Mubadalah.id – Jleb. Kaget. Begitu kalimat di atas meluncur dari mulut temenku yang santri dalam suatu obrolan. Ia menanggapi ramenya jagat media sosial tentang foto halaman Buku Iqra’, yang lalu dirangkai menjadi kata-kata: (قرن: Virus Corona), (خلق: Tercipta), (زمن: Pada zaman), dan (كذب: Penuh Dusta). Jika dirangkai menjadi: “Virus Corona tercipat pada zaman penuh dusta”.
Tentu saja, secara struktur Bahasa Arab, ini salah kaprah. Utak-atik-gatuk. Bisa jadi yang bikin itu hanya untuk sensasi atau humor belaka. Tetapi anehnya: beberapa orang percaya itu benar. Karena itu, untuk mengimbangi joke-joke itu, dan agar tidak dimakan mentah-mentah, netizen santri yang lain menambahkan: bahwa di halaman Iqra’ tersebut, sebelum kata (قرن) ada kata (صمض: Samad).
“Hayo kata ini merujuk pada nama siapa ya?” begitu sang netizen mengakhiri joke-nya.
Ada yang nambahin lagi, bahwa di halaman itu juga, setelah kata (كذب), juga langsung ada kata (جند: Janda) dan (كنس: Kenes). Coba kalau dua kata ini dirangkai semua, sejak kata awal (صمض: Samad), bisa berarti apa ya? Demikian sang nitizen itu menutup kalimatnya. Para pembaca bisa jadi menerka sendiri sambungan kata-kata tersebut.
Tentu saja semua ini joke belaka. Sayangnya, bagi orang-orang tertentu, joke ini bisa dimaksudkan dan dikelola untuk bikin sensasi di jagat media sosial. Ini juga yang aku pikirkan ketika temenku menyatakan kalimat judul di atas. Wah, ini pasti joke untuk sensasi. Pikirku. Tetapi temenku sepertinya mulai serius menjawab.
“Dalam pelajaran Ulumul Qur’an, kata Qur’an itu juga kan berasal dari kata “qorona-قرن”, di samping kata “qoro’a-قرأ”. Jadi “Corona” itu justru akar kata dari al-Qur’an itu sendiri. Ia ada di dalam al-Qur’an, bukan hanya di buku Iqro”, tegas dia.
“Loh, tadi kamu kan bilang virus Corona ada dalam al-Qur’an, bukan hanya buku Iqra’, maksudnya apa?” tanyaku.
“Maksudku, al-Qur’an kan menyebutkan seluruh kehidupan ini adalah ujian, agar kita terus berbuat baik dalam kehidupan ini. Virus Corona adalah salah satu dari ujian kehidupan ini. Apakah kita akan berhasil atau gagal dalam menghadapi ujian ini. Apakah ketika kita tidak terjangkiti akan mengutuk orang yang terkena virus tersebut, menyebar hoax tentang mereka, atau kita ikuti ajaran al-Qur’an untuk menolong dan membantu, minimal berempati kepada mereka. Inilah ujian nyata dari al-Qur’an untuk zaman kita yang sedang terjadi wabah virus Corona,” jawabnya serius.
“Wah, ini baru keren,” jawabku kepadanya.
Dalam teologi Islam, memang, penyakit merupakan musibah yang bisa menimpa siapapun, sebagai ujian (fitnah) bagi mereka: apakah akan menjadi orang-orang yang sabar dan tetap komitmen dengan nilai-nilai keimanan dan kemanusiaan, atau berubah menjadi orang yang rapuh, putus asa dan ingkar dari nilai-nilai tersebut? Atau bahkan, lebih dari itu, malah berbuat keburukan di atas penderitaan orang lain.
“Segala musibah yang menimpa seorang mukmin, bahkan sekedar duri yang mengena tubuhnya, akan dicatat Allah sebagai kebaikan dan sekaligus digugurkan dosanya,” kata Nabi Saw (Sahih Muslim, no.: 6732).
“Wahai manusia hamba-hamba Allah, berobatlah ketika kamu terkena penyakit, karena sesungguhnya tidak sekali-kali Allah menurunkan penyakit kecuali menurunkan juga obatnya,” sabda Nabi Saw (Sunan Turmudzi, no. 2172).
“Allah SWT akan bertanya pada hari Kiamat nanti: “Wahai anak adam, ketika aku sakit mengapa kamu tidak mendampingiku? Yang ditanya menjawab: “Wahai Tuhanku, bagaimana Kamu bisa sakit lalu aku harus mendampingi, padahal Kamu adalah Tuhan sekalian alam.” Allah menjawab: “Ingatkah, ketika temanmu sakit, kamu tidak mendampingi, tidakkah kamu tahu kalau kamu mendampingi dia, kamu akan menjumpai-Ku di sana.” (Sahih Muslim, no. 6721).
Demikianlah pesan-pesan Nabi Muhammad Saw. Apakah ketika wabah virus Corona ini menimpa seseorang, atau masayarakat, apakah kita bisa berempati seperti yang diteladankan Nabi Saw (QS. At-Taubah, 9: 128), memberi pertolongan dan dukungan penuh agar mereka terbebas dari penyakit tersebut, seperti yang diajarkan al-Qur’an (QS. Al-Maidah, 5: 2)?
Melalui kejadian virus Corona ini, siapkah kita mengamalkan ayat Ali Imran (QS. 3: 110), yang meminta kita menjadi bangsa terbaik (khairu ummah) yang selalu mencari dan menyerukan jalan kebaikan global (amar ma’ruf), dalam konteks ini bagi penanganan musibah virus, dan menahan diri dari penyebaran ketakutan, kebohongan, dan kebencian, yang menambah persoalan dunia menjadi lebih buruk dan munkar (nahi munkar)?
Siapkah kita berlomba-lomba dan berkontribusi dalam mewujudkan kebaikan-kebaikan sosial (fastabiqul khoiraat), seperti yang dianjurkan ayat al-Baqarah (QS. 2: 148), dengan melakukan riset ilmiah untuk menemukan obat penangkal bagi epidemi wabah virus Corona ini?
Agar menjadi individu dan bangsa terbaik, apakah mulut dan jari-jari kita, bersedia menghentikan penyebaran kebohongan, kebencian, dan kedustaan mengenai virus Corona dan orang-orang yang sedang menghadapi wabah ini?
Siapkah kita berhenti mengambil keuntungan besar dari kesusahan yang sedang dialami beberapa penduduk dunia, dengan menjual masker berpuluh lipat harganya? Mencari sensasi dengan mengupload video, gambar, meme, atau tulisan yang tidak valid, hanya untuk menaikan rating dan memperoleh untung semata?
Sebaliknya, bersediakan kita justru ikut serta memberikan dukungan-dukungan moral terhadap semua pihak agar bisa melalui musibah global ini?
Sehingga kita dicatat sebagai individu muslim sejati, yang mengamalkan ajaran-ajaran Qur’ani, saling menolong, menebar kabaikan, menahan diri dari keburukan, dan berkontribusi bagi perdamaian dunia.
Inilah ujian kita bersama.[]