Mubadalah.id – Kepala Divisi Kampanye Eksekutif Nasional WALHI, Uli Arta Siagian menegaskan bahwa bencana di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bukan peristiwa tunggal, melainkan pola yang terus berulang. Pola yang lahir dari hilangnya ekosistem penting, lemahnya tata kelola lingkungan, dan kegagalan negara memahami bahwa kerusakan ekologis adalah persoalan struktural, bukan fenomena alam semata.
Bagi Uli, banjir bandang dan longsor yang melanda dalam satu pekan terakhir adalah gambaran paling jelas tentang bagaimana krisis iklim mempercepat kehancuran lanskap yang sudah lama dipreteli.
Ketika curah hujan ekstrem datang yang kini terjadi semakin sering akibat perubahan iklim. Maka Sumatera tidak lagi memiliki benteng ekologis untuk meredamnya.
Hutan yang hilang, daerah aliran sungai yang rusak, serta bukit-bukit yang dipenuhi izin tambang dan perkebunan menjadi jalur runtuhnya keselamatan warga.
“Ketika risiko banjir datang dan intensitasnya meningkat karena krisis iklim, ekosistem kita sudah tidak sanggup menahan daya rusak bencana,” kata Uli dalam forum tersebut.
Konsekuensinya fatal. Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat—tiga wilayah yang topografinya bergantung pada kekuatan Bukit Barisan—menjadi kawasan yang paling rentan.
Akumulasi Kebijakan dari Rezim ke Rezim
Dalam penjelasannya, Uli menolak melihat bencana ekologis ini sebagai kesalahan satu pemerintahan tertentu. Baginya, kerusakan hari ini adalah hasil panjang dari keputusan politik beberapa rezim. Setiap izin industri yang dikeluarkan baik itu tambang, kebun monokultur, bahkan proyek energi menumpuk dalam satu beban ekologis yang hari ini pecah menjadi banjir dan longsor.
“Lingkungan tidak bisa dilihat hanya dalam rentang lima tahun pemerintahan. Dampaknya akumulatif,” tegasnya.
Izin-izin yang hari ini aktif mungkin dikeluarkan oleh pemerintahan sebelumnya. Tetapi tanggung jawab atas keselamatan warga tetap berada di tangan pemimpin yang sedang menjabat.
Sehingga, pemerintah tidak boleh bersembunyi di balik dalih administratif. Karena setiap pejabat negara, baik menteri, kepala daerah, sampai presiden memiliki mandat konstitusional untuk menjaga keselamatan rakyat.
Karena itu, Uli menggarisbawahi bahwa rangkaian bencana di Aceh dan Sumatera harus kita lihat sebagai cermin dari cara negara mengurus hutan, gambut, pesisir, dan seluruh ruang hidup warganya.
Bencana ini bukan semata-mata persoalan cuaca ekstrem ini adalah konsekuensi dari rusaknya fondasi ekologis yang mestinya kita lindungi.
Respons Negara yang Lambat dan Terbatas
Di tengah kondisi darurat, Uli menyoroti lambannya respons negara. Hingga hari ini, beberapa wilayah di Aceh dan Sumatera Utara masih sulit kita tembus. Akses jalan terputus, jembatan hilang terseret arus, dan desa-desa terisolasi tanpa bantuan memadai.
Kondisi Aceh Tamiang menjadi contoh paling dramatis. Video dan laporan lapangan memperlihatkan betapa warga tidak bisa keluar dari desa-desa yang terputus. Upaya membuka akses tidak mungkin dilakukan oleh masyarakat sipil semata dibutuhkan peralatan berat, logistik profesional, dan koordinasi pemerintah.
“Ini bukan pekerjaan masyarakat biasa. Ini membutuhkan perangkat infrastruktur negara,” ujar Uli.
Ia mengingatkan bahwa keberpihakan anggaran negara akan sangat menentukan cepat tidaknya pemulihan. Penanganan bencana tidak boleh bergantung pada inisiatif relawan atau aparatur desa, melainkan harus menjadi prioritas pemerintah.
Hutan Hilang, Risiko Membesar
Uli juga mengingatkan kembali fakta yang sudah lama WALHI sampaikan, di antaranya hutan-hutan Sumatera, terutama di sepanjang Bukit Barisan, adalah garis pertahanan pertama dari banjir bandang. Ketika izin tambang, izin kebun industri, PLTA, dan proyek lain, pemerintah berikan tanpa memperhitungkan daya dukung ekologis, maka perlindungan itu hilang.
Setiap tahun, bukit-bukit di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat terus mereka buka untuk berbagai kepentingan ekonomi. Sehingga, ketika hujan ekstrem datang yang kini semakin sering, maka tanah tidak mampu lagi menahan air. Sungai meluap, tebing runtuh, dan desa-desa di kaki bukit menjadi kolam tempat limpasan air mengalir.
“Ini bencana struktural. Dan selama izin terus diberikan, kita akan jatuh ke titik yang sama,” katanya.
Bagi Uli, krisis ekologis yang kini terjadi harus menjadi titik balik. Negara wajib memperbaiki tata kelola sumber daya alam, menghentikan praktik ekstraktif yang rakus, dan segera memulihkan hutan-hutan yang tersisa.
Tanpa perubahan menyeluruh, Sumatera akan terus menjadi wilayah yang menyimpan risiko tinggi dan warga di garis depan yang selalu menanggung akibatnya.
Bencana di Aceh dan Sumatera adalah peringatan keras. Bukan tentang curah hujan yang semakin ekstrem, bukan tentang badai yang semakin sering. Tetapi tentang negara yang terlalu lama menunda memperbaiki kerusakan yang diciptakannya sendiri. []








































