“Mbak Zahra terima kasih ya!”
Mubadalah.id – Kalimat singkat dan lugas itu disampaikan Stella, salah satu peserta Akademi Mubadalah 2025 saat kami bertemu di lift Hotel Tara Yogyakarta. Aku masuk lebih dulu, lalu Stella dengan seorang pendamping ikut masuk mendorong kursi rodanya. Ya, kataku, sama-sama. Ada rasa haru yang diam-diam menyelinap. Aku tentu saja sangat bangga, Stella telah menjadi difabel bermakna.
Istilah difabel bermakna aku pinjam dari pengertian partispasi anak muda bermakna, di mana dalam situasi yang sama kita juga bisa melibatkan teman-teman difabel secara aktif. Sebagaimana penuturan Stella melalui karya bukunya Terbuang tetap Sayang.
Melalui buku ini, Stella menceritakan perjalanan hidupnya, dari seseorang yang tidak diinginkan karena keterbatasan fisik yang ia miliki, hingga menjadi aktivis, penulis dan insiator kegiatan bersama komunitas difabel lain di kota kelahirannya, di Jombang Jawa Timur.
Nyalakan Lilin
Kehidupan yang harus Stella jalani memang tak mulus, bahkan penuh dengan duka dan air mata. Sejak lahir, ia merasa berbeda dan mendapat perlakuan berbeda pula dari lingkungannya. Tatapan kasihan dan merasa tak diinginkan kerap ia rasakan. Ia kemas bahasa ketakberdayaannya itu dalam puisi dan tulisan panjang tentang diri.
Menilik perjalanannya kini, Stella telah mampu menjadi difabel bermakna. Ia menjelma lilin yang menjadi terang bagi kegelapan di sekitarnya. Baginya, tak ada alasan untuk berhenti bermimpi dan meraih cita-cita. Meski keinginan bisa kuliah harus tertunda 10 tahun, tapi ia tetap merasa bersyukur telah berhasil mewujudkannya.
Aku jadi teringat apa yang Buya KH Husein Muhammad sampaikan ketika menjadi nara sumber materi Fiqh Disabilitas dalam kegiatan yang sama. Kata Buya, jangan hanya mengutuki kegelapan, tapi nyalakan lilin untuk meneranginya.
Hal yang sama juga pernah disampaikan oleh Martin Luther King, seorang menteri, aktivis, dan pemimpin terkemuka dalam gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat. Sudah lebih dari 50 tahun sejak dia dibunuh pada tahun 1968, namun kata-kata bijaknya tetap relevan hingga kini.
“Darkness cannot drive out darkness; only light can do that. Hate cannot drive out hate; only love can do that.”
“Kegelapan tidak dapat mengusir kegelapan; hanya terang yang dapat melakukan hal itu. Kebencian tidak dapat mengusir kebencian; hanya cinta yang dapat melakukan hal itu.”
Duka tak Pernah Abadi
Stella mungkin hanya satu orang dari sekian banyak difabel perempuan di Indonesia. Namun suaranya telah mewakili difabel lainnya yang sunyi, dan penuh luka. Hal ini nampak dalam puisi di bagian pertama yang berjudul “Terbuang”.
Aku terlahir tanpa pelukan. // Rimbun sampah pinggir jalan. // Tangis membabi buta. // Mencari peraduan. // Terbujur kaku. // Tubuhmu tak ada di sampingku. // Aku bermunajat di siang malam. // Agar kau pulang. // ketuk denyut jantungnya. // gerak langkah kakinya. // tuk surga yang kurindu. // ibu.
Akhirnya melalui pengalaman pribadi Stella menjadi difabel bermakna ini, kita tahu duka tak pernah abadi. Kabar baik akhirnya ia terima pada 13 September 2020, di mana ketika menerima kepastian bisa melanjutkan kuliah. Meski harus menunggu 10 tahun, sebagaimana Stella tuliskan dalam bukunya.
“Doa yang dilangitkan kepada semesta setiap tahun, akhirnya menemukan sinar cahayanya.. Alhamdulillah saya melanjutkan mimpi yang tertunda selama 10 tahun. Bagi saya itu sangat lama, tapi bagi Allah tidak ada yang tidak mungkin. Tidak mustahil jika Allah berkehendak..”
Difabel Bermakna
Melansir dari laman youthatheart yang menjelaskan tentang partisipasi anak muda yang bermakna, melalui tulisan pendek ini, aku menggantinya dengan difabel bermakna. Harapannya, teman-teman difabel juga turut ambil bagian secara aktif untuk bicara isu disabilitas di Indonesia.
Jika Partisipasi Pemuda yang Bermakna (MYP) adalah tentang memastikan kaum muda memiliki kesempatan untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan mengenai kebijakan, strategi, dan program yang memengaruhi mereka. Maka kita menggantinya dengan memastikan difabel memiliki kesempatan yang sama untuk terlibat.
Ini berarti bekerja dengan difabel sebagai pemimpin, mitra, dan penerima manfaat, dan mendengarkan apa yang paling penting bagi mereka, dengan tujuan mempertimbangkan pandangan, perhatian, dan saran mereka dalam kebijakan, strategi, dan program kita.
Partisipasi difabel bukan hanya tentang bekerja dengan mereka dalam hal-hal yang menjadi agenda utama kita. Difabel juga harus memiliki kesempatan untuk menyuarakan agenda mereka sendiri. Bagian penting dari proses partisipasi adalah memastikan difabel mendapatkan informasi yang tepat tentang isu-isu yang sedang mereka hadapi dan proses yang mereka ikuti.
Apa yang aku sampaikan ini sejalan dengan pesan dari founder Mubadalah.id Dr Faqihuddin Abdul Kodir dalam kegiatan Akademi Mubadalah 2025. Bahwa dalam konteks disabilitas, tidak hanya kita yang bicara isu disabilitas, tapi juga teman-teman disabilitas juga yang akan bicara tentang hak-hak disabilitasnya.
Jadi, kata Kiai Faqih, kita tidak sekadar tahu tapi mengalami. Yang mengalamilah yang harus memberi fatwa. Beri kesempatan yang mengalami untuk membuat fiqh disabilitas. Membuat ekosistem, lingkungan yang memberikan kemungkinan bagi difabel untuk berfatwa dan membuat kebijakan. []