• Login
  • Register
Senin, 19 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Featured

Untuk Apa ke Gereja saat Perayaan Natal?

Meskipun berkali-kali memasuki tempat ibadah agama lain, tidak serta-merta membuat kita langsung berpaling dari agama yang kita anut

Vevi Alfi Maghfiroh Vevi Alfi Maghfiroh
28/12/2023
in Featured, Pernak-pernik
0
Perayaan Natal

Perayaan Natal

1k
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

“Untuk apa ke gereja saat perayaan natal?”

Mubadalah.id – Pertanyaan seorang kerabat kepada saya sepulang dari mengunjungi gereja, yang letaknya cukup dekat dari rumah pada 25 Desember lalu.

Meskipun setiap kali berangkat kerja saya melewati area gereja tersebut. Namun tiga hari yang lalu merupakan momen pertama kali saya berkunjung bersama dengan teman-teman Yayasan Selendang Puan Dharma Ayu, yang selalu aktif menjalin komunikasi dengan umat berbeda agama.

Ada perasaan lega setelah memasuki area tempat ibadah umat Kristen yang letaknya tepat di depan masjid desa. Pasalnya sejak kecil, saya mendengar banyak rumor yang kurang baik tentang umat Kristen yang jumlahnya minoritas di desa kami.

Walaupun sejauh ini tidak ada konflik yang mencekam, dan kami hidup masing-masing. Namun ada saja cerita dari mulut ke mulut yang menyiratkan makna, ‘Jangan datang dan bermain ke gereja, nanti musyrik.’

Bahkan saat berbincang-bincang santai dengan Pendeta setelah perayaan natal di hari tersebut, ia juga bercerita kepada kami bahwa pada saat pihak gereja mengundang seorang aktivis muslim untuk berdiskusi, ia mendengar seseorang berceloteh, ‘Jangan lupa syahadat lagi setelah masuk gereja.’

Baca Juga:

Perempuan Fitnah Laki-laki? Menimbang Ulang dalam Perspektif Mubadalah

Mengenal Paus Leo XIV: Harapan Baru Penerus Paus Fransiskus

Kontekstualisasi Ajaran Islam terhadap Hari Raya Waisak

Keheningan Melalui Noble Silence dan Khusyuk sebagai Jembatan Menuju Ketenangan Hati

Meskipun tidak ada salahnya kita mengucapkan syahadat berkali-kali kapan pun itu. Tetapi rasanya tidak masuk akal jika keyakinan kita langsung berubah hanya karena masuk tempat ibadah agama lain.

Perdebatan-perdebatan mengucapkan hari Natal, mengunjungi gereja saat perayaan Natal, dan lain sebagainya, sudah menjadi pembahasan tahunan yang tidak pernah luput di penghujung akhir tahun saat perayaan hari natal.

Menyoal Agama dan Keyakinan

Sejak awal 2023, saya mulai menggeluti isu dan mengikuti kegiatan-kegiatan interfaith yang penyelenggaranya adalah komunitas dan lembaga yang berfokus pada isu keberagaman. Dari mulai kegiatan Peace Train Indonesia ke-15 di Lampung-Palembang, hingga berlanjut pada Pelatihan Kepemimpinan Pemuda Lintas Agama (PKPLA) di Yogyakarta-Magelang dan di Denpasar Bali.

Kegiatan yang terselenggara oleh Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) ini diikuti oleh pemuda dari berbagai agama dan keyakinan yang berasal dari beragam daerah di Indonesia. Dan salah satu kegiatan andalannya adalah berkunjung ke rumah ibadah setiap agama. Lalu berbincang dengan para tokoh agama terkait banyak topik.

Dari banyak perjumpaan dan diskusi tersebut, saya menyimpulkan bahwa setiap agama sebenarnya tidak jauh berbeda, nilainya. Yakni sama-sama tentang perintah untuk melakukan hal-hal baik, dan larangan untuk melakukan kejahatan antar sesama manusia.

Lalu saya juga menyadari bahwa kepercayaan terhadap agama tertentu, selain karena faktor bawaan lahir dari pilihan keluarga, alias agama turun-temurun. Selain itu juga merupakan perjalanan ruhaniyah seseorang dalam merasakan ketentraman dan kedamaian sesuai dengan keyakinan dan pengalamannya.

Meskipun berkali-kali memasuki tempat ibadah agama lain, tidak serta-merta membuat kita langsung berpaling dari agama yang kita anut, dan berpindah ke keyakinan lainnya. Sebab itu, pernyataan terkait dengan kristenisasi, islamisasi, dan lain sebagainya, sebaiknya tidak perlu membicarakannya di wilayah non-konflik, agar tidak terjadi ketegangan sosial.

Bahkan dengan saling mengenal, saya merasakan sudah tidak ada lagi kekhawatiran. Sehingga tak perlu ada segregasi ruang berbasis agama. Bahkan upaya saling mengenal ini sesuai dengan ajaran Islam yang saya yakini.

…….wa ja’alnakum syu’ubaw wa qaba’ila lita’arafu, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. (Q.S. Surat Al Hujurat ayat 13).

Bukan Hanya Menerima Perbedaan, Tetapi Menjadikannya Niscaya

Perbedaan memang lah sebuah niscaya, sesuatu yang tidak bisa kita hindari. Selama ini pemahaman dalam menyikapi perbedaan di mayoritas masyarakat kita adalah dengan menerimanya dan membiarkan keragaman itu berjalan masing-masing.

Maka tak heran jika sebagian orang selalu mempermasalahkan tindakan sebagian lainnya, yang berupaya untuk menjadikan perbedaan ini sebagai sesuatu yang niscaya. Bukan lagi tentang toleransi pasif, tetapi dengan cara yang aktif. Yakni dengan saling mengunjungi tempat ibadah lain, saling bertukar hadiah, saling bekerja sama, dan saling membantu tanpa ada perasaan khawatir dan curiga antara satu dengan lainnya.

Saya teringat cerita dari Pak Laus, Founder Analisis Papua Strategis. Dalam sebuah diskusi terkait dengan resolusi konflik, ia bercerita bahwa mayoritas masyarakat Papua tidak lagi mempersoalkan perbedaan agama. Bahkan mereka saling gotong royong dalam menyiapkan perayaan Lebaran, Natalan, Imlek, Nyepi, Waisak, dan lainnya.

Bahkan mereka sudah terbiasa untuk menggilir pertemuan dan diskusi desa di beragam tempat ibadah umat beragama. Sebuah gambaran bagaimana kelompok masyarakat memahami perbedaan sebagai sesuatu yang niscaya. Bukan hanya menerima, tetapi melebur dan menjadikannya sesuatu yang biasa saja.

Yayasan Selendang Puan Dharma Ayu Menjadikan Keberagaman Sebagai Ruang Sinergi Penyelesaian Persoalan Sosial   

Dan ini lah yang saya rasakan saat bergabung dan menjadi bagian dari anggota Yayasan Selendang Puan Dharma Ayu. Dalam menyikapi perbedaan dan keberagaman umat berbeda agama, kita bukan lagi membahas tentang toleransi dan keberagamannya itu sendiri.

Akan tetapi menjadikan keberagaman dan sinergitas antar umat beragama, sebagai kekuatan untuk mendiskusikan dan mengupayakan penyelesaian persoalan sosial. Khususnya dalam menyinergikan peran tokoh agama dalam pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan dan anak. []

Tags: agamagerejahari rayakeberagamanPerayaan NatalYayasan Selendang Puan Dharma Ayu
Vevi Alfi Maghfiroh

Vevi Alfi Maghfiroh

Admin Media Sosial Mubadalah.id

Terkait Posts

Pemukulan

Menghindari Pemukulan saat Nusyuz

18 Mei 2025
Gizi Ibu Hamil

Memperhatikan Gizi Ibu Hamil

17 Mei 2025
Pola Relasi Suami Istri

Pola Relasi Suami-Istri Ideal Menurut Al-Qur’an

17 Mei 2025
Peluang Ulama Perempuan

Peluang Ulama Perempuan Indonesia dalam Menanamkan Islam Moderat

16 Mei 2025
Nusyuz

Membaca Ulang Ayat Nusyuz dalam Perspektif Mubadalah

16 Mei 2025
Poligami dalam

Menggugat Poligami, Menegakkan Monogami

16 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kekerasan Seksual Sedarah

    Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KUPI Resmi Deklarasikan Mei sebagai Bulan Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Memanusiakan Manusia Dengan Bersyukur dalam Pandangan Imam Fakhrur Razi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon
  • Nyai Nur Channah: Ulama Wali Ma’rifatullah
  • Rieke Diah Pitaloka: Bulan Mei Tonggak Kebangkitan Ulama Perempuan Indonesia
  • Menolak Sunyi: Kekerasan Seksual Sedarah dan Tanggung Jawab Kita Bersama
  • KUPI Dorong Masyarakat Dokumentasikan dan Narasikan Peran Ulama Perempuan di Akar Rumput

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version