Mubadalah.id – Pertikaian antar anak dan ibu ini menarik perhatian karena keduanya mengekspose permasalahannya di Instagram. Perang opini, sindir menyindir bahkan saling mengekspresikan emosinya di media sosial masing-masing. Dari peristiwa ini timbul kelompok yang pro pada ibu, ada juga yang pro sang anak.
Pihak yang membela Nikita Mirzani menganggap seorang anak harus patuh pada orang tua. Anak tidak boleh membangkang pada orang tua. Sosok ibu pasti mencari hal yang terbaik untuk anaknya. Perselisihan ini dianggap sebagai bentuk sikap Nikita yang sedang memberi hukuman pada anak, perilaku anak yang tidak taat pada ibunya.
Sejauh ini, Nikita memang kita kenal seorang ibu yang sangat memperjuangkan anak-anaknya. Berusaha memenuhi kebutuhan primer dan sekunder anaknya. Dengan riwayat asmara yang kurang beruntung, Nikita adalah seorang ibu untuk ketiga anaknya. Dia patut mendapatkan label, ibu yang luar biasa. Apapun konflik yang ia hadapi, anaknya adalah prioritas utamanya.
Bagi tim pembela Loly, Nikita dianggap ibu yang superior dan otoriter. Seorang ibu yang tidak menyadari, bahwa anak adalah cermin dari dari didikan orang tua. Netizen menghubungkan sikap Nikita yang sering terlibat perselisihan dengan sesama artis, tidak jarang sering memaki artis yang tidak cocok dengannya.
Sikap yang ingin menang sendiri. Perang mulut dengan artis bahkan disiarkan langsung dalam akun Instagram pribadinya. Sehingga netizen merasa tidak kaget, bahwa pada akhirnya dia pun berseteru dengan anaknya sendiri. Netizen menganggap Loli adalah anak sulung sebagai korban broken home, jadi kesalahan tidak semua bisa diarahkan pada Loli.
Permasalahan antara anak dan orang tua ini memang rumit. Di sisi lain seorang anak harus berbakti pada orang tua. Dalam Hadist, Rosululloh SAW bersabda bahwa ridho Allah SWT ada pada dalam ridho orang tua. Namun orang tua yang bagaimanakah yang harus kita taati. Apakah semua orang tua wajib kita taati, terlepas sikapnya baik atau buruk. Apakah ada kriteria tertentu terkait karakteristik orang tua yang wajib kita taati. Mari kita bahas!
Toxic Parent Berupa Banking Education
Toxic parent adalah pola pengasuhan yang kurang tepat dan bisa menyakiti perasaan anak. Pola asuh dengan memaksakan pemikiran orang tua pada anak, yaitu banking education. Istilah banking education bukan hanya terjadi di bangku sekolah saja, termasuk dalam pendidikan orang tua pada anak di lingkup keluarga. Teori ini juga terdapat dalam pola asuh orang tua pada anak.
Orang tua yang telah menghadirkan anak ke dunia dan merasa memiliki tanggung jawab besar yang dipikulnya, memunculkan jiwa superior dalam mengasuh anak. Pola relasi yang dibangun bukan lagi setara, namun menjadi bentuk komunikasi searah dan otoriter, memaksakan kehendak pada anak. Orang tua selalu benar, anak selalu salah.
Marak orang tua yang bicara dengan anaknya hanya pada saat ketika mengkritik, memerintah, mengoreksi, mendoktrin, menasihati dan model komunikasi searah lainnya. Jarang ada orang tua yang terbuka untuk komunikasi dua arah, atau mau mendengarkan permasalahan anaknya. Bahkan untuk sekadar mengapresiasi hal baik oleh anak pun nyaris tidak pernah.
Anak kita anggap sebagai objek di keluarga, dan menjadi pihak yang tertindas dalam keluarga. Di mana anak hanya kita bebani kewajiban tanpa terpenuhi haknya, misalnya hak dalam menyampaikan pendapatnya. Anak dijejali idealisme dari orang tua tanpa melihat konteks permasalahan.
Selain itu, anak kita anggap masih bau kencur, masih hijau, masih kosong, masih labil. Anak dijejali dengan ideologi perspektif orang tua. Keputusan anak kita salahkan sehingga perlu diperbaiki dengan dalih untuk perlu kita arahkan.
Model pendidikan banking education memang sesuatu yang mengakar sedemikian rupa di masyarakat kita. Orang tua berkedudukan sebagai bankir yang menguasai dan memonopoli otoritasnya. Sementara anak dianggap manusia kecil yang harus menuruti perintah orang tua.
Sebuah buku berjudul Pedagogy of Oppressed (Pendidikan Kaum Tertindas), Freire mengomentari bahwa pendidikan pada akhirnya seperti aktivitas menabung. Dalam keluarga, anak sebagai kotak kosong, yang terisi oleh orang tuanya. Maka yang terjadi bukanlah proses komunikasi, tetapi orang tua yang memberikan pernyataan-pernyataan, sikap dan keputusan yang wajib anak terima dan taati.
Pendidikan Pembebasan dalam Keluarga
Pendidikan tidak lagi kita anggap sebagai proses pendewasaan pemikiran dan tidak mampu mengkritisi realitas sosial yang ada di lingkungan sekitar. Dan dalam konsep pendidikan gaya bank, pengetahuan merupakan sebuah anugerah yang dihibahkan oleh mereka yang menganggap dirinya berpengetahuan (orang tua), kepada mereka yang dianggap tidak memiliki pengetahuan apa pun (anak).
Toxic Parent dalam keluarga, mirip dengan pola asuh banking education. Yaitu model pendidikan yang dikritisi oleh Paulo Freire. Di mana anak tidak diberikan kebebasan berpendapat, anak harus menuruti orang tua, tidak adanya dialog antara anak dan orang tua. padahal ada salah satu hak anak, yaitu hak menyampaikan pendapatnya.
Raison d’etre yaitu pendidikan yang membebaskan, Anak kita anggap makhluk setara yang berhak mengeluarkan pendapat dan isi pikirannya. Suatu usaha ke arah rekonsiliasi dalam kontradiksi orang tua-anak, sehingga kedua-duanya secara bersamaan adalah subjek. Problem solving demikian, tidak akan kita jumpai dalam konsep pola asuh gaya bank.
Konsep pembebasan dalam pola asuh dapat kita praktikkan saat anak sudah menginjak remaja menuju dewasa. Anak kita pandang sebagai manusia seutuhnya yang sudah harus mampu memiliki keputusan dan konsekuensi pilihannya. Realitas semacam ini akan memudahkan orang tua membina hubungan baik dengan anaknya.
Pendidikan Pembebasan melalui Konsep Mubadalah
Kalimat wabil waalidaini ihsaana dimuat dalam beberapa ayat di Alquran. Yaitu di surat Al An’am ayat 151, An Nisa ayat 36, AlBaqoroh ayat 83, Al Isra ayat 23 dan Luqman ayat 14. Berisi pesan perintah manusia untuk berbuat baik kepada orang tua.
Nah dalam konsep Mubadalah, perintah ini tidak hanya diperuntukkan seorang anak untuk wajib berbakti pada orang tua. Begitupun sebaliknya orang tua juga harus memperlakukan anak dengan cara yang baik, tidak boleh berbuat zalim pada anak seperti menyakiti anak, menyiksa batin anak dengan kekerasan verbal. Orang tua dan anak harus saling memahami hak dan kewajiban masing-masing.
Orang tua tidak boleh berbuat zalim pada anak. Begitupun sebaliknya, anak tidak boleh berbuat zalim pada orang tua. Kedua belah pihak harus saling menghargai, menyayangi, melakukan hak dan kewajiban masing-masing.
وَوَصَّيۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ بِوَٰلِدَيۡهِ حَمَلَتۡهُ أُمُّهُۥ وَهۡنًا عَلَىٰ وَهۡنٖ وَفِصَٰلُهُۥ فِي عَامَيۡنِ أَنِ ٱشۡكُرۡ لِي وَلِوَٰلِدَيۡكَ إِلَيَّ ٱلۡمَصِيرُ
Artinya: Dan kami perintahkan kepada manusia agar berbuat baik kepada orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu.
Apabila ada perbedaan pendapat, pada saat anak memiliki gejala yang kurang tepat dalam pengambilan keputusan, orang tua tetap mengarahkan dan memberikan sudut pandang lain supaya anak mudah mengerti. Anak diajak berdialog seperti teman sebaya, membangun relasi setara. Tidak ada yang merasa superior dan inferior.
Anak kita beri kesempatan membaca realitas, memahami, dan menganalisis permasalahan. Apabila anak dan orang tua bisa membangun hubungan komunikasi yang setara, niscaya, rumah adalah sebaik-baiknya tempat untuk pulang dan istirahat. []