sebagaimana yang tertulis dalam al-Qur’an: kullu nafsing zaaa-iqotul mauut (Setiap yang bernyawa (pasti) akan merasakan mati.)

Hal tersebut membuat saya bertanya-tanya akan apa makna hidup kita yang sebenarnya?

Baca Juga:

Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

Mengapa Waktu Berlalu Cepat dan Bagaimana Mengendalikannya?

Hal-hal yang Tak Kita Hargai, Sampai Hidup Mengajarkan dengan Cara yang Menyakitkan

Ayat-ayat Al-Qur’an yang Menjelaskan Proses Perkembangan Janin dan Awal Kehidupan Manusia

Jika pada akhirnya suatu saat kita akan merasakan mati, apakah keberadaan kita di dunia memiliki makna tersendiri?

Dan bagaimana kita harus memaknai kematian?

Beruntung, saya menemukan satu definisi yang lebih baik untuk memaknai kematian yang saya dapatkan dari salah satu karya Rene Descartes, The Passions of The Soul: “Kematian tidak pernah datang karena rusaknya jiwa, namun karena suatu bagian tubuh penting mengalami kerusakan”.

Dalam al-Qur’an keabadian jiwa juga dijelaskan: kholidina fiha abada (Kekal di dalamnya). Jiwa tercipta abadi, tapi tubuh rentan mengalami kerusakan dan bisa mati. Kematian hanyalah fase tranformasi jiwa menuju alam akhir. Tidak ada satu pun manusia yang mati sebenarnya, yang ada hanyalah manusia yang meninggal(kan) dunia.

Keabadian jiwa juga dituliskan oleh Muhyiddin Ibnu Arabi dalam salah satu magnum opusnya yang terkenal Fushuhs al-Hikam: “Ia adalah manusia, fana dalam bentuknya, abadi dalam esensinya”

Para sufi lain seperti Maulana Jalaluddin Rumi pun berpendapat demikian, bahwa kematian sejatinya tidak ada. Ia hanya bagian dari perubahan semesta. Kematian hanya merupakan tipuan dari mata. Seluruh panca indera kita menipu kita dengan memberikan kesan perpisahan yang sesungguhnya tak ada.

Dalam salah satu syairnya, Rumi menggambarkan ketiadaan kematian dan keterpisahan dengan begitu indah:

“Perpisahan hanya bagi mereka yang mencintai dengan bola mata, mereka yang mencintai dengan ruh dan hati tak akan pernah berpisah”

Karena sejatinya, ruh dan hati merupakan esensi dalam kehidupan yang tak akan pernah binasa. Berbeda dengan bola mata dan panca indera lainnya, mereka akan berhenti saat pemiliknya mati. Bahkan Imam Al-Ghazali menegaskan dalam Kimiya’us Sa’adah (Kimia Kebahagiaan) bahwa pada saat meninggal kenikmatan hati akan semakin besar dan sinarnya semakin benderang.

Tubuh manusia memang rentan mengalami kerusakan. Oleh karena itu manusia diharuskan untuk selalu merawat dan menjaga tubuhnya dari segala ancaman dan penyakit. Manusia juga diharuskan untuk selalu menyucikan hatinya, karena hati adalah entitas yang akan dibawa hingga mati.

Kita memang tak pernah bisa menentukan kapan kita akan mati, tapi kita bisa menentukan dalam kondisi apa kita akan mati nantinya.

Dan, pada akhirnya kita akan tersadar, jika kehidupan sejatinya tak pernah berhenti. Bahkan ketika tubuh kita telah mati, jiwa kita masih akan terus melanjutkan perjalanan dari alam barzakh menuju ke surga. []

Tags: Covid-19Hikmahkehidupankematianmanusia
Rizki Eka Kurniawan

Rizki Eka Kurniawan

Lahir di Tegal. Seorang Pembelajar Psikoanalisis dan Filsafat Islam

Terkait Posts

KB

KB dalam Pandangan Riffat Hassan

20 Mei 2025
KB

KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

20 Mei 2025
KB dalam Islam

KB dalam Pandangan Islam

20 Mei 2025
Bersyukur

Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

19 Mei 2025
Pemukulan

Menghindari Pemukulan saat Nusyuz

18 Mei 2025
Gizi Ibu Hamil

Memperhatikan Gizi Ibu Hamil

17 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Bangga Punya Ulama Perempuan

    Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman
  • Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version