Mubadalah.id – Jika merujuk padangan Abu Hamid al-Ghazali tentang praktik ‘azl yang secara substansial memiliki kesamaan dengan childfree, maka al-Ghazali menyebutkan secara tegas bahwa tidak nash yang melarang praktik tersebut.
Senada dengan al-Ghazali, Sayyid Sabiq juga mengungkapkan hal yang sama. Menurutnya pembatasan keturunan di dalam Islam diperbolehkan. Kebolehan ini akibat banyak orang tua yang memiliki banyak anak, justru mengabaikan hak anak-anaknya.
Bahkan dalam pandangan maqashid syariah, kebolehan childfree dapat kita telaah dari beberapa faktor-faktor. Beberapa faktor tersebut sebagai berikut:
Pertama, Faktor Medis dan Mental.
Manusia terdiri dari tiga unsur, body (tubuh), soul (jiwa) dan mind (pikiran). Tiga unsur ini harus saling terjaga kesehatannya sehingga melahirkan manusia yang utuh dan sehat secara lahir maupun batin. Seseorang yang mengalami masalah kesehatan dan keterbatasan fisik tertentu bisa mempengaruhi keputusan hidupnya untuk tidak melanjutkan keturunan. Termasuk masalah keselamatan calon ibu dan anak apabila tetap meneruskan kehamilan.
Selain itu bisa juga kekhawatiran mewariskan penyakit genetik seperti thalassemia yang belum bisa disembuhkan dan harus melakukan transfusi darah seumur hidup, hemofilia, alzheimer, hingga beberapa sindrom berat seperti sindrom jacobs, sindrom edward, dan sindrom patau.
Selain masalah kesehatan fisik, masalah kesehatan mental juga merupakan faktor yang mempengaruhi keputusan seseorang untuk tidak melanjutkan keturunan. Seseorang yang mengalami penyakit mental karena trauma di masa kecil akibat korban broken home, toxic parenting, kekerasan dalam rumah tangga. Hingga korban kejahatan seksual bisa mempengaruhi kesehatan mental mereka bahkan hingga mereka dewasa.
Akibatnya, kondisi mental yang terganggu bisa menimbulkan rasa kurang percaya diri, kekhawatiran, bahkan ketakutan mengulangi kesalahan dan rasa sakit yang sama seperti yang mereka alami di masa lalu.
Hifz Nafs
Dalam aras ini, keputusan memilih childfree sebagai suatu pilihan hidup merupakan bagian dari hifz nafs (menjaga jiwa) dan hifz nasl. Hifz nafs diwujudkan dengan menjaga kesehatan dan keselamatan fisik dan jiwa seseorang dari bahaya mengandung, melahirkan, dan memiliki keturunan.
Sementara aspek hifz nasl diwujudkan dengan mencegah calon anak yang dilahirkan (keturunannya) dari kemungkinan potensi penyakit yang mereka derita serta pola asuh (merawat, mengasuh, dan mendidik) yang tidak bisa diberikan secara optimal dan ideal dari orang tua mereka yang menyandang sakit fisik maupun mental ilness.
Memprioritaskan keselamatan dan kesehatan diri dan mencegah terjadinya beban hidup bagi orang lain adalah yang hal tidak bertentangan dengan nilai-nilai maqashid syariah. Sebagaimana firman Allah dalam al-Baqarah ayat 195:
وَلَا تُلْقُوْا بِاَيْدِيْكُمْ اِلَى التَّهْلُكَةِ وَاَحْسِنُوْا اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ
Artinya: “Dan janganlah jerumuskan dirimu ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.” (QS. al-Baqarah ayat 195).
Kedua, Faktor Ekonomi.
Bagi sebagian kalangan, kematangan finansial adalah faktor yang sangat penting ketika memutuskan untuk berkeluarga. Keadaan finansial yang belum stabil—bahkan cenderung buruk—beban ekonomi yang berat, terjerat pinjaman hutang, jobless, serta masalah-masalah ekonomi lainnya adalah satu faktor yang kerap memicu konflik dalam rumah tangga. Pada kondisi ini, childfree dapat kita pilih untuk menghindari konflik ekonomi yang berkelanjutan.
Dalam kajian maqashid, tindakan childfree dengan faktor ekonomi ini bisa menempati dua posisi. Pertama, menjadi bagian dalam hifz maal yang diwujudkan dengan mengutamakan terlebih dahulu membangun kesejahteraan ekonomi pasutri untuk mewujudkan ketahanan keluarga.
Kedua, menjadi bagian dari hifz nasl untuk mencegah terjadinya masalah-masalah ekonomi baru pasca kelahiran anak, seperti tidak terpenuhinya gizi dan nutrisi anak secara layak, jaminan kesehatan yang belum terpenuhi, hingga masa depan pendidikan anak yang belum terjamin. Meski secara tersirat alasan ini nampak bertentangan dengan konsep tawakal namun menurut al-Ghazali hal ini tetap tidak sampai menyebabkan bahwa menolak kelahiran anak adalah perbuatan yang Islam larang.
Islam sendiri mempromosikan agar setiap orang tua tidak mewariskan generasi yang lemah baik secara fisik, mental, finansial, serta spiritual.
وَلْيَخْشَ الَّذِيْنَ لَوْ تَرَكُوْا مِنْ خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَافُوْا عَلَيْهِمْۖ
Artinya: Hendaklah merasa takut orang-orang yang seandainya (mati) meninggalkan setelah mereka, keturunan yang lemah (yang) mereka khawatir terhadapnya. (Q.S. An-Nisa’: 9)
Ketiga, Faktor Personal.
Faktor personal dapat mempengaruhi pilihan hidup seseorang untuk menganut childfree. Faktor personal tersebut dapat berbeda antara satu dengan lainnya, seperti kepentingan untuk mengejar dan mengutamakan karir, menjaga kesehatan dan kecantikan dari proses mengandung dan melahirkan, mendalami pengetahuan dan ilmu agama, dan lain sebagainya. Dua contoh pertama adalah alasan yang menurut al-Ghazali masih dapat ditolerir secara syar’i meski praktiknya dianggap sebagai tindakan meninggalkan keutamaan (tarkul afdhal).
Adapun pilihan childfree karena faktor untuk mendalami ilmu pengetahuan dan agama adalah pilihan yang menurut Sayyid Sabiq lebih utama untuk tidak menikah. Seorang laki-laki yang tidak mampu memberi nafkah lahir maupun batin karena melakukan ketaatan atau adanya halangan, seperti sedang menuntut ilmu pengetahuan, maka kemakruhan dia untuk menikah bertambah kuat. Hal ini juga bisa kita dapat beberapa kisah hidup para ulama dan sufi terkemuka yang memilih untuk menjomblo hingga akhir hayatnya.
Husein Muhammad merangkum beberapa ulama tersebut di antaranya Rabiah al-Adawiyah (w. 801 M), seorang Sufi besar dari kalangan perempuan yang terkenal dengan konsep mahabbahnya kepada Tuhan. Kemudian Khodijah binti Sahnun (w. 885 M), ulama perempuan Tunisa yang lebih mengutamakan aktivitas intelektual dan advokasi kemanusiaan.
Ada juga Karimah al-Marwaziyyah (w. 1070 M) seorang muhaddist (ahli hadis) yang sangat terkemuka dari kalangan perempuan. Dari kalangan laki-laki beberapa ulama yang tidak menikah di antaranya, Ibn Jarir ath-Thabari (w. 923 M) ulama besar pengarang kitab monumental tafsir at-Thabari, Imam Nawawi (w. 1277 M), Ibn Taimiyah (w. 1328 M), dan mujaddid kontemperor dari Turki, Said Nursi (w. 1960 M).
Mewakafkan Hidupnya
Para ulama tersebut adalah orang-orang yang mewakafkan hidupnya dalam jalan cinta kepada Tuhan, pengabdian dan dakwah kepada umat, serta aktivitas intelektual dan produktifitas yang tinggi dalam menulis karya. Pilihan mereka untuk tidak menikah dan melanjutkan keturunan agar bisa menebarkan kebaikan dan kebermanfaatan yang lebih besar di kehidupan.
Dalam kajian maqashid, kondisi-kondisi seperti ini lekat dengan aspek hifz din (menjaga agama) dan hifz ‘aql (menjaga akal). Di mana aktivitas dakwah dan intelektual berguna sebagai sarana jihad fiisabilillah untuk menghidupkan syiar-syiar agama dan pendidikan umat. Tradisi keilmuan dan pengetahuan akan terus terjaga dan tidak terputus dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Al-Qur’an menyinggung bahwa tidak semua orang harus berperan sebagai pejuang di medan perang, tapi beberapa di antaranya perlu pergi menuju jalan-jalan ilmu dan pengetahuan agar bisa memberi peringatan kepada kaumnya.
وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ
Artinya: “Tidak sepatutnya orang-orang mukmin pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi (tinggal bersama Rasulullah) untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya?” (QS. at-Taubah ayat 122).
Keempat, Faktor Lingkungan.
Faktor lingkungan dapat mempengaruhi keputusan seseorang untuk memilih childfree misalnya ketika terjadi konflik, paceklik, atau wabah di suatu negara sementara jumlah penduduk sudah terlalu banyak (over populasi). Kondisi ini menyebabkan kekurangan sumber sandang, pangan papan, dan keamanan, sehingga seseorang khawatir terhadap keselamatan mereka dan calon keturunan mereka sehingga memutuskan untuk childfree.
Kondisi seperti ini menurut kalangan Hanafiah Mutaakhirin (kontemporer) hukumnya boleh. Mereka berpendapat salah satu sebab seseorang boleh melakukan ‘azl (menolak kelahiran anak) tanpa izin dari istri di antaranya karena sebab perjalanan jauh atau berada di dalam area peperangan. Sehingga yang kita khawatirkan akan keselamatan anak.
Dalam kajian maqashid, keputusan childfree karena faktor lingkungan ini merupakan bagian dari aspek hifz nasl. Keputusan untuk menolak kelahiran anak untuk menghindari dan mencegah terjadinya malapetaka bagi keturunan mereka karena kondisi lingkungan yang tidak kondusif dan keamanan yang tidak terjamin.
Beberapa wilayah konflik ataupun paceklik (kekeringan) berpontensi memunculkan kedararutan pangan dan bencana kelaparan. Sehingga prioritas untuk menjaga kesalamatan diri lebih kita dahulukan sebelum memutuskan untuk melanjutkan keturunan. []