Mubadalah.id – Visi rahmatan lil ‘alamin dan misi akhlak karimah dijalankan al-Qur’an melalui ayat-ayat yang diturunkannya. Juga termasuk isu-isu relasi laki-laki dan perempuan, pada masa Nabi Muhammad Saw.
Visi dan misi ini harus terus digaungkan sepanjang masa, dan menjadi fondasi segala rumusan keputusan-keputusan hukum yang harus muncul pada berbagai konteks yang berbeda.
Terutama konteks kontemporer kita saat ini, di mana para perempuan terus mengalami kekerasan dan ketidakadilan, yang di antaranya dilestarikan dengan alasan penafsiran teologis tertentu.
Inspirasi yang serupa, tentang pemihakan pada perempuan, juga bisa kita temukan dalam Hadis atau Sunnah Nabi Saw. Sekalipun cikal bakal penulisan Hadis sudah mulai kecil-kecilan pada masa Nabi SAW dan para sahabat.
Tetapi momentum umat Islam merujuk pada kitab Hadis yang valid dan otoritatif terjadi jauh di abad ketiga hijriah. Yaitu saat muncul kitab Shahih Bukhari (w. 256/870).
Sebelumnya, kitab al-Muwaththa’ Imam Malik (w. 179/792) tidak sempat mendapat penerimaan publik yang masif sebagai kitab Hadis yang valid dan otoritatif.
Begitu pun Mushannaf Abdurrazzaq (w. 211/826), Mushannaf Ibn Abi Syaibah (w. 235/849), dan Musnad Ahmad (w. 241 H/855).
Shahih Bukhari bukan kitab Hadis yang pertama, bukan juga yang terakhir. Setidaknya ada enam kitab Hadis yang paling otoritatif (al-kutub as-sittah). Ada juga yang menambahnya menjadi sembilan (al-kutub at-tis’ah).
Tidak seperti al-Qur’an, kitab-kitab Hadis rujukan seperti yang tergabung dalam al-kutub as-sittah tersusun secara sistematis dan tematik, sesuai dengan runut ajaran Islam, terutama hukum-hukum fiqh. Susunan ini penyusun lakukan di masing-masing kitabnya.
Yang dimaksud al-kutub as-sittah adalah Shahih Bukhari, Shahih Muslim (w. 261/875), Sunan Turmudzi (w. 279/892), Sunan Abi Dawud (w. 275/889), Sunan Ibn Majah (w. 273/887), dan Sunan Nasa’i (w. 303/915). []