Mubadalah.id – Dalam Katolik, ada dua tokoh yang menjadi teladan bagi keluarga untuk menanamkan ajaran kasih dalam kehidupan berkeluarga. Dua tokoh tersebut adalah Maria dan Yosef. Dalam narasi religius, kedua tokoh ini bersama dengan Yesus mempunyai julukan sebagai keluarga Kudus Nazaret.
Kisah dua tokoh ini menjadi teladan bagi keluarga untuk berani berjalan bersama dalam kasih dan iman, bukan dalam hierarki kekuasaan. Selama berabad-abad, Yosef seringkali disebut sebagai sebagai sosok penurut. Tetapi dalam iman Katolik sosok Yosef bukanlah pribadi yang penurut, tetapi pribadi yang mau mendengarkan. Relasi Maria dan Yosef adalah kisah tentang dua pribadi yang sama-sama mendengarkan, sama-sama beriman, dan sama-sama menanggung kasih Tuhan.
Sosok Lelaki yang Mampu Mendengarkan
Dalam Injil Matius, Yosef digambarkan sebagai seorang yang “tulus hati” (Mat 1:19). Hal ini terjadi ketika dia mengetahui Maria mengandung sebelum mereka hidup bersama. Ada beberapa anggapan bahwa Yosef sebagai laki-laki yang bodoh karena mau menikahi Maria yang mengandung duluan.
Namun tindakan Yosef bukanlah tindakan yang gegabah atau marah, tetapi berusaha melindungi calon isterinya dari hukuman sosial. Ia memilih diam, tidak mempermalukan, bahkan ingin “menceraikannya diam-diam”.
Namun dalam kebimbangannya, ia mendengarkan suara Tuhan yang datang lewat mimpi. Yosef tidak memakai haknya sebagai laki-laki untuk “menghakimi”, tetapi membuka hati untuk memahami rencana ilahi. Ini menunjukkan bahwa Yosef sebagai laki-laki memiliki kekuatan untuk mendengarkan, menahan ego, dan menghormati keputusan perempuan.
Keberanian Maria Mengatakan “Ya”
Maria merupakan teladan yang sempurna dalam ketaatan. Ketaatannya pun bukan ketaatan yang pasif, tetapi ketaatan yang menuntut sebuah pengorbanan. Keputusan Maria untuk berkata “Terjadilah padaku menurut perkataan-Mu” (Luk 1:38) adalah tindakan yang sangat berani. Ia menerima panggilan Allah dengan kesadaran penuh akan risiko sosial dan pribadi.
Maria tidak pasrah karena takut, tapi karena percaya. Ia menunjukkan bahwa ketaatan sejati lahir dari dalam batinya. Ia tahu bahwa ia harus melalui jalan yang tidak mudah. Bagaimana tidak, dia mengandung tanpa suami, menghadapi pandangan sinis masyarakat, melahirkan di tengah kemiskinan tetapi tetap melangkah dalam iman.
Maria adalah simbol agensi spiritual perempuan, artinya perempuan yang punya suara, punya pilihan, dan dihargai oleh Allah dalam kebebasannya.
Dua Tokoh yang Saling Meneguhkan
Kisah Maria dan Yosef bukan kisah tentang siapa yang yang harus memimpin atau siapa yang harus tunduk. Keduanya memikul tanggung jawab bersama membesarkan Yesus, menanggung ketidakpastian, dan tetap berpegang pada janji Allah.
Relasi keduanya tidak ada saling mendominasi, tetapi selalu berdialog dan saling percaya.
Maria percaya pada kebaikan Yosef. Yosef percaya pada panggilan Maria.
Relasi mereka adalah contoh indah kemitraan rohani bahwa kasih sejati tidak berbicara tentang kuasa, melainkan tentang keberanian untuk menanggung hidup bersama.
Maknanya bagi Kita Hari Ini
Dalam masyarakat saat ini, masih sering menempatkan laki-laki sebagai “kepala keluarga” dan perempuan sebagai “pengikut”. Kisah Maria dan Yosef mengajak kita melihat makna cinta dan tanggung jawab. Kepemimpinan sejati bukan soal siapa yang paling kuat, tetapi siapa yang paling mampu mendengarkan dan berkorban bagi kebaikan bersama.
Relasi Maria dan Yosef memberi inspirasi bagi keluarga di zaman ini. Teladan mereka berdua mengajak agar setiap pasangan saling menguatkan dan menegakkan, bukan saling mengatur dan menjatuhkan. Maria dan Yosef mengajarkan bahwa setiap cinta sejati tumbuh dari kepercayaan, bukan kekuasaan.
Keluarga Kudus Tujuan Hidup semua Keluarga
Kisah Maria dan Yosef bukan sekadar catatan sejarah tentang keluarga ribuan tahun lalu. Maria dan Yosef mengajarkan tentang bagaimana cinta dan iman bisa bertahan di tengah ketidakpastian hidup. Mereka bukan pasangan yang hidup tanpa luka atau keraguan, tetapi dalam keheningan dan keterbatasan, mereka belajar memahami kehendak Allah melalui kesetiaan satu sama lain.
Yosef tidak menjadikan kekuasaan sebagai ukuran cintanya. Ia memilih mendengarkan dan percaya, bahkan ketika dunia tidak mengerti pilihannya. Maria pun tidak hanya menuruti, tetapi berani mengambil keputusan dalam iman yang matang. Keduanya saling meneguhkan dalam diam, saling menopang dalam tugas, dan saling menguatkan dalam cinta. Inilah letak kekudusan mereka dengan mau untuk berjalan bersama, bukan saling mendahului.
Kisah Maria dan Yosef adalah simbol dari kesetaraan rohani antara laki-laki dan perempuan. Relasi mereka mengingatkan bahwa cinta sejati tidak pernah berakar pada kuasa, melainkan pada kepercayaan, pengertian, dan pengorbanan timbal balik. Keluarga mereka menjadi ikon kemanusiaan universal, bahwa iman yang sejati selalu melahirkan dialog, bukan dominasi.
Di tengah dunia yang sering memuja kecepatan, ketegasan, dan kekuasaan, kisah Maria dan Yosef sangat relevan. Keduanya sama-sama mengajarkan nilai-nilai yang lebih lembut, yakni tentang kesetiaan, keheningan, dan kesetaraan. Mereka mengingatkan kita bahwa setiap relasi hanya akan bertumbuh jika ada ruang untuk saling mendengarkan.
Pada akhirnya, keluarga kudus bukan hanya milik umat Katolik, melainkan warisan kemanusiaan bagi semua orang beriman. Kisah Maria dan Yosef merupakan undangan untuk mencintai tanpa menaklukkan, beriman tanpa menyingkirkan, dan berjalan bersama tanpa harus saling menguasai. []