Mubadalah.id – Dewasa ini, membawa tumbler menjadi pemandangan yang lazim kita jumpai di semua lini kehidupan. Mulai dari kampus, ruang kelas, ruang kerja, hingga dalam cafe sekalipun tumbler sudah menjadi benda yang gampang kita lihat.
Tumbler seolah menjelma menjadi salah satu bagian dari berjalannya kehidupan. Fenomena ini mulai lumrah ketika spirit kampanye krisis iklim telah menggema dalam realitas sosial. Tumbler menjadi salah satu alternatif untuk mewujudkan zero waste di tengah tumpukan sampah plastik yang mengancam keselamatan bumi.
Forum Ekologi dan Simbolisme Tumbler
Telah banyak sekali forum-forum yang membahas isu-isu ekologi. Entah berbentuk formal seperti seminar akademik atau diskusi kebijakan; semi formal seperti webinar pemerhati isu iklim; hingga menjadi bahan diskusi di tongkrongan.
Tak jarang setelah ada acara seminar mengenai isu iklim, tumbler menjadi salah satu souvenir paling laris. Seolah hal tersebut juga menjadi semacam kalimat persuasif untuk mengurangi minum air dari botol plastik. Ketika peserta pulang dengan membawa tumbler di tangan, seperti terbawa pula “komitmen hijau” untuk mendukung keselamatan alam.
Tetapi yang hal yang terkadang membuat ironis, seminar atau lokakarya yang membahas isu ekologi, dalam acaranya sendiri belum benar-benar menerapkan zero waste. Dalam hal bungkus snack misalnya, masih menggunakan berbagai macam plastik. bukan hanya itu, alih-alih menyediakan dispenser untuk isi ulang tumbler, penyelenggara lebih memilih menyediakan air kemasan plastik.
Barangkali penyelenggara memang lebih mengutamakan efisien untuk kebutuhan sesaat ketimbang memikirkan komitmen jangka panjang terhadap lingkungan. Meski pada akhirnya substansi dalam seminar untuk menyebarluaskan kesadaran jaga lingkungan menjadi tidak tersampaikan. Kabur bersama sampah plastik yang tersumbang setelah acara usai.
Saya kemudian membayangkan, jika tumbler menjadi tren souvenir di acara-acara seminar bagaimana dampak jangka panjangnya? Apakah nantinya akan menumpuk menjadi sampah juga? Di mana bahan produksi tumbler adalah metal atau plastik yang tebal. Sampah botol plastik hanya berkurang sedikit, malah ditambah sampah tumbler yang kian menukik.
Dari Jaga Bumi Menuju Tren Konsumsi
Keresahan tersebut kemudian menyambung atas pertanyaan: apakah tumbler benar-benar mengandung makna menjaga bumi? Atau malah menjadi salah satu simbol mengikuti trend gaya hidup masa kini? Lebih jauh lagi apakah tumbler menjadi gaya hidup karena dikomodifikasi dengan narasi-narasi “jaga bumi” oleh kapitalisme dengan sedemikian rupa?
Logika pasar tentu saja membaca tren-tren yang sedang booming dibicarakan untuk kemudian menungganginya menjadi produk jualan. Termasuk dalam hal tumbler sebagai salah satu cara mengurangi botol plastik. Kapitalisme akan mempelajari kritik terhadap krisis iklim untuk kemudian mereka kembangkan dengan cara yang lebih halus. Mereka berlomba memproduksi tumbler sesuai dengan logika pasar. Yakni, lebih banyak pilihan maka lebih banyak model. Lebih banyak model, maka lebih banyak keinginan.
Di sini sosial media yang telah menjadi bagian dari kehidupan juga memainkan perannya. Banyak sekali konten-konten promosi dengan dengan judul “Tahta Tertinggi Tumbler”. Dengan menggunakan permainan bahasa yang menyentuh emosi, pada akhirnya konsumen bukan semata-mata membeli karena nilai guna. Tetapi membeli untuk memenuhi kebutuhan psikologisnya.
Ditambah lagi dengan narasi-narasi “ramah lingkungan dan mengurangi sampah plastik”, orang akan membeli tumbler dengan kesadaran palsu. Kesadaran yang dibangun kapitalisme lewat narasi-narasi bombastis tentang zero waste. Karena dengan membeli tumbler akan merasa seolah sudah turut menjaga bumi.
Selangkah lebih maju untuk kembali menuju keseimbangan alam. Padahal jika ditelisik kembali, hal tersebut boleh jadi sebuah kerakusan yang terbungkus ilusi kepedulian. Ilusi yang diciptakan oleh produsen tumbler agar produknya laris manis di pasaran.
Ekoteologi:Titik Balik Mengeratkan Hablum minal ‘Alam
Tumbler yang awalnya menjadi solusi untuk langkah kecil jaga bumi, kemudian menjelma menjadi tantangan yang tak terelakkan. Maka dari itu, butuh membangun ulang kesadaran untuk menjaga hubungan dengan alam.
Dalam menjalani kehidupan sehari-hari, umat muslim mengenal tiga konsep etika interaksi. Yakni hablum minallah (hubungan dengan Allah), hablum minannas (hubungan dengan sesama manusia), dan hablum minal ‘alam (hubungan dengan alam). Sejalan dengan aktivis lingkungan, Kementerian Agama juga sedang gencar berkampanye isu lingkungan dengan mengembangkan konsep ekoteologi dalam Al-Qur’an sebagai penguatan hablum minal ‘alam.
Ekoteologi merupakan gabungan antara kata ekologi dan teologi. Secara terminologis ekoteologi adalah telaah atau refleksi teologis mengenai hubungan antara Tuhan, manusia, dan alam. Ekoteologi mengacu pada pemahaman dan interpretasi terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang memposisikan alam sebagai bagian dari sistem ketuhanan yang utuh. Kemudian sistem ini terhubung dengan tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi.
Pendekatan ekoteologi dalam pemahaman al-Qur’an membangun kesadaran bahwa krisis lingkungan bukan hanya berbicara tentang persoalan teknis atau kebijakan semata. Tetapi lebih dari itu, ekoteologi membahas tentang persoalan etika, spiritualitas dan cara pandang manusia terhadap alam.
Artinya perspektif ekoteologi menawarkan fondasi spiritual dan moral dalam membangun relasi manusia dengan alam. Dengan begitu internalisasi ekoteologi bukan hanya melalui pendekatan teknokratik atau regulasi, tetapi menyentuh akar kesadaran yang dibangun melalui pendekatan spiritual. Yakni memahami alam bukan hanya sebagai habitat atau sumber daya, tetapi sebagai amanah yang di dalamnya melekat tanggung jawab manusia,
Bukan Sekedar Membawa Tumbler Sebagai Gaya Hidup
Dengan begitu, gagasan ekoteologi menekankan bahwa menjaga alam bukan sebuah gaya hidup atau sekedar Fear of Missing Out (FOMO) tren yang sedang viral saja. Tetapi bagian dari etika spiritual. Menyadari bahwa keberlanjutan untuk menjaga lingkungan bukan hanya berhenti pada produk-produk yang kita konsumsi. Tetapi merasuk pada nilai yang termanifestasi pada perilaku sehari-hari.
Pendekatan ekoteologi pada dasarnya membangun pola pikir bahwa melestarikan alam bukan hanya gerakan modern atau menjadi tren sesaat saja. Tetapi praktik atau lelaku kehidupan yang berlandaskan ajaran dalam al-Qur’an. Memposisikan alam sebagai sesama ciptaan Tuhan yang memiliki martabat. Di mana keberadaannya juga harus dihormati. []












































