Pada peringatan ulang tahun Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya yang ke-115, pihak panitia mengagendakan serangkaian acara seperti yang telah menjadi tradisi sejak pesantren ini berdiri. Pandemi Covid-19 yang masih mewabah menyebabkan kegiatan-kegiatan dilakukan sesuai dengan protokol kesehatan yang ketat, bahkan seminar internasional yang biasanya diadakan di gedung Sukriya Bakti pun dilakukan secara daring.
Kendati demikian, acara tetap khidmat dengan dihadiri lima pembicara yang berasal dari dalam dan luar negeri, yakni Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Mohamed Ali dari Singapura, Dr. Abdul Manan bin Muhammad dari Malaysia, Prof. Dr. Sri Mulyati dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Dr. Acep Iwan Saidi dari Institut Teknologi Bandung.
Seminar internasional yang didukung oleh IAILM, STIELM, dan Pusat Kajian Tasawuf ASEAN (PTKA) ini mengusung tema Tasawuf, Globalisme, dan Tantangan Modernitas. Tema ini dianggap penting, sebagaimana disampaikan oleh Dr. Asep Salahudin. MA (selaku ketua PTKA), karena merupakan nilai dan semangat yang selalu diajarkan oleh Abah Anom, agar tarekat dapat dihayati dan diamalkan sepanjang masa untuk mewujudkan dan menampilkan Islam sebagai agama yang ramah bagi seluruh alam.
Rektor IAILM, Dr. R. Iwan Prawiranata, MA, MIB, Ph.D, juga menyampaikan hal yang serupa, baginya tema ini merupakan tema yang penting untuk mempromosikan tema-tema agama yang mendamaikan dan menyebarkan kasih sayang, sebagaimana yang diajarkan dalam tarekat, bukan agama yang mengajarkan kekerasan dan perpecahan. Baginya, dengan mengutip Ranggeuyan Mutiara Abah Anom, di sinilah Tasawuf memiliki peran yang strategis untuk menciptakan kondisi bangsa yang harmonis dalam menjawab segala tantangan modernitas zaman.
Sebagai pembicara pertama, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA menyampaikan materi tentang “Jaringan Ulama, Jaringan Sufi, Neo-Sufisme, dan Islamisasi Kepulauan Nusantara”. Islamisasi di nusantara baginya bukan dilakukan oleh para pedagang Gujarat, melainkan oleh para sufi yang mengembara dari satu ke tempat lainnya dan melakukan konversi terhadap raja nusantara.
Kemudian raja-raja tersebut menjadikan kerajaannya sebagai pusat Islamisasi (termasuk menjadi pusat keilmuan bersama para ulama) dan diikuti oleh para warga. Islamisasi yang dilakukan oleh para sufi ini memiliki corak yang istimewa, mereka mengajarkan Islam yang inklusif dan akomodatif. Pada mulanya, bagi para sufi ini yang penting adalah para raja ini sudah mengucapkan dua kalimah syahadat, walaupun mereka masih menjalankan praktek-praktek pra-Islam. Para sufi dapat menerima sinkretisme yang tercipta dengan disesuaikan dengan ajaran agama, sebagaimana yang dilakukan oleh para Wali Songo.
Selanjutnya, jaringan ulama global yang berpusat di Makkah dan Madinah sejak abad 15 membawa tarekat hingga ke Haramayn dan menyebarkan isnad-isnad tarekat ke berbagai belahan dunia. Jaringan-jaringan ulama abad 17 juga memiliki peran pada keberadaan faqih dan sufi yang memainkan peran penting dalam Islam dan tajdid yang mengarahkan pada ortodoksi Islam di nusantara.
Tentunya banyak sekali ulama yang berada dalam jaringan ini, sebut saja Nur al-Din al-Raniri (w. 1068 H, yang merupakan mursyid dari tarekat Rifa’iyah, Aydarusiyah, dan Qadiriyah); ‘Abd al-Ra’uf al-Sinkili (w. 1615 H, beliau merupakan ulama yang merestui perempuan dapat menjadi penguasa/sultanah dan juga mursyid tarekat Syattariyah, Nasyabandiyah, dan Qadiriyah); Yusuf al-Maqassari (w. 1627 H, beliau adalah mursyid tarekat Khlawatiyah dan Naqsyabandiyah yang diambil menantu oleh Sultan Ageng Tirtayasa Banten.
Pada abad 18, ulama yang terdapat dalam jaringan ulama nusantara di antaranya ialah: ‘Abd al-Samad al-Palimbani, Muhammad Arsyad al-Banjari, Muhammad Nafis, dan lainnya. Adapun pada abad 19, ulamanya lebih keras, karena mereka lahir pada masa transisi, yakni masa-masa semangat melepaskan diri dari belenggu penjajah, seperti Ahmad Rifa’i Kalisalak, Ahmad Khatib al-Sambasi, Nawawi al-Bantani, Ahmad Khatib al-Minangkabawi, Saleh Darat al-Samarani, Mahfuz al-Termasi, dan Hasan Mustafa Bandung.
Ada karakter utama dari jaringan ulama abad 17 -19 ini, yakni: rekonsiliasi syariah (Fiqih dan Tasawuf, Tasawuf menjadi bagian integral tradisi dan ortodoksi Islam); meninggalkan praktek Tasawuf antinomian eksesif yang cenderung ekstatik; membatasi Tasawuf Falsafi spekulatif dan teoritis yang cenderung bisa membuat meninggalkan syariat; mengajarkan Tasawuf Amali untuk orang awam.
Neo-Sufisme pada jaringan ulama ini mementingkan kajian hadis, memastikan Tasawuf tetap dalam ortodoksi, menekankan aktivisme dalam kehidupan sehari-hari, dan adaptif menghadapi tantangan perubahan seperti modernisasi, sekularisasi dan globalisasi dengan berbagai dampak disruptifnya. Sebagai penutup, beliau menegaskan supaya Tasawuf dan Tarekat tidak pernah surut sepanjang masa dalam kemuktabarahannya untuk menjawab segala tantangan zaman.
Pembicara selanjutnya adalah Dr. Mohamed Ali, beliau adalah Asisten Profesor di Nanyang Technological University Singapura dan juga putra dari wakil talkin Abah Anom yang berdomisili di Singapura, Haji Ali Mohammed. Di awal penyampaiannya, beliau menyampaikan bahwa ajaran tarekat merupakan ajaran inti dalam Islam, dan para pengamalnya dianjurkan untuk aktif dalam menyiarkan nilai-nilai tersebut dengan tidak meninggalkan hukum-hukum agama.
Ada beberapa hal yang disampaikan beliau dalam seminar ini, pertama, tentang kedudukan negara Singapura. Singapura merupakan negara kecil yang berusia 55 tahun. Dulunya, Singapura juga merupakan bagian dari nusantara dan memiliki sejarah Melayu dan Islam yang lama. Saat ini, Muslim merupakan masyarakat minoritas, kendati demikian semuanya berjalan dengan baik dengan adanya keberadaan organisasi-organisasi dan Majlis Ulama yang diperbolehkan oleh negara.
Kedua, perihal Tasawuf di Singapura. Dakwah tasawuf di Singapura telah terjalin sekian lama dan banyak ulama sufi di Singapura yang berasal dari Jawa, Yaman, dan Gujarat. Keberadaan para sufi ini menyebabkan tersebarnya tarekat-tarekat di Singapura, Qadiriyah, Naqsyabandiyah, Shaziliyah, Idrisiyah, dan Awaliyah. Tarekat-tarekat ini merupakan tarekat besar yang memiliki banyak pengikut hingga saat ini.
Adapun TQN di Singapura ada dan berkembang sejak tahun 1975, yakni sejak Abah Anom mengangkat Uztaz H Ali H Mohamed menjadi wakil talkinnya. Namun, jauh sebelum itu, salah seorang murid Abah Sepuh ada yang merantau, menetap, dan mengamalkan TQN di Singapura, yakni H. Sarbini Tasikmalaya. Ustaz H Ali adalah wakil talkin pertama yang berasal dari luar Indonesia dan merupakan wakil talkin termuda yang diangkat, ketika diangkat oleh Abah Anom, Ustaz H Ali kala itu berusia 28 tahun.
Sebagai wadah pengamalan amaliah TQN di Singapura, para ikhwan TQN melakukannya di Masjid Khadijah yang pada saat itu diresmikan oleh Abah Anom, tepatnya pada tahun 2002. Di Singapura, semua amaliyah dilakukan bagaimana anjuran guru mursyid, baik harian, mingguan, maupun bulanan, bahkan khataman dilakukan setiap hari.
TQN di Singapura juga memiliki peran sosial lainnya, yakni sebagai wadah kajian ilmu Tasawuf, menjadi pusat Inabah korban Narkoba yang tidak dilanjutkan, kendati demikian TQN di Singapura sekarang mengambil peran dalam membantu rehabilitasi keagamaan untuk mereka yang memiliki faham ekstremisme.
TQN di Singapura juga membantu untuk meningkatkan kesadaran dalam hubungan antar agama serta keharmonisan bangsa dan agama. Tidak sampai di sana, TQN di Singapura juga menyesuaikan dengan modernitas yang ada untuk menjawab segala tantangan zaman.
Ketiga, beliau menyampaikan tentang peran Tasawuf dalam masyarakat modern. Baginya di sini Tasawuf memiliki beberapa peran, yakni: memposisikan Rasulllah sebagai model hidup; sebagai institusi mengembalikan manusia kepada Allah; membawa manusia kepada kesempurnaan hidup; dorongan kemajuan dunia; memberi solusi kepada masyarakat sosial; menciptakan rumahtangga dan masyarakat yang ideal; menyumbang kepada pembangunan ekonomi dan negara; serta membawa kedamaian dan kesejahteraan pada seluruh alam.
Keempat, baginya, Tasawuf bukanlah halangan bagi masyarakat dan negara, melainkan sebagai solusi dan penyumbang bagi keduanya. Menurut pengalamannya sejak umur dua tahun datang ke Suryalaya, ia melihat bagaimana Tasawuf dan amalannya membawa kepada kemajuan. Sebagai penutup, beliau menyampaikan ciri khas dari TQN Suryalaya, yakni bahwa Tasawuf tidak menafikan keberadaan dunia, melainkan keseimbangan untuk dapat memberikan perhatian lebih kepada pengajaran dan pengamalan Tasawuf.
Sebagai pembicara ketiga ialah Dr. Acep Iwan Saidi, yang merupakan sastrawan, budayawan, dan dosen sastra di Institut Teknologi Bandung. Pada seminar internasional ini, beliau menyampaikan materi tentang ‘Pesantren, Keindonesiaan, dan Tantangan Global (Perspektif Semiotika)’. Pesantren merupakan pendidikan kolektif yang memiliki corak tradisional dan modern.
Pola pendidikan pesantren yang demikian membentuk masyarakat yang gotong royong, tidak individual, dan berperilaku guyub, kendati secara realita terdapat transformasi dari pesantren berbasis tradisional ke pesantren berbasis modern. Keberadaan Tasawuf kontemporer di era saat ini dapat mengubah bunyi menjadi sunyi yang dapat menghasilkan suatu produk yang bermanfaat bagi berbagai aspek.
Pembicara berikutnya ialah Prof. Dr. Sri Mulyati. Beliau menyampaikan tema ‘Tarekat, Tantangan Modernitas, dan Visi Pendidikan Pangersa Abah Anom’. Secara garis besar beliau memaparkan tentang tarekat secara ta’rif, kategorisasinya, berikut penyebarannya di dunia Islam dan Barat (Micchigan, Montreal, Jerman, Belanda, Inggris, Washington. DC). Tantangan modernitas yang terjadi saat ini menyebabkan manusia menjadi sekuler dan melahirkan gerakan-gerakan keagamaan baru yang memecah belah nasionalisme.
Adapun visi pendidikan Abah Anom sangatlah jelas terekam sejarah, yakni bagaimana beliau mendirikan pendidikan formal dan non formal (termasuk Inabah) sebagai salah satu solusi dalam menjawab tantangan zaman ini. Tidak hanya dari aspek keagamaan dan pendidikan saja, tetapi juga ekonomi, politik, sosial, dan budaya.
Konsep Tanbih Abah Sepuh tidak hanya berguna bagi para pengikut Indonesia, melainkan bersifat fleksibel bagi siapapun dan dimanapun sebagai panduan dalam menghadapi kemajuan zaman. Demikianlah visi pendidikan TQN yang masih dan selalu relevan sebagai jalan keluar dalam konteks hubungan manusia dengan Tuhannya dan sesamanya.
Menjadi pembicara terakhir, Dr. Abdul Manan bin Muhammad yang merupakan dosen di salah satu universitas di Tregganu Malaysia sekaligus wakil talkin dari Abah Anom menyampaikan bahwa TQN berkembang pesat di Malaysia dan diikuti oleh masyarakat dari berbagai golongan dan latar belakang. Di Malaysia, TQN dikenal karena keberadaannya yang masif, terutama TQN yang silsilahnya dari Syekh Abdul Karim Banten yang masyhur di Johor, dan TQN yang dibawa oleh para khalifah atau para wakil talkin Abah Anom sejak tahun 1972 hingga sekarang yang terus membina para ikhwan di berbagai negeri.
Keberadaan TQN dan metode Inabahnya dalam merehabilitasi para pecandu narkoba dan penyimpangan akhlak merupakan salah satu bukti bahwa Tasawuf dan Tarekat merupakan solusi dan dapat beradaptasi dengan perubahan-perubahan dan masalah yang muncul akibat dari modernitas. Sekian, Wallahu a’lam bishshawaab. []